1.Pengertian Bimbingan dan
Konseling.
Secara etimologis kata bimbingan merupakan terjemahan dari
kata “Guidance” berasal dari kata kerja “to guide” yang mempunyai arti
“menunjukan, membimbing, menuntun, ataupun membantu”. Sesuai dengan istilahnya,
maka secara umum bimbingan dapat diartikan sebagai suatu bantuan atau tuntunan.
Artinya, bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang
yang ahli kepada seorang atau beberapa orang individu, baik anak-anak, remaja,
maupun dewasa; agar orang yang dibimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinya
sendiri dan mandiri dengan memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang ada
dan dapat dikembangkan berdasarkan norma-norma yang berlaku (Prayitno,
2004:99).
Djumhur dan Moh. Surya (1975) memberikan pandangannya tentang
bimbingan sebagai suatu proses pemberian bantuan secara terus menerus dan
sitematis kepada individu untuk memcahkan masalah yang dihadapinya. Winkel
(2005) memberikan definisi bimbingan ialah usaha melengkapi individu dengan
pengetahuan, pengalaman dan informasi tentang dirinya sendiri. Sedangkan
menurut Bernard & Fullmer (1969) mengemukakan bahwa bimbingan merupakan
kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan realisisasi pribadi setiap individu. Berdasarkan pengertian konseling menurut para ahli di atas maka dapat
disimpulkan bahwa bimbingan merupakan bantuan yang dilakukan oleh seorang ahli
kepada individu atau beberapa orang dengan memberikan pengetahuan tambahan
untuk memahami dan mengatasi permalahan yang dialami oleh individu atau seseorang
tersebut, dengan cara terus menerus dan sitematis.
Sementara pengertian konseling, konseling adalah proses
pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli
(disebut konselor) kepada individu yang sedang mengalami sesuatu masalah
(disebut klien) yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi klien
(Prayitno, 2004:105). Menurut Pietrofesa, Leonard dan Hoose (1978) yang dikutip
oleh Mappiare (2004) konseling merupakan suatu proses dengan adanya
seseorang yang dipersiapkan secara profesional untuk membantu orang lain
dalam pemahaman diri pembuatan keputusan dan pemecahan masalah dari hati kehati
antar manusia dan hasilnya tergantung pada kualitas hubungan. Sedangkan menurut
Sulianti Saroso, Konseling adalah proses pertolongan dimana seseorang dengan
tulus dan tujuan jelas, memberi waktu, perhatian dan keahliannya, untuk
membantu klien mempelajari keadaan dirinya, mengenali dan melakukan masalah
terhadap keterbatasan yang diberikan lingkungan.
Berdasarkan pengertian konseling menurut para ahli di atas
maka dapat disimpulkan bahwa konseling merupakan proses pemberian bantuan
secara intensif dan sistematis dari seorang konselor kepada kliennya dalam
rangka pemecahan suatu masalah agar klien mendapat pilihan yang baik. Disamping
itu juga diharapakan agar klien dapat memahami dirinya (self understanding)
dan mampu menerima kemampuan dirinya sendiri.
2. Tujuan Bimbingan dan Konseling
Secara garis besar, tujuan bimbingan dan konseling dibagi
menjadi 2, yaitu tujuan umun dan tujuan khusus. Guna memperjelas apa yang
menjadi tujuan umum dan khusus, akan disampaikan penjelasannyasebagai berikut:
a.
Tujuan Umum
Ditinjau dari perkembangan konsepsi bimbingan dan konseling
senantiasa mengalami perubahan, dari yang sederhana sampai yang
komprehensif.Tujuan bimbingan dan konseling dengan mengikuti pada perkemangan
konsepsi bimbingan dan konseling pada dasarnya adalah untuk membantu individu
memperkembangkan diri secara optimal sesuai dengan tahap perkembangan dan
predisposisi yang dimilikinya, berbagai latar belakang yang ada, serta sesuai
dengan tuntutan positif lingkungannya.
b.
Tujuan Khusus
Tujuan khusus bimbingan dan konseling merupakan penjabaran
tujuan umum tersebut yang dikaitkan secara langsung dengan permasalahan yang
dialami individu yang bersangkutan, sesuai dengan kompleksitas permasalahanya.
Dengan demikian maka tujuan khusus bimbingan dan konseling untuk tiap-tiap
individu bersifat unik pula, artinya tujuan bimbingan dan konseling untuk
individu yang satu dengan individu yang yang lain tidak boleh disamakan.
3.
Fungsi Bimbingan & konseling
a. Fungsi pemahaman
Dalam fungsi pemahaman. Terdapat
beberapa hal yang perlu kita pahami, yaitu pemahaman tentang masalah klien.
Dalam pengenalan, bukan saja hanya mengenal diri klien, melainkan lebih dari
itu, yaitu pemahaman yang menyangkut latar belakang pribadi klien, kekuatan dan
kelemahannya, serta kondisi lingkungan klien. Pemahanman tentang lingkungan
yang ”Lebih Luas”. Lingkungan klien ada dua, ada sempit dan luas. Lingkungan
sempit yaitu kondisi sekitar individu yang secara langsung mempengaruhi
individu, contohnya rumah tempat tinggal, kondisi sosio ekonomi dan sosio
emosional keluatga, dan lain-lain. Sedangkan lingkungan yang lebih luas adalah
lingkungan yang memberikan informasi kepada individu, seperti informasi
pendidikan dan jabatan bagi siswa, informasi promosi dan pendidikan tempat
lanjut bagi para karyawan, dan lain-lain.
b. Fungsi
pencegahan
Fungsi pencegahan ini berfungsi agar
klien tidak memasuki ketegangan ataupun gangguan tingkat lanjut dari hidupnya
agar tidak memasuki hal-hal yang berbahaya tingkat lanjut, yang mana perlu
pengobatan yang rumit pula.
c. Fungsi pengentasan
Dalam bimbingan dan konseling, konselor
bukan ditugaskan untuk mengental dengan menggunakan unsur-unsur fisik yang
berada di luar diri klien, tapi konselor mengentas dengan menggunakan kekuatan-kekuatan
yang berada di dalam diri klien sendiri.
d. Fungsi pemeliharaan dan pengembangan
Fungsi pemeliharaan berarti memelihara
segala yang baik yang ada pada diri individu, baik hal yang merupakan
pembawaan, maupun dari hasil penembangan yang telah dicapai selama ini. Dalam
bimbingan dan konseling, funsi pemeliharaan dan pengembang dilaksanakan melalui
berbagai peraturan,kegiatan dan program.
e.
Fungsi advokasi
fungsi
advokasi merupakan suatu pelayanan bimbingan dan konseling dalam upaya untuk
membantu siswa dalm membela diri berdasarkan realitas atau kondisi riil.
4. Peranan Bimbingan & Konseling
di Sekolah
Bimbingan dan konseling sangat perlu keberadaannya disetiap
sekolah. Hal ini didukung oleh berbagai macam faktor, seperti dikemukakan oleh
Koestoer Partowisastro (1982), sebagai berikut:
a. Sekolah
merupakan lingkungan hidup kedua sesudah rumah, di mana anak dalam waktu sekian
jam hidupnya berada di sekolah.
b. Para
siswa yang usianya relatif masih sangat membutuhkan bimbingan baik dalam
memahami keadaan dirinya, mengarahkan dirinya, maupun dalam mengatasi berbagai
macam kesulitan.
Tujuan layanan bimbingan di sekolah agar siswa-siswa yang
mempunyai masalah dapat terbantu, sehingga mereka dapat belajar lebih baik.
Dalam kurikulum SMA tahun 1975 Buku III C dinyatakan bahwa tujuan bimbingan di
sekolah adalah membantu:
1).
Mengatasi kesulitan dalam belajarnya, sehingga memperoleh prestasi belajar yang
tinggi.
2). Mengatasi
terjadinya kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik yang dilakukannya pada saatproses
belajar-mengajar berlangsung dan dalam hubungan sosial.
3).
Mengatasi kesulitan-kesulitan yang berhubungan dengan kesehatan jasmani.
4).
Mengatasi kesulitan-kesulitan yang berhubungan dengan kelanjutan studi.
5). Mengatasi kesulitan-kesulitan
yang berhubungan dengan perencanaan dan pemilihan jenis pekerjaan setelah
mereka tamat.
6). Mengatasi kesulitan-kesulitan
yang berhubungan dengan masalah sosial-emosional di sekolah yang bersumber dari
sikap murid yang bersangkutan terhadap dirinya sendiri, terhadap lingkungan
sekolah,keluarga, dan lingkungan yang lebih luas.
Lebih lanjut, siswa-siswi yang mengalami kesulitan belajar
kadang-kadang ada yang mengerti bahwa dia mempunyai masalah tetapi tidak tahu
bagaimana mengatasinya, dan ada juga yang tidak mengerti kepada siapa ia harus
meminta bantuan dalam menyelesaikan masalahnya itu. Dalam kondisi sebagaimana
dikemukaan di atas, maka bimbingan dan konseling dapat memberikan layanan
dalam: (1) bimbingan belajar, (2) bimbingan sosial, dan (3) bimbingan dalam
mengatasi masalah-masalah pribadi.
5. Landasan Bimbingan dan Konseling
Menurut
Winkel (1991) landasan-landasan itu adalah sebagai berikut:
a.
Bimbingan selalu memperhatikan perkembangan siswa sebagai individu yang mandiri
dan mempunyai potensi untuk berkembang.
b.
Bimbingan berkisar pada dunia subjektif masing-masing individu.
c.
Kegiatan bimbingan dilaksanakan atas dasar kesepakatan antara pembimbing dengan
yang dibimbing.
d. Bimbingan
berlandaskan pengakuan akan martabat dan keluhuran individu yang dibimbing
sebagai manusia yang mempunyai hak-hak asasi (human rights).
e. Bimbingan
adalah suatu kegiatan yang bersifat alamiah yang mengintegrasikan bidang-bidang
ilmu yang berkaitan dengan pemberian bantuan psikologis.
f. Pelayanan ditujukan kepada semua siswa, tidak
hanya untuk individu yang bermasalah saja.
g. Bimbingan
yaitu suatu proses, yaitu berlangsung secara terus-menerus, berkesinambungan,
berurutan, dan mengikuti tahap-tahap perkembangan anak.
6. Asas-Asas Bimbingan dan Konseling
Penyelenggaraan layanan dan kegiatan pendukung
bimbingan dan konseling selain dimuati oleh fungsi
dan didasarkan pada prinsip-prinsip tertentu, juga dituntut untuk memenuhi
sejumlah asas bimbingan. Pemenuhan asas-asas bimbingan itu akan memperlancar
pelaksanaan dan lebih menjamin keberhasilan layanan/kegiatan, sedangkan
pengingkarannya akan dapat menghambat atau bahkan menggagalkan pelaksanaan,
serta mengurangi atau mengaburkan hasil layanan/kegiatan bimbingan dan
konseling itu sendiri.
Betapa pentingnya
asas-asas
bimbingan konseling ini sehingga dikatakan sebagai jiwa dan
nafas dari seluruh kehidupan layanan bimbingan dan konseling. Apabila asas-asas
ini tidak dijalankan dengan baik, maka penyelenggaraan bimbingan dan
konseling akan berjalan tersendat-sendat atau bahkan terhenti sama
sekali.
a.
Asas Kerahasiaan (confidential); yaitu asas yang
menuntut dirahasiakannya segenap data dan keterangan peserta didik
(klien) yang menjadi sasaran layanan, yaitu data atau keterangan yang tidak
boleh dan tidak layak diketahui orang lain. Dalam hal ini, guru
pembimbing (konselor) berkewajiban memelihara dan menjaga semua data dan
keterangan itu sehingga kerahasiaanya benar-benar terjamin.
b.
Asas Kesukarelaan; yaitu asas yang menghendaki adanya
kesukaan dan kerelaan peserta didik (klien) mengikuti/ menjalani
layanan/kegiatan yang diperuntukkan baginya. Guru Pembimbing (konselor)
berkewajiban membina dan mengembangkan kesukarelaan seperti itu.
c.
Asas Keterbukaan; yaitu asas yang menghendaki agar
peserta didik (klien) yang menjadi sasaran layanan/kegiatan bersikap
terbuka dan tidak berpura-pura, baik dalam memberikan keterangan tentang
dirinya sendiri maupun dalam menerima berbagai informasi dan materi dari luar
yang berguna bagi pengembangan dirinya. Guru pembimbing (konselor) berkewajiban
mengembangkan keterbukaan peserta didik (klien). Agar peserta didik (klien) mau
terbuka, guru pembimbing (konselor) terlebih dahulu bersikap terbuka dan
tidak berpura-pura. Asas keterbukaan ini bertalian erat dengan asas kerahasiaan
dan dan kekarelaan.
d.
Asas Kegiatan; yaitu asas yang menghendaki agar
peserta didik (klien) yang menjadi sasaran layanan dapat berpartisipasi aktif
di dalam penyelenggaraan/kegiatan bimbingan. Guru Pembimbing (konselor) perlu
mendorong dan memotivasi peserta didik untuk dapat aktif dalam setiap
layanan/kegiatan yang diberikan kepadanya.
e.
Asas Kemandirian; yaitu asas yang menunjukkan pada
tujuan umum bimbingan dan konseling; yaitu peserta didik (klien) sebagai
sasaran layanan/kegiatan bimbingan dan konseling diharapkan menjadi
individu-individu yang mandiri, dengan ciri-ciri mengenal diri sendiri dan
lingkungannya, mampu mengambil keputusan, mengarahkan, serta mewujudkan diri
sendiri. Guru Pembimbing (konselor) hendaknya mampu mengarahkan segenap
layanan bimbingan dan konseling bagi berkembangnya kemandirian peserta didik.
f.
Asas Kekinian; yaitu asas yang menghendaki agar obyek
sasaran layanan bimbingan dan konseling yakni permasalahan yang
dihadapi peserta didik/klien dalam kondisi sekarang. Kondisi masa
lampau dan masa depan dilihat sebagai dampak dan memiliki keterkaitan
dengan apa yang ada dan diperbuat peserta didik (klien) pada saat
sekarang.
g.
Asas Kedinamisan; yaitu asas yang menghendaki agar
isi layanan terhadap sasaran layanan (peserta didik/klien) hendaknya selalu
bergerak maju, tidak monoton, dan terus berkembang serta berkelanjutan sesuai
dengan kebutuhan dan tahap perkembangannya dari waktu ke waktu.
h.
Asas Keterpaduan; yaitu asas yang menghendaki agar
berbagai layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling, baik yang dilakukan oleh
guru pembimbing maupun pihak lain, saling menunjang, harmonis dan terpadukan.
Dalam hal ini, kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak yang
terkait dengan bimbingan dan konseling menjadi amat penting dan harus
dilaksanakan sebaik-baiknya.
i.
Asas Kenormatifan; yaitu asas yang menghendaki agar
segenap layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling didasarkan pada
norma-norma, baik norma agama, hukum, peraturan, adat istiadat, ilmu
pengetahuan, dan kebiasaan – kebiasaan yang berlaku. Bahkan lebih jauh
lagi, melalui segenap layanan/kegiatan bimbingan dan konseling ini harus
dapat meningkatkan kemampuan peserta didik (klien) dalam memahami, menghayati
dan mengamalkan norma-norma tersebut.
j.
Asas Keahlian; yaitu asas yang menghendaki agar
layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling diselnggarakan atas dasar
kaidah-kaidah profesional. Dalam hal ini, para pelaksana layanan dan
kegiatan bimbingan dan konseling lainnya hendaknya tenaga yang benar-benar ahli
dalam bimbingan dan konseling. Profesionalitas guru pembimbing (konselor) harus
terwujud baik dalam penyelenggaraaan jenis-jenis layanan dan kegiatan bimbingan
dan konseling dan dalam penegakan kode etik bimbingan dan
konseling.
k.
Asas Alih Tangan Kasus; yaitu asas yang
menghendaki agar pihak-pihak yang tidak mampu menyelenggarakan layanan
bimbingan dan konseling secara tepat dan tuntas atas suatu permasalahan peserta
didik (klien) kiranya dapat mengalih-tangankan kepada pihak yang lebih ahli.
Guru pembimbing (konselor)dapat menerima alih tangan kasus dari orang
tua, guru-guru lain, atau ahli lain. Demikian pula, sebaliknya guru pembimbing
(konselor), dapat mengalih-tangankan kasus kepada pihak yang lebih
kompeten, baik yang berada di dalam lembaga sekolah maupun di luar sekolah.
l.
Asas Tut Wuri Handayani; yaitu asas yang
menghendaki agar pelayanan bimbingan dan konseling secara keseluruhan dapat
menciptakan suasana mengayomi (memberikan rasa aman), mengembangkan
keteladanan, dan memberikan rangsangan dan dorongan, serta kesempatan yang
seluas-luasnya kepada peserta didik (klien) untuk maju.
m. Asas
kerjasama; Dapat
terselenggaranya layanan bimbingan dan konseling secara efektif apabila adanya
kerjasama yang baik dari semua pihak yang terlibat, tanpa adanya kerjasama maka
layanan bimbingan dan konseling tidak akan mungkin terselenggara secara baik.
7. Persepsi Salah Tentang Bimbingan
dan Konseling
Dalam bukunya, Prayitno (2004:120-129) menjelaskan tentang
kesalahpahaman yang terjadi dalam bimbingan dan konseling, antara lain:
1. Bimbingan
dan Konseling disamakan saja dengan atau dipisahkan sama sekali dari pendidikan
Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa bimbingan dan konseling adalah
identik dengan pendidikan sehingga sekolah tidak perlu lagi bersusah payah
menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling, karena dianggap sudah
implisit dalam pendidikan itu sendiri. Cukup mantapkan saja pengajaran sebagai
pelaksanaan nyata dari pendidikan. Mereka sama sekali tidak melihat arti
penting bimbingan dan konseling di sekolah. Sementara ada juga yang berpendapat
pelayanan bimbingan dan konseling harus benar-benar terpisah dari pendidikan
dan pelayanan bimbingan dan konseling harus secara nyata dibedakan dari praktik
pendidikan sehari-hari.
Walaupun guru dalam melaksanakan pembelajaran siswa dituntut untuk dapat
melakukan kegiatan-kegiatan interpersonal dengan para siswanya, namun kenyataan
menunjukkan bahwa masih banyak hal yang menyangkut kepentingan siswa yang tidak
bisa dan tidak mungkin dapat dilayani sepenuhnya oleh guru di sekolah melalui
pelayanan pengajaran semata, seperti dalam hal pelayanan dasar (kurikulum
bimbingan dan konseling), perencanaan individual, pelayanan responsif, dan
beberapa kegiatan khas Bimbingan dan Konseling lainnya. Begitu pula, Bimbingan
dan Konseling bukanlah pelayanan eksklusif yang harus terpisah dari pendidikan.
Pelayanan bimbingan dan konseling pada dasarnya memiliki derajat dan tujuan
yang sama dengan pelayanan pendidikan lainnya (baca: pelayanan pengajaran
dan/atau manajemen), yaitu mengantarkan para siswa untuk memperoleh
perkembangan diri yang optimal. Perbedaan terletak dalam pelaksanaan tugas dan
fungsinya, dimana masing-masing memiliki karakteristik tugas dan fungsi yang
khas dan berbeda.
2. Konselor
di sekolah dianggap sebagai polisi sekolah. Masih banyak anggapan bahwa
bimbingan dan konseling adalah “polisi sekolah” yang harus menjaga dan mempertahankan
tata tertib, disiplin dan keamanan di sekolah. Tidak jarang konselor diserahi
tugas mengusut perkelahian ataupun pencurian, bahkan diberi wewenang bagi siswa
yang bersalah.
3. Bimbingan dan Konseling dianggap semata-mata sebagai proses pemberian
nasihat
Bimbingan dan konseling bukan hanya bantuan yang berupa pemberian nasihat.
Pemberian nasihat hanyalah merupakan sebagian kecil dari upaya-upaya bimbingan
dan konseling. Pelayanan bimbingan dan konseling menyangkut seluruh kepentingan
klien dalam rangka pengembangan pribadi klien secara optimal.
4. Bimbingan
dan Konseling dibatasi pada hanya menangani masalah-masalah yang bersifat incidental.
Memang tidak dipungkiri pekerjaan bimbingan dan konseling salah satunya
bertitik tolak dari masalah yang dirasakan siswa, khususnya dalam rangka
pelayanan responsif, tetapi hal ini bukan berarti bimbingan dan konseling
dikerjakan secara spontan dan hanya bersifat reaktif atas masalah-masalah yang
muncul pada saat itu. Pekerjaan bimbingan dan konseling dilakukan berdasarkan
program yang sistematis dan terencana, yang di dalamnya mengggambarkan sejumlah
pekerjaan bimbingan dan konseling yang bersifat proaktif dan antisipatif, baik
untuk kepentingan pencegahan, pengembangan maupun penyembuhan (pengentasan).
5. Bimbingan
dan Konseling dibatasi hanya untuk siswa tertentu saja. Bimbingan dan Konseling
tidak hanya diperuntukkan bagi siswa yang bermasalah atau siswa yang memiliki
kelebihan tertentu saja, namun bimbingan dan konseling harus dapat melayani seluruh
siswa (Guidance and Counseling for All). Setiap siswa berhak dan mendapat
kesempatan pelayanan yang sama, melalui berbagai bentuk pelayanan bimbingan dan
konseling yang tersedia.
6. Bimbingan dan Konseling melayani “orang sakit” dan/atau “kurang
normal”. Sasaran Bimbingan dan Konseling adalah hanya orang-orang normal yang
mengalami masalah. Melalui bantuan psikologis yang diberikan konselor
diharapkan orang tersebut dapat terbebaskan dari masalah yang menghinggapinya.
Jika seseorang mengalami keabnormalan yang akut tentunya menjadi wewenang
psikiater atau dokter untuk penyembuhannya. Masalahnya, tidak sedikit petugas
bimbingan dan konseling yang tergesa-gesa dan kurang hati-hati dalam mengambil
kesimpulan untuk menyatakan seseorang tidak normal. Pelayanan bantuan pun
langsung dihentikan dan dialihtangankan (referal).
7. Bimbingan
dan konseling bekerja sendiri. Pelayanan bimbingan dan konseling bukanlah
proses yang terisolasi, melainkan proses yang sarat dengan unsur-unsur
budaya,sosial,dan lingkungan. Oleh karenanya pelayanan bimbingan dan konseling
tidak mungkin menyendiri. Konselor perlu bekerja sama dengan orang-orang yang
diharapkan dapat membantu penanggulangan masalah yang sedang dihadapi oleh
klien. Di sekolah misalnya, masalah-masalah yang dihadapi oleh siswa tidak
berdiri sendiri.Masalah itu sering kali saling terkait dengan orang
tua,siswa,guru,dan piha-pihak lain; terkait pula dengan berbagai unsur
lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat sekitarnya. Oleh sebab itu
penanggulangannya tidak dapat dilakukan sendiri oleh guru pembimbing saja
.Dalam hal ini peranan guru mata pelajaran, orang tua, dan pihak-pihak lain
sering kali sangat menentukan. Guru pembimbing harus pandai menjalin hubungan
kerja sama yang saling mengerti dan saling menunjang demi terbantunya siswa
yang mengalami masalah itu.
8. Konselor
harus aktif, sedangkan pihak lain harus pasif. Disamping konselor yang
bertindak sebagai pusat penggerak bimbingan dan konseling, pihak lain pun,
terutama klien,harus secara langsung aktif terlibat dalam proses tersebut.Lebih jauh, pihak-pihak lain hendaknya
tidak membiarkan konselor bergerak dan berjalan sendiri. Di sekolah, guru
pembimbing memang harus aktif, bersikap “jemput bola”, tidak hanya menunggu
didatangi siswa yang meminta layanan kepadanya. Sementara itu, personil sekolah
yang lain hendaknya membantu kelancaran usaha pelayanan itu.
9. Menganggap
pekerjaan bimbingan dan konseling dapat dilakukan oleh siapa saja. Benarkah
pekerjaan bimbingan konseling dapat dilakukan oleh siapa saja? Jawabannya bisa
saja “benar” dan bisa pula “tidak”. Jawaban ”benar”, jika bimbingan dan
konseling dianggap sebagai pekerjaan yang mudah dan dapat dilakukan secara
amatiran belaka. Sedangkan jawaban ”tidak”, jika bimbingan dan konseling itu dilaksanakan
berdasarkan prinsip-prinsip keilmuan dan teknologi (yaitu mengikuti filosopi,
tujuan, metode, dan asas-asas tertentu), dengan kata lain dilaksanakan secara
profesional. Salah satu ciri keprofesionalan bimbingan dan konseling adalah
bahwa pelayanan itu harus dilakukan oleh orang-orang yang ahli dalam bidang
bimbingan dan konseling. Keahliannya itu diperoleh melalui pendidikan dan
latihan yang cukup lama di Perguruan Tinggi.
10. Pelayanan
Bimbingan dan Konseling berpusat pada keluhan pertama saja. Pada umumnya usaha
pemberian bantuan memang diawali dari gejala yang ditemukan atau keluhan awal
disampaikan konseli. Namun seringkali justru konselor mengejar dan mendalami
gejala yang ada bukan inti masalah dari gejala yang muncul. Misalkan, menemukan
siswa dengan gejala sering tidak masuk kelas, pelayanan dan pembicaraan
bimbingan dan konseling malah berkutat pada persoalan tidak masuk kelas, bukan
menggali sesuatu yang lebih dalam dibalik tidak masuk kelasnya.
11. Menyamakan pekerjaan Bimbingan dan Konseling dengan pekerjaan dokter
dan psikiater
Dalam hal-hal tertentu memang terdapat persamaan antara pekerjaan bimbingan dan
konseling dengan pekerjaan dokter dan psikiater, yaitu sama-sama menginginkan
konseli/pasien terbebas dari penderitaan yang dialaminya, melalui berbagai
teknik yang telah teruji sesuai dengan masing-masing bidang pelayanannya, baik
dalam mengungkap masalah konseli/pasien, mendiagnosis, melakukan prognosis atau
pun penyembuhannya. Kendati demikian, pekerjaan bimbingan dan konseling tidaklah
persis sama dengan pekerjaan dokter atau psikiater.
Dokter dan psikiater bekerja dengan orang sakit sedangkan konselor bekerja
dengan orang yang normal (sehat) namun sedang mengalami masalah.Cara penyembuhan yang dilakukan dokter
atau psikiater bersifat reseptual dan pemberian obat, serta teknis medis
lainnya, sementara bimbingan dan konseling memberikan cara-cara pemecahan
masalah secara konseptual melalui pengubahan orientasi pribadi, penguatan
mental/psikis, modifikasi perilaku, pengubahan lingkungan, upaya-upaya
perbaikan dengan teknik-teknik khas bimbingan dan konseling.
12. Menganggap
hasil pekerjaan Bimbingan dan Konseling harus segera terlihat
Disadari bahwa semua orang menghendaki agar masalah yang dihadapi klien dapat
diatasi sesegera mungkin dan hasilnya pun dapat segera dilihat. Namun harapan
itu sering kali tidak terkabul, lebih-lebih kalau yang dimaksud dengan “cepat”
itu adalah dalam hitungan detik atau jam. Hasil bimbingan dan konseling
tidaklah seperti makan sambal, begitu masuk ke mulut akan terasa pedasnya.
Hasil bimbingan dan konseling mungkin saja baru dirasakan beberapa hari
kemudian, atau bahkan beberapa tahun kemuadian.. Misalkan, siswa yang
mengkonsultasikan tentang cita-citanya untuk menjadi seorang dokter, mungkin
manfaat dari hasil konsultasi akan dirasakannya justru pada saat setelah dia
menjadi seorang dokter.
13. Menyamaratakan
cara pemecahan masalah bagi semua klien. Cara apapun yang akan dipakai untuk
mengatasi masalah haruslah disesuaikan dengan pribadi klien dan berbagai hal
yang terkait dengannya.Tidak ada suatu
cara pun yang ampuh untuk semua klien dan semua masalah. Bahkan sering kali
terjadi, untuk masalah yang sama pun cara yang dipakai perlu dibedakan. Masalah
yang tampaknya “sama” setelah dikaji secara mendalam mungkin ternyata
hakekatnya berbeda, sehingga diperlukan cara yang berbeda untuk mengatasinya.
Pada dasarnya.pemakaian sesuatu cara bergantung pada pribadi klien, jenis dan
sifat masalah, tujuan yang ingin dicapai, kemampuan petugas bimbingan dan
konseling, dan sarana yang tersedia.
14. Memusatkan
usaha Bimbingan dan Konseling hanya pada penggunaan instrumentasi
Perlengkapan dan sarana utama yang pasti dan dan dapat dikembangkan pada diri
konselor adalah “mulut” dan keterampilan pribadi. Dengan kata lain, ada dan
digunakannya instrumen (tes.inventori,angket dan dan sebagainya itu) hanyalah
sekedar pembantu. Ketidaan alat-alat itu tidak boleh mengganggu, menghambat,
atau bahkan melumpuhkan sama sekali usaha pelayanan bimbingan dan konseling.Oleh sebab itu, konselor hendaklah
tidak menjadikan ketiadaan instrumen seperti itu sebagai alasan atau dalih
untuk mengurangi, apa lagi tidak melaksanakan layanan bimbingan dan konseling
sama sekali.Tugas bimbingan dan konseling
yang baik akan selalu menggunakan apa yang dimiliki secara optimal sambil terus
berusaha mengembangkan sarana-sarana penunjang yang diperlukan.
15.
Bimbingan dan Konseling Dibatasi pada Hanya Menangani masalah-Masalah Yang
Ringan Saja. Ukuran berat-ringannya suatu masalah memang menjadi relatif, seringkali
masalah seseorang dianggap sepele, namun setelah diselami lebih dalam ternyata
masalah itu sangat kompleks dan berat. Begitu pula sebaliknya, suatu masalah
dianggap berat namun setelah dipelajari lebih jauh ternyata hanya masalah
ringan saja. Terlepas berat-ringannya yang paling penting bagi konselor adalah
berusaha untuk mengatasinya secara cermat dan tuntas. Jika segenap kemampuan
konselor sudah dikerahkan namun belum juga menunjukan perbaikan maka konselor
seyogyanya mengalihtangankan masalah (referal) kepada pihak yang lebih
kompeten.
8. Menghilangkan Citra Buruk BK Sebagai “Polisi Sekolah”
Ada satu hal yang sangat tidak kita
inginkan bahwa Fakta di lapangan, keberadaan Bimbingan dan Konseling (BK) di
sekolah identik dengan masalah yang dihadapi siswa. Bahkan identik dengan
tempat pembuangan sampah, karena banyak siswa yang dianggap bermasalah
diarahkan ke guru BK atau biasa disebut konselor untuk ditangani. Hal ini
tidaklah salah, namun juga tak terlalu tepat. Ada kecenderungan guru BK ibarat
polisi sekolah yang tugasnya menghukumi siswa bermasalah. Siswa merasa sungkan
untuk berhubungan dengan guru BK, karena
malu dan takut dianggap bermasalah oleh guru-guru dan siswa-siswa lainnya.
Ketika siswa-siswa memiliki masalah
itu bisa berupa masalah pribadi, sosial, belajar dan karir. Pada saat itu, ada individu siswa yang
bisa mengatasi sendiri masalahnya tanpa minta bantuan pihak lain. Di sisi lain, ada individu siswa
yang membutuhkan bantuan pihak lain
untuk menyelesaikan masalahnya.
Terkait
perlunya bantuan (intervensi) pihak lain dalam upaya mengatasi masalah individu
(siswa), keberadaan BK di sekolah menemukan fungsi dan perannya. BK, papar Eti
Nurhayati (2011), bahwa ilmu pengetahuan, seni, sekaligus sarana untuk menolong
manusia yang sedang membutuhkan pertolongan dari masalah yang sedang dihadapi
atau dari masalah yang kemungkinan akan dihadapinya. Artinya, BK memang
berupaya membantu individu siswa mengatasi masalahnya, namun BK juga berfungsi
melakukan usaha preventif agar individu siswa terhindar dari masalah.
1. Persepsi yang sering muncul terhadap tugas sebagai
guru BK :
a. BK disamakan
dengan guru pada umumnya. Pendapat yang mengatakan bahwa BK sama dengan pendidikan
lainnya. Mereka berpendapat bahwa tidak perlu ada BK di sekolah.Menurut mereka
cukup dengan memperbaiki pendidikan dan fasilitasnya, maka BK tidak di perlukan
lagi.Mereka lupa bahwa manusia punya
perasaan dan hati, dan dengan itu yang namanya manusia pasti punya masalah,
entah masalah pribadi yang berhubungan dengan dirinya sendiri, masalah sosial,bagaimana
bisa berinteraksi dengan lingkungan sekitar,masalah dengan pelajaran dan
masalah yang berhubungan dengan masa depan (karir) yang perlu di carikan jalan
pemecahannya.
b. BK “super canggih” karena bisa jadi
penyembuh. Tidak dapat di sangkal bahwa BK di samping berperan sebagai
preventif, juga berperan sebagai teman siswa dalam mencari atau keluar dari
permasalahannya.Namun demikian hendaknya kita juga sadar bahwa kita bukan orang
“super” yang mampu membawa siswa keluar dari semua permasalahannya.BK tidak
melayani “orang sakit” atau “kurang normal”, BK hanya melayani orang normal
yang mengalami masalah tertentu.seperti masalah pribadi,sosial, belajar dan
karir. BK hanya membantu mencarikan alternatif penyelesaian masalah,meberikan
solusi-solusi tentang masalah yang dihadapi. sedangkan yang menentukan berhasil
atau tidaknya adalah siswa itu sendiri, semua keputusan ada di tangan siswa.
c. Hasil kerja BK
“Instant”. Anggapan bahwa masalah yang di tangani oleh BK akan mendapatkan
hasil yang nyata dalam sekejap alias sekali layanan masalahnya sudah bisa di
selesaikan, hal seperti itu adalah anggapan yang keliru. Objek yang dilayani
dan ditangani adalah manusia yang punya hati, perasaan, kemauan, kemampuan,
bukannya sebuah barang yang bisa di perlakukan semaunya. Perlu waktu untuk
merubah kebiasaan yang sudah melekat pada siswa dan itu bukan hal yang mudah. Guru
BK(konselor) memiliki tugas, tanggungjawab, wewenang dalam pelaksanaan
pelayanan bimbingan dan konseling terhadap peserta didik. Tugas guru BK (konselor)
terkait dengan pengembangan diri peserta didik yang sesuai dengan kebutuhan,
potensi, bakat, minat, dan kepribadian peserta didik di sekolah, dalam
memberikan layanan harus memiliki pendekatan dan teknik-tekhnik tertentu, agar
supaya dalam memberikan layanan kepada peserta didik sesuai dengan keinginan
siswa.
2. Citra Guru BK
Selama ini, peran dan citra seorang guru BK di mata murid dan
masyarakat cenderung negatif. Guru BK seolah-olah hanya sebagai satpam dan
polisi sekolah, dimana guru BK identik dengan tugas memarahi dan menasihati
anak bermasalah. seperti berdiri di depan pintu gerbang menunggu siswa yang
terlambat, menghakimi siswa yang berkelahi, bahkan guru BK memegang POIN
pelanggaran sekolah. Dengan anggapan seperti itu maka jarang sekali siswa-siswa
yang mau menemui guru BK di kantor BK, karena mereka bisa takut dan teman yang
lain akan beranggapan setiap siswa yang datang ke ruang BK adalah siswa yang
memiliki masalah.
Faktor lain adalah fungsi dan peran guru BK belum dipahami
secara tepat baik oleh pejabat sekolah maupun guru BK itu sendiri. Di beberapa
sekolah, ada beberapa guru BK yang sebenarnya tidak berlatar belakang pendidikan
BK, mungkin guru tersebut memang mampu menangani siswa, yang biasanya dikaitkan
hanya pada kenakalan siswa semata. Namun seorang guru BK perlu memahami
prinsip-prinsip pelaksanaan BK, terutama prinsip yang berkenaan dengan masalah
individu siswa. Ada pula seorang guru BK yang berfungsi ganda dengan memerankan
beragam jabatan misalnya, disamping sebagai guru BK dia juga menjabat wali
kelas dan atau guru piket harian. Akibatnya, dia terlibat dalam penegakan tata
tertib sekolah, pemberian hukuman, dan atau tindakan razia yang merupakan
tindakan yang dibenci oleh siswa. Fenomena lain yang terlihat adalah sekolah
tidak menyediakan fasilitas ruang konseling yang memadai. Ruang konseling
dianggap sama dengan ruang kerja guru BK sehingga terwujud apa adanya. Padahal
ruang konseling itu punya desain interior secara khusus dan tata letak furnitur
yang diatur sesuai dengan orientasi teori konseling dan terapi yang diterapkan
seorang konselor terhadap kliennya.
3. Menghilangkan Kesan Guru BK
Sebagai Polisi Sekolah
Mengingat pentingnya peran guru BK bagi siswa-siswa di
sekolah maka persepsi bahwa guru BK sebagai polisi sekolah yang kehadirannya
hanya untuk siswa yang bermasalah perlu diluruskan, karena peran guru BK
sebenarnya jauh lebih luas daripada menangani siswa atau peserta didik yang
bermasalah, tetapi mendampingi pengembangan psikologis sisawa, baik yang
bermasalah maupun tidak, lebih-lebih bagi siswa yang yang membutuhkan bantuan.
Untuk menghilangkan persepsi atau citra buruk guru BK
sebagai polisi sekolah, perlu adanya kerjasama antara guru BK, guru mapel,
kepala sekolah serta dinas yang terkait, antara lain adalah: Pertama pihak sekolah atau khususnya
kepala sekolah memberikan prasarana dan sarana Bimbingan Konseling yang memadai
dan tepat guna. Kedua, Bimbingan
Konseling harus masuk dalam kurikulum sekolah dan diberi jam masuk kelas agar
guru BK dapat menjelaskan kepada siswa tentang program-program yang ada dalam
BK.dan memberikan layanan-layanan secara profesional. Ketiga, Guru BK harus
lebih inovatif, jangan hanya menghukum siswa yang bermasalah tetapi juga harus
memberikan motivasi kepada semua siswa baik yang bermasalah atau tidak
bermasalah, serta cara memberikan hukuman jangan hanya sanksi atau point tetapi
harus lebih mengena agar siswa jera melakukan perbuatannya yang salah dan harus
bersikap lembut dalam menangani siswa.
Keempat seorang guru BK seharusnya berkompeten di bidangnya,
seperti guru yang S1 jurusan Bimbingan dan Konseling atau guru yang sudah
mendapat pelatihan khusus untuk menjadi guru BK (Konselor) bukan dari guru mata
pelajaran yang merangkap sebagai guru BK,seperti Guru agama, karena ngerti
agama lansung dijadikan guru BK, atau guru PKN karena mengerti tentang
kedisiplinan juga dijadikan guru BK, kalau fenomena itu terjadi di dalam
instansi sekolah maka terjadilah citra buruk Konselor sebagai “polisi
sekolah” guru BK sebaiknya bersikap lebih sabar, sopan,murah senyum,
dapat menjadi teladan dan bersikap lebih bersahabat dengan siswanya agar supaya
persepsi-persepsi bahwa konselor Sebagai polisi sekolah tidak lagi menjadi
perbincangan di Indonesia pada umumnya dan si sekolah-sekolah pada khusunya.
Wallahu ‘a’lam.