Rabu, 14 Agustus 2013

Sejarah Nama Indonesia


Indonesia
Hari kemerdekaan negeri kita tercinta Indonesia, sudah diambang mata.
Tahukah kita sejarah kata Indonesia?
Asal-Usul Nama Indonesia
Pada zaman dahulu, kepulauan tanah air disebut dengan aneka nama. Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan tanah air dinamai Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang), diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Walmiki menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.

Bangsa Arab menyebut tanah air kita Jaza'ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan adalah benzoe, berasal dari bahasa Arab luban jawi (kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatera. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil "Jawa" oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. Dalam bahasa Arab juga dikenal Samathrah (Sumatra), Sholibis (Sulawesi), Sundah (Sunda), semua pulau itu dikenal sebagai kulluh Jawi (semuanya Jawa).

Bangsa-bangsa Eropa menganggap bahwa Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India dan Tiongkok. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok semuanya adalah "Hindia". Semenanjung Asia Selatan mereka sebut "Hindia Muka" dan daratan Asia Tenggara dinamai "Hindia Belakang". Sedangkan tanah air memperoleh nama "Kepulauan Hindia" (Indische Archipel, Indian Archipelago, l'Archipel Indien) atau "Hindia Timur" (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang juga dipakai adalah "Kepulauan Melayu" (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l'Archipel Malais). Pada jaman penjajahan Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur). Eduard Douwes Dekker (1820–1887), dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu Insulinde, yang artinya juga "Kepulauan Hindia" ( Bahasa Latin insula berarti pulau). Nama Insulinde ini kurang populer.

Istilah Nusantara, pada tahun 1920, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879– 1950), yang dikenal sebagai Dr. Setiabudi (cucu dari adik Multatuli), memperkenalkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung kata "India". Nama itu adalah Nusantara, istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 dan diterjemahkan JLA. Brandes kemudian diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom tahun 1920. Pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit, Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa). Sumpah Palapa dari Gajah Mada tertulis "Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa“ (Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat). Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu "nusa di antara dua benua dan dua samudra", sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern.
Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda. Istilah Nusantara hingga hari ini sering digunakan Malaysia dalam menceriterakan sejarah negerinya. Malaysia bukan saja serumpun dalam etnik, namun serumpun dalam sejarah. Sampai hari ini istilah nusantara tetap dipakai untuk menyebutkan wilayah tanah air dari Sabang sampai Merauke.

Istilah Indonesia, pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago & Eastern Asia (JIAEA), dikelola oleh James Richardson Logan (1819–1869), seorang Skotlandia yang sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Tahun 1849 seorang ahli etnologi Ingris, George Samuel Windsor Earl (1813–1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA. Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis: "... the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians". Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maladewa.
Earl berpendapat juga bahwa bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia. Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah "Indian Archipelago" terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia. Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan: "… Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago…". Ketika mengusulkan nama "Indonesia" agaknya Logan tidak menyadari bahwa dikemudian hari nama itu akan menjadi nama resmi. Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama "Indonesia" dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi.

Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin, Adolf Bastian (1826–1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air pada tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie tahun 1918.
Padahal Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan.
Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau. Nama indonesisch (Indonesia) juga diperkenalkan sebagai pengganti indisch (Hindia) oleh Prof. Cornelis van Vollenhoven (1917). Sejalan dengan itu, inlander (pribumi) diganti dengan indonesiƫr (orang Indonesia).
Diolah dari: http://azeuz.student.umm.ac.id/2010/08/21/asal-usul-nama-indonesia/

Selasa, 06 Agustus 2013

Profil Gubernur dan Wakil Gubernur Jateng



Profile Ganjar Pranowo
Nama Lengkap : Ganjar Pranowo Alias : No Alias Agama : Islam Tempat Lahir : Karang Anyar Tanggal Lahir : Senin, 28 Oktober 1968 Zodiac : Scorpion Warga Negara : Indonesia
Istri : Siti Atikoh Supriyanti BIOGRAFI Lahir di Karang Anyar, 28 Oktober 1968, Ganjar Pranowo SH dikenal sebagai sosok yang cerdas, percaya diri, dan pintar bicara. Pria lulusan Universitas Gajah Mada yang aktif berorganisasi sejak mahasiswa tahun 1992 ini sebelumnya adalah anggota Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di zaman Orde Baru. Namun, setelah Suryadi memimpin dan menyingkirkan Megawati Sukarnoputri, ia memutuskan untuk keluar dari partai berlambang banteng tersebut.
Ganjar lantas serius menerjuni bisnisnya sebagai konsultan sumber daya manusia. Di samping itu, ia juga banyak belajar dari ikon-ikon politik tanah air termasuk Megawati dan Soetardjo Serjogoeritno, yang kian mempertajam kemampuan intelektualnya.
Dari situ suami Siti Atikoh Supriyanti yang hobi mendengarkan rock semacam Dream Theater, Metallica, dan Led Zeppelin untuk menghilangkan stres ini semakin mantap untuk bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) bersama Megawati. Ia bahkan melakukan pelantikan untuk kader PDI-P di awal 2003, sebelum akhirnya menjadi kandidat dalam pemilu legislatif di tahun 2004 dari daerah pemilihan Jawa Tengah 7.
Sayangnya, Ganjar kalah tipis. Namun setelah kandidat di atasnya terpilih sebagai duta besar, ia pun menggantikan posisi tersebut dan duduk di bangku DPR RI Komisi IV.
Kegigihan dan keberanian untuk bersuara menjadikan reputasinya meningkat di kancah politik. Pria yang dulunya bersekolah di SD dan SMP Kutoarjo Jawa Tengah dan menghabiskan masa SMA di BOPKRI Yogyakarta ini dinilai sebagai politikus yang berprinsip. Ia pun terpilih lagi dalam pemilu tahun 2009 dan dipercaya menduduki jabatan Wakil Ketua Komisi II untuk urusan dalam negeri hingga 2014 nanti, serta panitia angket pengusutan kasus Bank Century.
September 2012, kepercayaan diri ayah satu anak yang juga aktif menekuni pekerjaan lainnya baik di kantor hukum dan bisnis seperti di PT Prastawana Karya Samitra dan PT Semeru Realindo Inti ini makin tinggi. Politisi yang ikut merampungkan Undang Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta itu memutuskan untuk maju dalam ajang Pemilihan Gubernur Jawa Tengah dengan dukungan jajaran Dewan Pimpinan Daerah PDI-P Jawa Tengah.
Ganjar merasa optimis bisa menang dalam sistem pemilihan langsung, meskipun Wakil Gubernur Jawa Tengah Rustriningsih yang akan menjadi lawannya yang akan memimpin salah satu provinsi berpenduduk terpadat di Indonesia tersebut.
PENDIDIKAN SD Kutoarjo, Jawa Tengah. SMP 1 Kutoarjo, Jawa Tengah. SMA BOPKRI, Yogyakarta. SMA BOPKRI, Yogyakarta. Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta. KARIR Konsultan SDM PT Prastawana Karya Samitra. Anggota DPR RI Komisi II (2009 – 2014)
PENGALAMAN/JABATAN PADA ORGANISASI 1. Badiklatpus PDI Perjuangan 2. PAPPUSAT PDI Perjuangan 3. Mapala FH UGM 4. Majalah Mahasiswa Mahkamah KAGAMA (Keluarga Alumni Gajah Mada) 5. Pramuka
KEANGGOTAAN/JABATAN DI DPR 1. Komisi IV 2. Fraksi PDIP 3. Badan Kerja Sama Antar Parlemen
JUMLAH KEKAYAAN PADA SAAT PENCALONAN 1. Tanah dan Bangunan Rp170.000.000 2. Harta Bergerak 1 Mobil, 1 Motor Rp52.500.000 3. Batu dan Logam Mulia Rp4.721.750 4. Giro dan Kas Setara lain Rp58.961.142 Total Kekayaan Rp. 286.182.892.

Profile Heru Sudjatmoko

Informasi pribadi
Lahir 13 Juni 1951 (umur 61)
Purbalingga, Jawa Tengah
Kebangsaan Indonesia
Suami/istri Sudarli
Anak Priyotomo
Setyaning Puruhita
Cahyaning Ratri
Alma mater Universitas Diponegoro
Heru Sudjatmoko (lahir 13 Juni 1951; umur 61 tahun) adalah Bupati Purbalingga saat ini yang menjabat sejak tahun 2010. Sebelumnya ia menjabat sebagai Wakil Bupati Purbalingga dari tahun 2005 hingga tahun 2010.
Sudah selesai dilaksanakan, meski KPU masih melakukan perhitungan manual, namun dilihat dari Hitung cepat atau quick count, pasangan Ganjar Pranowo – Heru Sudjatmoko hampir dipastikan akan memenangi Pilgub ini. Hal ini karena berdasarkan pengalaman, hasil quick count tidak akan jauh dari hasil perhitungan KPU. Apalagi dari lima lembaga survai yang melakukan quick count di Pilgub jateng ini, semuanya menempatkan pasangan Ganjar-Heru di posisi pertama, disusul pasangan Bibit Waluyo – Sudijono dan terakhir Hadi Prabowo – Don Murdono. Bagi ana yang masih asing dengan pasangan Gubernur terpilih Jawa Tengah Ganjar-Heru, Berikut kami tampilkan Profil Lengkap Ganjar Pranowo dan Heru Sudjatmoko, Gubernur Jawa Tengah periode 2013-2018.