Judul Buku : Secercah Tinta Jalinan
Cinta Seorang Hamba dengan Sang Pencipta
Penulis : Habib Muhammad Luthfi
bin Yahya
Editor : Ahmad Tsauri
Cetakan : Pertama, April 2013
Isi : XIVII + 362 halaman
ISSBN : 978-602-18230-0-2
Pekalongan dikenal sebagai kota batik, namun bagi kaum santri dan umat Islam
pada umumnya, kota Pekalongan juga dikenal sebagai kota olah spiritual. Karena kota
ini tak bisa dilepaskan dari keberadaan seorang guru rohani yaitu Habib
Muhammad Luthfi bin Yahya. Beliau adalah alim yang tingkat kealimannya tak
perlu diragukan lagi. Habib Luthfi sendiri adalah seorang ketua Jam’iyyah
Thoriqoh Mu’tabarah Nahdlatul Ulama. Sebuah organisasi yang mewadahi semua
tarekat atau jalan spiritual yang telah diakui kesahihannya di kalangan
masyarakat NU. Bila jam’iyyah tersebut diibaratkan sebagai sebuah
negara, Habib Luthfi adalah presidennya. Karena itu, setiap ucapan yang
dilontarkannya, setiap kalimat yang ditenunnya, dan setiap ceramah yang disampaikannya diakui atau tidak, pastilah
menjadi bekal para pejalan rohani (salik).
Tentu ucapan, kalimat, dan ceramahnya itu amatlah banyak.
Untung saja, Ahmad Tsauri, murid beliau yang menjadi editor buku ini bersedia
mengumpulkan semua itu menjadi sebuah buku berjudul Secercah Tinta: Jalinan
Cinta Seorang Hamba dengan Sang Pencipta, yang diterbitkan oleh Menara
Publisher (Pekalongan, 2013).
Buku ini semacam dhawuh tertulis Habib Luthfi, yaitu kumpulan ceramah
beliau dalam berbagai kesempatan. Sayang, editor buku ini tak mencantumkan
keterangan kapan dan dimana berbagai materi ceramah yang cukup variatif,
mencerahkan, menggugah, dan sarat informasi baru itu disampaikan oleh Sang Habib.
***
Buku ini kian menarik lantaran dikukuhkan oleh kata pengantar dari KH
Mustofa Bisri, ulama-pujangga, yang menyebutkan bahwa buku seperti kumpulan
ceramah ini sangat langka. Karena itu, setiap orang yang hendak mempelajari
agama, terlebih lagi tasawuf, bidang yang menjadi “spesialisasi” Habib Luthfi,
selayaknyalah ia memiliki buku ini. Menurut Gus Mus, biasanya ceramah
disampaikan di depan audiens yang umum. Penceramah dianggap mirip pedagang eceran, karena ilmu-ilmu
yang disampaikan oleh si penceramah biasanya hanya diingat sebentar lalu dilupakan. Berbeda dengan
pengajian atau ceramah bergaya sorogan, dimana sang penceramah
memberikan materi ceramahnya
berdasarkan kitab tertentu. Tentu setelah ceramah, isi ceramah tersebut tak
akan terlupakan. Maka dari itu, usaha untuk menerbitkan kumpulan ceramah Habib
Luthfi ini merupakan terobosan, layaknya sebuah usaha untuk mengikat binatang buruan
agar tidak
lepas.
Sementara itu, KH Said Agil Siradj juga memberikan kata
pengantar yang tak kalah menarik. Di sini, Ketum PBNU itu menyoroti buku ini
sebagai upaya kaum Aswaja dalam mengajak masyarakat Islam dan bangsa Indonesia
umumnya untuk menyelami samudera kehidupan yang lebih dalam, yaitu
spiritualitas. Itulah mengapa
hampir setiap pembahasan yang diajukan oleh Habib Luthfi di sini, tidak jauh di sekitar dunia
tasawuf. Oleh karena itu, buku ini dapat disebut sebagai buku pengantar ringan
mengenai dunia tasawuf.
***
Dilihat dari strukturnya, buku ini dibagi menjadi lima
bagian, setiap
bagian disebut sebagai mozaik. Pada mozaik pertama,
dalam tulisan pembukanya yang berjudul Kesaksian Allah SWT atas Risalah dan
Keistimewaan Nabi Muhammad SAW (hlm. 3-11), Habib Luthfi menghadirkan
pembahasan mengenai kesaksian dan pengakuan Allah SWT atas Rasulullah Muhammad
SAW. Pada taraf ini, sebenarnya Habib
Lutfi
berusaha untuk
menegaskan bahwasannya Nabi Muhammad SAW adalah patokan utama dalam lelaku
keberislaman umat Islam. Bila tidak, tidak mungkin jalan kehidupan akan ditempuh
dengan cara yang lurus. Mengingat
di depan Allah SWT, hanya Nabi Muhammad SAW sajalah yang marwah dan
eksistensinya diakui.
Bahasan yang paling relevan untuk dikedepankan di sini
adalah mengenai status Nabi Muhammad SAW sebagai manusia biasa sebagaimana
banyak dikaji oleh kaum orientalis dan para pegiat kajian Islam yang terlalu
meninggalkan dimensi sakral Islam. Memang, Nabi Muhammad SAW diperintahkan
Allah SWT untuk mengatakan kepada manusia bahwasannya beliau sama seperti
manusia pada umumnya. Seperti yang tercantum di dalam surat al-Kahfi. Akan tetapi, ini bukan merupakan penegasan
bahwa Rasulullah SAW adalah manusia pada umumnya, sebab di ayat tersebut Nabi Muhammad
SAW dinyatakan sebagai makhluk yang “seperti” manusia, hanya saja tidak persis plek
manusia.
Pada bab selanjutnya, habib juga banyak menyinggung
mengenai kehidupan para sahabat Nabi SAW, termasuk
di sana kehidupan para
ahli bait. Menurut habib, tidak
selayaknya seseorang memuliakan sahabat yang ini lalu menghina dan mencela
sahabat yang itu, sebab itu
bukan merupakan akhlak seorang muslim. Setiap sahabat Nabi SAW pasti
punya kelebihan
sendiri. Allah SWT telah menjadikan mereka manusia utama di belakang Rasulullah
SAW. Adapun bila mereka memiliki kekurangan, misalnya mengenai kasus
perselisihan yang terjadi di antara mereka sendiri, itu tidak lain merupakan upaya Allah
SWT untuk menunjukkan kepada hambanya sebuah hal mengenai apa yang baik dan apa yang tidak baik.
Selain itu, habib juga memasukkan keterangan mengenai
hikmah-hikmah terpenting di balik marga (klan) para dzurriyatur rasul. Al-Attas,
as-Segaf, al-Jufri, Jamalul Lail, Syahab, Syihab, Ba’alawi, al-‘Idrus,
al-Haddad, Bafaqih, Ba’abud, dan masih banyak marga-marga lainnya yang
semuanya ada arti dan maknanya. Tak hanya itu, semua marga itu menyimpan
pesan-pesan tersendiri bagi orang-orang yang mencintai Rasulullah SAW (hlm.
113). Habib juga di sini menerangkan mengapa kitab Tafsir Jalalayn
sering dikaji di pesantren-pesantren. Padahal kitab tersebut tergolong kitab
“ringan” dan seolah tak banyak memberikan petunjuk-petunjuk baru. Ternyata,
kata habib, kenapa para
ulama, kyai, habaib memilih mengajarkan kitab tersebut pertama kali kepada
santri-santri bukan karena tebal-tipisnya, tetapi
karena tabarrukan (mengambil berkah) dari pengarangnya Imam Jalaluddin
as-Suyuthi yang ketika menulis kitab tersebut langsung bertemu dengan
Rasulullah SAW dalam keadaan terjaga (yaqzhah) selama 75 kali (hlm. 35).
Sebenarnya masih banyak bahasan-bahasan lain yang
dibabarkan Habib Luthfi dengan sangat menarik, ringan, dan terkesan mengajak
pembaca berdialog bersama beliau. Intinya, buku ini seolah mengatakan kepada
para pembaca, agar ia dijadikan pegangan untuk mengenal Islam dalam dimensi
praktik (amaliyah). Bukan Islam dalam dimensi wacana (fikriyyah)
semata. Saat ini ada banyak orang muslim yang pintar membicarakan Islam tapi
kurang pintar mengamalkan Islam. Sebagai penutup, buku ini layak dibaca oleh siapapun,
terutama para cendekiawan, Kyai, santri dan umat muslim pada umumnya. Wallahu a’lam.
*Ahmad
Fauzan
Lajnah
Ta’lif wan Nasyr PCNU
Pati
(Sumber Majalah NUANSA LTN NU Pati)