Minggu, 23 Juni 2013

Hikayat Negeri Balsam


Siapa tak kenal balsam? Meski rasanya sangat jarang dimasukkan dalam resep mujarab para dokter, balsam memiliki tempat tersendiri di hati rakyat, terutama kelas menengah ke bawah.

Balsam diyakini memiliki khasiat ’cespleng’ untuk menyembuhkan segala macam penyakit. Sekali oles, langsung terasa khasiatnya. Sayup-sayup, nama balsam kini dipopulerkan kembali oleh para pembesar negeri ini. Tak kuasa menghadapi risiko jebolnya APBN 2013, yang konon akan mengalami pendarahan (bleeding) akut akibat tingginya subsidi bahan bakar minyak (BBM), pemerintah berwacana mengambil kebijakan menaikkan harga BBM. Tampaknya pemerintah mengerti benar bahwa kenaikan harga BBM pasti segera akan membawa multiplier effect kenaikan harga di segenap ruas jengkal kehidupan.

Daya cekik kenaikan harga BBM ini semestinya memang tidak dianggap sepi karena sifatnya yang persisten dan dampaknya yang sangat luas bagi masyarakat. Sadar sepenuhnya akan kesulitan kehidupan yang mungkin dihadapi rakyatnya, pemerintah kemudian berbaik hati memberikan apa yang disebut sebagai kompensasi bagi rakyat miskin. Bentuknya berupa program Beras Miskin (Raskin), Beasiswa Miskin (BSM), Program Keluarga Harapan (PKH), dan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM).

Di telinga penulis, BLSM samar terdengar serupa dengan kata balsam. Tidak tanggung-tanggung, pemerintah mengusulkan gelontoran anggaran sekitar Rp12 triliun dana kompensasi BBM untuk ’membeli balsam’. Kisaran dosisnya antara Rp100.000-150.000 per bulan yang akan disalurkan kepada 15,5 juta rumah tangga sasaran (RTS) rakyat miskin (KORAN SINDO, 18/5).

Filosofi Balsam
Entah sebuah kebetulan atau sebuah kesengajaan dari para pengambil kebijakan, dalam kontemplasi penulis, BLSM dengan balsam memiliki kesamaan filosofis. Pertama, peruntukannya jelas hanya bagi rakyat miskin. Meskipun pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat yang sesungguhnya relatif mampu, namun ikut-ikutan memperebutkannya karena terjangkit mentalitas miskin. Kedua, ibarat obat, BLSM dan balsam samasama dianggap sebagai ’panacea’. Dalam mitologi Yunani, panacea adalah putri dari Aesculapius dan saudara perempuan dari Hygeia yang dianggap menjadi Dewi Penyembuh.

Dalam dunia medika, panaceaadalah obat atau substansi yang diyakini mampu menyembuhkan segala macam penyakit. Jika balsam dipilih sebagai panacea untuk obat segala macam keluhan fisik, tampaknya pemerintah hendak pula menjadikan BLSM sebagai panacea bagi keluhan- keluhan rakyat (miskin) terkait efek domino kenaikan harga BBM. Ketiga, tentang teori efek balsam. Tampaknya hal inilah yang tengah dilupakan atau mungkin tidak diketahui para pengambil kebijakan yang barangkali memang tidak terbiasa menggunakan balsam.

Efek balsam itu sungguh sangat sementara. Pada bagian awal dibalurkan, balsam memang segera beranjak menghangatkan, bahkan sejurus kemudian berubah menjadi panas yang menyegarkan. Sayangnya, khasiat balsam ini tidak akan bertahan lama. Efek panas itu hanya sementara, lalu akan menurun, menuju titik nadir, bahkan berlanjut hingga hanya dingin yang terasa. Untuk menghangatkan kembali, balsam harus dihadirkan kembali. Kali ini pasti dengan dosis yang harus lebih tinggi. Ya, itulah balsam. Para penggemar setia balsam pasti bisa merasakannya dengan sempurna. Keempat, sama-sama hanya ’mengobati’ simtom (gejala), bukan pada sumber penyebab penyakit. Akibatnya fatal, begitu efek balsam habis, sakit itu akan kembali menyerang.

Terkadang bahkan lebih parah dan mematikan. Sungguh sangat bijak apabila pengambil kebijakan berkenan untuk mencari tahu lebih dalam ke akar masalah mengapa APBN kita meradang. Pemerintah semestinya lebih cerdas mencari alternatif untuk mengobati sumber penyakitnya. Bukan sekadar solusi instan mencabut subsidi, menaikkan juga harga minyak dengan kompensasi BLSM.

Negeri yang Lupa
APBN yang jebol bin bleeding itu tentu jauh di luar nalar perhitungan rakyat awam. Yang dipahami adalah cerita betapa negeri ini negeri yang mahakaya hingga malaikat pun konon iri atas kesuburan dan kekayaan alam Indonesia. Emas, gas, dan minyak bumi berlimpah ruah di negeri ini. Lalu mereka pun bertanya, mengapa BBM mesti dinaikkan, sementara negeri ini seakan terapung di atas samudera minyak. Bukankah saudara kita di Blora, Cepu, Bojonegoro, Palembang, hanya membutuhkan tali dan timba untuk mengangkat ‘emas hitam’, yang di beberapa daerah di Jawa disebut ’latung’ itu.

Tidak salah apabila rakyat mengira bahwa pemerintah tengah dilanda lupa akut. Pemerintah mengalami amnesia sejarah bahwa pada 1945, Soekarno- Hatta telah memproklamirkan bahwa negeri ini negeri merdeka. Pembukaan UUD 1945 juga jelas mengungkapkan bahwa raison d’etre negara adalah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia.

Barangkali pemerintah agaknya juga abai Pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Atau, negara alpa dengan Pancasila yang mengamanatkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kenaikan harga BBM idealnya adalah solusi terakhir yang darurat. Yang mendesak untuk dilakukan adalah mengakhiri kebiasaan bebal mengobral sumber daya alam kita kepada imperialis asing.

Tinjau ulang kontrak karya eksploitasi pertambangan yang memiskinkan kita. Penyelundupan BBM bersubsidi ke luar negeri juga mesti diberantas tuntas. Hukum progresif harus diperkenankan tegak sebagai panglima. Cerita culas pithecanthropus corruptuszaman kleptolitikum, yang membuat negeri ini selaksa surga bagi pelaku korupsi, sudah saatnya harus diakhiri. Penerimaan pajak, termasuk pajak tambang, harus dioptimalisasi, bukan sebaliknya, dikorupsi.

Kejar dan sita harta rakyat yang dikemplang dan dijarah- rayah oleh para koruptor, mulai dari Edy Tansil hingga Gayus Tambunan, dari BLBI hingga Century, dari Wisma Atlet Palembang hingga Hambalang. Sayangnya, semua kasus durjana itu seolah tenggelam dalam spiral kebisuan (the sprial of silence) yang hening, lalu dilupakan orang. Justru, yang sayup-sayup terdengar adalah senandung satire Bang Iwan Fals, ”Orang pintar tarik subsidi. Anak kami kurang gizi”. Andai diperkenankan, rakyat pasti berharap, memohon, bahkan mungkin rela mengemis agar harga BBM tidak dinaikkan. Namun, mereka hanya bisa menyapa dalam lirih doa, ”Semoga balsam itu tidak untuk mengawetkan kemiskinan kami hingga menjadi seperti mumi”. Sungguh, Gusti ora sare. Itulah sepenggal hikayat negeri
_balsam.
Opini Sindo Oleh: Achmad Mujab Masykur, S.Psi, MA (Akung)
Dosen Fakultas Psikologi Undip Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar