Sabtu, 03 Mei 2014

PSIKOLOGI PENDIDIKAN BAHASA



Materi Power Point

Slide 1
o  Proses pendidikan adalah mempelajari situasi pendidikan dengan fokus utama interaksi pendidikan, yaitu interaksi antara peserta didik dengan pendidikan yang berlangsung dalam lingkungan belajar.
o  Pendidikan selain prosedur juga merupakan lingkungan yang menjadi tempat terlibatnya individu yang saling berinteraksi. Dalam interaksi antara individu ini baik antara guru dan peserta didik maupun peserta didik dengan peserta didik lainnya, terjadi peristiwa psikologis.

Slide 2
o  Dalam hubungannya dengan aspek psikologi pendidikan suatu dibutuhkan adanya pendidik yang profesional terutama guru di sekolah dasar dan menengah, serta dosen di perguruan tinggi.
o  Untuk melaksanakan profesinya, tenaga pendidik khususnya guru dan dosen harus memiliki sejumlah kompetensi. Dalam Undang-undang dijelaskan bahwa: “Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasasi oleh guru dan dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.”

Slide 3
o  Berkaitan dengan kemampuan dan daya pikir tersebut, maka UU no 14 tahun 2005 pasal 8 menyatakan guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
o  Kompetensi guru merupakan perpaduan antara kemampuan personal, keilmuan, tekhnologi, sosial dan spiritual yang secara kaffah membentuk kompetensi standar profesi guru.

Slide 4
o  Kompetensi standar dimaksud adalah mencakup penguasaan materi, pemahaman terhadap peserta didik, pembelajaran yang mendidik, pengembangan pribadi dan profesionalisme.
o  Untuk pencapaian hal ini, seorang guru harus memahami dan mampu mempraktekan dalam pembelajaran terutama tentang pengetahuannya dalam psikologi belajar dan hubungannya dengan metode pembelajaran (pembe-lajaran bahasa) di dalam kelas.

Slide 5
o  Psikologi adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang perilaku dan proses mental. Kajian psikologi memiliki ragamanya, antara lain psikologi umum, psikologi anak, psikologi massa, psikologi pendidikan, dll.
o  Peranan seorang guru terutama guru bahasa sangat diharapkan untuk memahami ilmu ini, karena dalam kegiatan proses pembelajaran kemampuannya untuk memahami psikologis peserta didik sangat diharapkan demi tercapainya kualitas pembelajaran.

Slide 6
o  Psi pendidikan memberikan acuan tema pada proses, jenis-jenis, teori-teori belajar, perkembangan peserta didik dalam berbagai aspek, motivasi belajar, faktor-faktor efektif dalam belajar, disiplin kelas, perbedaan-perbedaan individual, tenaga guru dan evaluasi.
o  Psikologi pendidikan mencakup manajemen ruang belajar, metode pengajaran, motivasi siswa, penanganan siswa luar biasa, penanganan perilaku menyimpang, pengukuran kinerja akademik siswa dan pendayagunaan umpan balik dan penindaklanjutan.

Slide 7
Berdasarkan penjelasan tentang konsep psikologi pendidikan dan pengajaran, hal ini berarti bahwa metode pembelajaran adalah aspek fokus yang memegang peranan penting dan menjadi kajian konsep psikologi pendidikan dan pengajaran.

Slide 8
Metode pembelajaran juga terkait erat pada peranan guru ketika ia melakukan proses pembelajaran di dalam kelas. Metode pembelajaran adalah cara yang digunakan guru agar terjadi interaksi dan proses belajar yang efektif.

Slide 9
o  Keberhasilan guru bukan karena kepintarannya dalam menjelaskan/menerapkan dalam kelas, namun semua potensi yang terlibat dalam menerapkan metode pembelajaran dalam kelas.
o  Sejumlah faktor yang dipertimbangkan dalam memilih metode pengajaran antara lain keberagaman peserta didik, ruangan kelas, ketersediaan bahan ajar, ketersediaan fasilitas belajar, tujuan pembelajaran, standar kompetensi & kompetensi dasar dan tentu pula adalah kemampuan guru itu sendiri dalam menerapkan metode pembelajaran di dalam kelas. Oleh karena itu dalam pembelajaran di dalam kelas, guru harus mempertimbangkan dengan pemilihan metode pengajaran dengan mengaitkan satu sama lain dengan berprinsip efektifitas dan efisiennya.

Slide 10
o  Dalam kenyataan sehari-hari sering kita jumpai sejumlah guru atau dosen yang menggunakan metode tertentu yang kurang cocok atau tidak cocok dengan isi dan tujuan pengajaran. Dalam kenyataan sehari-hari tak jarang kita temukan sejumlah guru yang mampu memilih metode yang tepat untuk mengajarkan materi tertentu, namun kurang mampu mengaplikasikannya secara baik.

Slide 11
Sehubungan dengan penjelasan di atas, bahwa metode pengajaran sangat erat kaitannya dengan teori-teori belajar bahasa. Teori-teori belajar bahasa ini sangat berkaitan dengan  dengan teori-teori belajar.
Teori merupakan sumber pengetauan, dan teori adalah seperangkat azas yang tersusun dalam kejadian-kejadian tertentu dalam dunia nyata. Uno (2008) menyatakan bahwa teori yaitu seperangkat proposisi yang didalamnya memuat ide, konsep, prosedur dan prinsip yang terdiri dari satu atau lebih variabel yang saling berhubungan satu sama lainya dan dapat dipelajari, dianalisis, diuji dan dibuktikan kebenarannya.

Slide 12
o  Disiplin ilmu yang relevan dengan konsep perspektif pengembangan pembelajaran bahasa adalah psikologi. Menurut Tarigan (2009) bahwa sangat perlu untuk menganalisis hubungan psikologi & pengajaran bahasa. Oleh karena itu guru bahasa harus memiliki sejumlah pengetahuan teori psikologis pembelajaran bahasa, seperti seperti teori behavioristik, teori mentalistik, teori kognitif, teori humanistik, teori konstruktivisme dan teori hibernetik.

Slide 13
Teori pembelajaran bahasa behavioristik mengacu pada pandangan pembelajaran bahasa berdasarkan stimulus dan respon. Menurut teori ini, semua perilaku, termasuk tindak balas (respons) ditimbulkan oleh adanya rangsangan (stimulus) yakni jika rangsangan telah diamati dan diketahui maka gerak balas pun dapat diprediksikan.

Slide 14
o  Kaum nativistik/mentalistik berpendapat bahwa pemerolehan bahasa pada manusia tidak boleh disamakan dengan proses pengenalan yang terjadi pada hewan. Menurut Pateda (2009) bahwa kaum mentalis memiliki konsp bahwa setiap anak lahir telah memiliki sejumlah kapasitas atau potensi bahasa. Setiap anak sejak lahir telah memiliki apa yang disebut dengan Language acquisition Devices.

Slide 15
o  Teori kognitif menyatakan bahwa bahasa itu distrukturkan atau dikendalikan oleh nalar manusia. Untuk itu, perkembangan bahasa harus berlandaskan pada perkembangan dan perubahan yang lebih mendasar dan lebih umum di dalam kognisi manusia yakni urutan-urutan perkembangan kognisi seorang anak akan menentukan urutan perkembangan bahasa dirinya.

Slide 16
o  Teori humanistik, menurut Titone (1985), dalam pembelajaran bahasa mempunyai dua kajian interpersonal dan pendekatan berpusat pada siswa serta metode integrasi; pendekatan interpersonal berkembang dan dipengaruhi oleh psikologi berpusat pada klien oleh Carl Roger.

Slide 17
Teori konstruktivisme dan sibernetik, teori konstruktivisme mengacu pada pendekatan pembelajaran kognitif dan sosial (Brown). Setiap orang bisa memilih model pembelajaran yang paling sesuai untuk dirinya, dengan mengakses via internet pembelajaran & modulnya dari berbagai penjuru dunia, contoh pembelajaran e-learning.

Slide 18
          Konsep-konsep teori pembelajaran bahasa di atas, erat kaitannya dengan pemahaman dan pemilihan guru terhadap ragam metode pembelajaran.
          Misalnya metode penerjemahan tata bahasa (Grammar translation method) merupakan metode mengajar yang muncul pada abad ke 19 dengan ciri bahwa pengajaran bahasa berfokus pada penghafalan aturan, kosa kata dan kosa kata diajarkan dengan dua bahasa, intensitas melakukan aktifitas menerjemahkan.

Slide 19
          Metode langsung (direct method) memberikan fokus pada proses pembelajaran bahasa asing sama dengan proses belajar bahasa pertama yakni penggunaan langsung bahasa dalam komunikasi. Anak belajar bahasa pertama dengan menyimak dan berbicara. Peserta didik diberikan sejumlah latihan mengasosiasi kata dan kalimat dengan makna melalui gambar.

Slide 20
          Kalau metode audiolingual memberikan penekanan pada latihan lisan, penggunaan dialog sebagai alat untuk menyajikan bahasa, dan butuh drill serta penggunaan laboratorium bahasa sangat penting. Lain halnya dengan metode audiovisual, yakni pembelajaran bahasa berdasarkan konteks social dan mengajar bahasa dengan komunikasi lisan yang bermakna (Stern, 1990: 468).

Slide 21
          Bahasa merupakan sarana yang efektif untuk menjalin komunikasi sosial. Tanpa bahasa, komunikasi tidak dapat dilakukan dengan baik dan interaksi sosial pun tidak akan pernah terjadi.
          Crow dan Crow (1987) bahwa bahasa adalah alat ekspresi bagi manusia. Via bahasalah manusia dapat mengorganisasikan bentuk-bentuk ekspresinya dalam kehidupan sosial.

Slide 22
          Berbeda dengan binatang, bahasa bagi manusia memiliki "nilai budaya".
          Perbedaan itu disebabkan dalam bahasa manusia disadari ada "kesadaran nama" yaitu bahwa setiap "bunyi-bunyi" akan selalu menunjuk pada satu objek tertentu: peristiwa, orang, benda, atau presentasi lainnya.

Slide 23
Bahasa memiliki 2 fungsi signifikan bagi manusia:
(1) Bahasa sebagai sarana pembangkit dan pembangun perhubungan yang memperluas pikiran seseorang sehingga kehidupan mental seorang individu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan mental kelompok.
(2) Bahasa sebagai sarana mempengaruhi kepribadian. Dengan menggunakan bahasa dapat mengubah cara berpikir seseorang.

Slide 24
          Bila seorang anak mempelajari bahasa berarti mereka mempelajari reaksi-reaksi tertentu, menyerap dan melahirkan pikiran-pikiran, dan menjadikan pengalaman orang lain sebagai bagian dari kehidupan mental mereka.
          Bahasa tidak hanya dimanfaatkan anak untuk mengungkapkan pikiran-pikiran dan maksud tertentu, tetapi juga untuk membuka wawasan ke taraf yang lebih tinggi, dan untuk mengembangkan fungsi-fungsi tanggapan, perasaan, fantasi, intelek, dan kemauan.

Slide 25
          Setiap anak memiliki potensi untuk berbahasa. Potensi kebahasaan itu akan tumbuh dan berkembang jika fungsi lingkungan diperankan dengan baik. Jika tidak, maka potensi itu akan bersifat "laten" (terpendam) selamanya.
          Peranan lingkungan terutama lingkungan keluarga memiliki peran strategis. Perolehan bahasa pertama kali akan terjadi manakala seorang anak mengenal bahasa di lingkungan keluarga. Bahasa yang dikenal dan dikuasai oleh anak yang berasal dari keluarga inilah yang menjadi titik awal dalam perkembangan bahasa anak.

Slide 26
          Tingkat perkembangan bahasa anak berbeda-beda sesuai dengan apa yang didengar dan dikenalnya. Kebanyakan pada awal anak-anak mengenal istilah kata benda dan kata kerja yang sederhana seperti mama, ayah, tidur, menangis, makan, minum dan lain-lain. Penguasaan bahasa ini akan berkembang sejalan perkembangan usia anak.
          Sejalan dengan perkembangan hubungan sosial maka perkembangan bahasa seseorang (bayi-anak) dimulai dengan meraban (suara atau bunyi tanpa arti) dan diikuti dengan bahasa satu suku kata, dua suku kata, menyusun kalimat sederhana.

Slide 27
          Perkembangan bahasa terkait perkembangan kognitif, artinya faktor intelek sangat berperan pada perkembangan berbahasa. Pada bayi, semakin bayi berkembang dan mulai mampu memahami lingkungan maka bahasanya mulai berkembang dari tingkat yang sederhana ke yang kompleks.
          Menurut Sunarto & Hartono (2002), perkembangan bahasa anak ialah meningkatnya kemampuan penguasaan alat berkomunikasi, baik secara lisan, tertulis, maupun dengan tanda-tanda atau isyarat. Tentu saja mampu menguasai alat komunikasi di sini diartikan sebagai upaya seseorang untuk dapat memahami dan dipahami orang lain.


MATERI BIMBINGAN & KONSELING


1.Pengertian Bimbingan dan Konseling.
Secara etimologis kata bimbingan merupakan terjemahan dari kata “Guidance” berasal dari kata kerja “to guide” yang mempunyai arti “menunjukan, membimbing, menuntun, ataupun membantu”. Sesuai dengan istilahnya, maka secara umum bimbingan dapat diartikan sebagai suatu bantuan atau tuntunan. Artinya, bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seorang atau beberapa orang individu, baik anak-anak, remaja, maupun dewasa; agar orang yang dibimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri dengan memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang ada dan dapat dikembangkan berdasarkan norma-norma yang berlaku (Prayitno, 2004:99).

Djumhur dan Moh. Surya (1975) memberikan pandangannya tentang bimbingan sebagai suatu proses pemberian bantuan secara terus menerus dan sitematis kepada individu untuk memcahkan masalah yang dihadapinya. Winkel (2005) memberikan definisi bimbingan ialah usaha melengkapi individu dengan pengetahuan, pengalaman dan informasi tentang dirinya sendiri. Sedangkan menurut Bernard & Fullmer (1969) mengemukakan bahwa bimbingan merupakan kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan realisisasi pribadi setiap individu. Berdasarkan pengertian konseling menurut para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa bimbingan merupakan bantuan yang dilakukan oleh seorang ahli kepada individu atau beberapa orang dengan memberikan pengetahuan tambahan untuk memahami dan mengatasi permalahan yang dialami oleh individu atau seseorang tersebut, dengan cara terus menerus dan sitematis.

Sementara pengertian konseling, konseling adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli (disebut konselor) kepada individu yang sedang mengalami sesuatu masalah (disebut klien) yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi klien (Prayitno, 2004:105). Menurut Pietrofesa, Leonard dan Hoose (1978) yang dikutip oleh Mappiare (2004) konseling merupakan suatu proses dengan adanya seseorang  yang dipersiapkan secara profesional untuk membantu orang lain dalam pemahaman diri pembuatan keputusan dan pemecahan masalah dari hati kehati antar manusia dan hasilnya tergantung pada kualitas hubungan. Sedangkan menurut Sulianti Saroso, Konseling adalah proses pertolongan dimana seseorang dengan tulus dan tujuan jelas, memberi waktu, perhatian dan keahliannya, untuk membantu klien mempelajari keadaan dirinya, mengenali dan melakukan masalah terhadap keterbatasan yang diberikan lingkungan.

Berdasarkan pengertian konseling menurut para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa konseling merupakan proses pemberian bantuan secara intensif dan sistematis dari seorang konselor kepada kliennya dalam rangka pemecahan suatu masalah agar klien mendapat pilihan yang baik. Disamping itu juga diharapakan agar klien dapat memahami dirinya (self understanding) dan  mampu menerima kemampuan dirinya sendiri.

2. Tujuan Bimbingan dan Konseling
Secara garis besar, tujuan bimbingan dan konseling dibagi menjadi 2, yaitu tujuan umun dan tujuan khusus. Guna memperjelas apa yang menjadi tujuan umum dan khusus, akan disampaikan penjelasannyasebagai berikut:

a.         Tujuan Umum
Ditinjau dari perkembangan konsepsi bimbingan dan konseling senantiasa mengalami perubahan, dari yang sederhana sampai yang komprehensif.Tujuan bimbingan dan konseling dengan mengikuti pada perkemangan konsepsi bimbingan dan konseling pada dasarnya adalah untuk membantu individu memperkembangkan diri secara optimal sesuai dengan tahap perkembangan dan predisposisi yang dimilikinya, berbagai latar belakang yang ada, serta sesuai dengan tuntutan positif lingkungannya.

b.        Tujuan Khusus
Tujuan khusus bimbingan dan konseling merupakan penjabaran tujuan umum tersebut yang dikaitkan secara langsung dengan permasalahan yang dialami individu yang bersangkutan, sesuai dengan kompleksitas permasalahanya. Dengan demikian maka tujuan khusus bimbingan dan konseling untuk tiap-tiap individu bersifat unik pula, artinya tujuan bimbingan dan konseling untuk individu yang satu dengan individu yang yang lain tidak boleh disamakan.

3. Fungsi Bimbingan & konseling
a. Fungsi pemahaman
Dalam fungsi pemahaman. Terdapat beberapa hal yang perlu kita pahami, yaitu pemahaman tentang masalah klien. Dalam pengenalan, bukan saja hanya mengenal diri klien, melainkan lebih dari itu, yaitu pemahaman yang menyangkut latar belakang pribadi klien, kekuatan dan kelemahannya, serta kondisi lingkungan klien. Pemahanman tentang lingkungan yang ”Lebih Luas”. Lingkungan klien ada dua, ada sempit dan luas. Lingkungan sempit yaitu kondisi sekitar individu yang secara langsung mempengaruhi individu, contohnya rumah tempat tinggal, kondisi sosio ekonomi dan sosio emosional keluatga, dan lain-lain. Sedangkan lingkungan yang lebih luas adalah lingkungan yang memberikan informasi kepada individu, seperti informasi pendidikan dan jabatan bagi siswa, informasi promosi dan pendidikan tempat lanjut bagi para karyawan, dan lain-lain.

b.    Fungsi pencegahan
Fungsi pencegahan ini berfungsi agar klien tidak memasuki ketegangan ataupun gangguan tingkat lanjut dari hidupnya agar tidak memasuki hal-hal yang berbahaya tingkat lanjut, yang mana perlu pengobatan yang rumit pula.

c. Fungsi pengentasan
Dalam bimbingan dan konseling, konselor bukan ditugaskan untuk mengental dengan menggunakan unsur-unsur fisik yang berada di luar diri klien, tapi konselor mengentas dengan menggunakan kekuatan-kekuatan yang berada di dalam diri klien sendiri.

d. Fungsi pemeliharaan dan pengembangan
Fungsi pemeliharaan berarti memelihara segala yang baik yang ada pada diri individu, baik hal yang merupakan pembawaan, maupun dari hasil penembangan yang telah dicapai selama ini. Dalam bimbingan dan konseling, funsi pemeliharaan dan pengembang dilaksanakan melalui berbagai peraturan,kegiatan dan program.

e. Fungsi advokasi
fungsi advokasi merupakan suatu pelayanan bimbingan dan konseling dalam upaya untuk membantu siswa dalm membela diri berdasarkan realitas atau kondisi riil.

4. Peranan Bimbingan & Konseling di Sekolah
Bimbingan dan konseling sangat perlu keberadaannya disetiap sekolah. Hal ini didukung oleh berbagai macam faktor, seperti dikemukakan oleh Koestoer Partowisastro (1982), sebagai berikut:

a. Sekolah merupakan lingkungan hidup kedua sesudah rumah, di mana anak dalam waktu sekian jam hidupnya berada di sekolah.
b. Para siswa yang usianya relatif masih sangat membutuhkan bimbingan baik dalam memahami keadaan dirinya, mengarahkan dirinya, maupun dalam mengatasi berbagai macam kesulitan. 

Tujuan layanan bimbingan di sekolah agar siswa-siswa yang mempunyai masalah dapat terbantu, sehingga mereka dapat belajar lebih baik. Dalam kurikulum SMA tahun 1975 Buku III C dinyatakan bahwa tujuan bimbingan di sekolah adalah membantu:

1). Mengatasi kesulitan dalam belajarnya, sehingga memperoleh prestasi belajar yang tinggi.
2). Mengatasi terjadinya kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik yang dilakukannya pada saatproses belajar-mengajar berlangsung dan dalam hubungan sosial.
3). Mengatasi kesulitan-kesulitan yang berhubungan dengan kesehatan jasmani.
4). Mengatasi kesulitan-kesulitan yang berhubungan dengan kelanjutan studi.
5). Mengatasi kesulitan-kesulitan yang berhubungan dengan perencanaan dan pemilihan jenis pekerjaan setelah mereka tamat.
6). Mengatasi kesulitan-kesulitan yang berhubungan dengan masalah sosial-emosional di sekolah yang bersumber dari sikap murid yang bersangkutan terhadap dirinya sendiri, terhadap lingkungan sekolah,keluarga, dan lingkungan yang lebih luas.

Lebih lanjut, siswa-siswi yang mengalami kesulitan belajar kadang-kadang ada yang mengerti bahwa dia mempunyai masalah tetapi tidak tahu bagaimana mengatasinya, dan ada juga yang tidak mengerti kepada siapa ia harus meminta bantuan dalam menyelesaikan masalahnya itu. Dalam kondisi sebagaimana dikemukaan di atas, maka bimbingan dan konseling dapat memberikan layanan dalam: (1) bimbingan belajar, (2) bimbingan sosial, dan (3) bimbingan dalam mengatasi masalah-masalah pribadi. 

5. Landasan Bimbingan dan Konseling
Menurut Winkel (1991) landasan-landasan itu adalah sebagai berikut:

a. Bimbingan selalu memperhatikan perkembangan siswa sebagai individu yang mandiri dan mempunyai potensi untuk berkembang.
b. Bimbingan berkisar pada dunia subjektif masing-masing individu.
c. Kegiatan bimbingan dilaksanakan atas dasar kesepakatan antara pembimbing dengan yang dibimbing.
d. Bimbingan berlandaskan pengakuan akan martabat dan keluhuran individu yang dibimbing sebagai manusia yang mempunyai hak-hak asasi (human rights).
e. Bimbingan adalah suatu kegiatan yang bersifat alamiah yang mengintegrasikan bidang-bidang ilmu yang berkaitan dengan pemberian bantuan psikologis.
f.  Pelayanan ditujukan kepada semua siswa, tidak hanya untuk individu yang bermasalah saja.
g. Bimbingan yaitu suatu proses, yaitu berlangsung secara terus-menerus, berkesinambungan, berurutan, dan mengikuti tahap-tahap perkembangan anak.

6. Asas-Asas Bimbingan dan Konseling
Penyelenggaraan layanan dan kegiatan pendukung bimbingan dan konseling selain dimuati oleh fungsi dan didasarkan pada prinsip-prinsip tertentu, juga dituntut untuk memenuhi sejumlah asas bimbingan. Pemenuhan asas-asas bimbingan itu akan memperlancar pelaksanaan dan lebih menjamin keberhasilan layanan/kegiatan, sedangkan pengingkarannya akan dapat menghambat atau bahkan menggagalkan pelaksanaan, serta mengurangi atau mengaburkan hasil layanan/kegiatan  bimbingan dan konseling itu sendiri.

Betapa pentingnya asas-asas bimbingan konseling ini sehingga dikatakan sebagai jiwa dan nafas dari seluruh kehidupan layanan bimbingan dan konseling. Apabila asas-asas ini  tidak dijalankan dengan baik, maka penyelenggaraan bimbingan dan konseling akan berjalan tersendat-sendat  atau bahkan terhenti sama sekali.

Asas- asas  bimbingan dan konseling tersebut adalah :

a.         Asas Kerahasiaan (confidential); yaitu asas  yang menuntut dirahasiakannya segenap data dan keterangan peserta didik  (klien) yang menjadi sasaran layanan, yaitu data atau keterangan yang tidak boleh dan tidak layak diketahui orang lain. Dalam hal ini, guru pembimbing  (konselor) berkewajiban memelihara dan menjaga semua data dan keterangan itu sehingga kerahasiaanya benar-benar terjamin.

b.        Asas Kesukarelaan; yaitu asas yang menghendaki adanya kesukaan dan kerelaan peserta didik (klien) mengikuti/ menjalani layanan/kegiatan yang diperuntukkan baginya. Guru Pembimbing (konselor) berkewajiban membina dan mengembangkan kesukarelaan seperti itu.

c.         Asas Keterbukaan; yaitu asas yang menghendaki agar peserta didik (klien)  yang menjadi sasaran layanan/kegiatan bersikap terbuka dan tidak berpura-pura, baik dalam memberikan keterangan tentang dirinya sendiri maupun dalam menerima berbagai informasi dan materi dari luar yang berguna bagi pengembangan dirinya. Guru pembimbing (konselor) berkewajiban mengembangkan keterbukaan peserta didik (klien). Agar peserta didik (klien) mau terbuka, guru  pembimbing (konselor) terlebih dahulu bersikap terbuka dan tidak berpura-pura. Asas keterbukaan ini bertalian erat dengan asas kerahasiaan dan  dan kekarelaan.

d.        Asas Kegiatan; yaitu asas yang menghendaki agar peserta didik (klien) yang menjadi sasaran layanan dapat berpartisipasi aktif di dalam penyelenggaraan/kegiatan bimbingan. Guru Pembimbing (konselor) perlu mendorong dan memotivasi peserta didik untuk dapat aktif dalam setiap layanan/kegiatan  yang diberikan kepadanya.

e.         Asas Kemandirian; yaitu asas yang menunjukkan pada tujuan umum bimbingan dan konseling; yaitu peserta didik (klien) sebagai sasaran layanan/kegiatan  bimbingan dan konseling diharapkan menjadi individu-individu yang mandiri, dengan ciri-ciri mengenal diri sendiri dan lingkungannya, mampu mengambil keputusan, mengarahkan, serta mewujudkan diri sendiri. Guru Pembimbing (konselor)  hendaknya mampu mengarahkan segenap layanan bimbingan dan konseling bagi berkembangnya kemandirian peserta didik.

f.         Asas Kekinian; yaitu asas yang menghendaki agar obyek sasaran layanan bimbingan dan konseling  yakni permasalahan yang dihadapi peserta didik/klien dalam kondisi sekarang. Kondisi masa lampau dan masa depan dilihat sebagai dampak dan memiliki keterkaitan dengan apa yang ada dan diperbuat peserta didik (klien)  pada saat sekarang.

g.        Asas Kedinamisan; yaitu asas yang menghendaki agar isi layanan terhadap sasaran layanan (peserta didik/klien) hendaknya selalu bergerak maju, tidak monoton, dan terus berkembang serta berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan dan tahap perkembangannya dari waktu ke waktu.

h.        Asas Keterpaduan; yaitu asas yang menghendaki agar berbagai layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling, baik yang dilakukan oleh guru pembimbing maupun pihak lain, saling menunjang, harmonis dan terpadukan. Dalam hal ini, kerja sama dan koordinasi  dengan berbagai pihak yang terkait dengan bimbingan dan konseling menjadi amat penting dan harus dilaksanakan sebaik-baiknya.

i.          Asas Kenormatifan; yaitu asas yang menghendaki agar segenap layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling didasarkan pada norma-norma, baik norma agama, hukum, peraturan, adat istiadat, ilmu pengetahuan,  dan kebiasaan – kebiasaan yang berlaku. Bahkan lebih jauh lagi, melalui segenap layanan/kegiatan  bimbingan dan konseling ini harus dapat meningkatkan kemampuan peserta didik (klien) dalam memahami, menghayati dan mengamalkan norma-norma tersebut.

j.          Asas Keahlian; yaitu asas yang menghendaki agar layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling diselnggarakan atas dasar kaidah-kaidah profesional.  Dalam hal ini, para pelaksana layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling lainnya hendaknya tenaga yang benar-benar ahli dalam bimbingan dan konseling. Profesionalitas guru pembimbing (konselor) harus terwujud baik dalam penyelenggaraaan jenis-jenis layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling dan   dalam penegakan kode etik bimbingan dan konseling.

k.        Asas Alih Tangan Kasus; yaitu asas yang menghendaki agar pihak-pihak yang tidak mampu menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling secara tepat dan tuntas atas suatu permasalahan peserta didik (klien) kiranya dapat mengalih-tangankan kepada pihak yang lebih ahli. Guru pembimbing (konselor)dapat menerima alih tangan  kasus dari orang tua, guru-guru lain, atau ahli lain. Demikian pula, sebaliknya guru pembimbing (konselor),  dapat mengalih-tangankan kasus kepada pihak yang lebih kompeten, baik yang berada di dalam lembaga sekolah maupun di luar sekolah.

l.          Asas Tut Wuri Handayani; yaitu asas yang menghendaki agar pelayanan bimbingan dan konseling secara keseluruhan dapat menciptakan suasana mengayomi (memberikan rasa aman), mengembangkan keteladanan, dan memberikan rangsangan dan dorongan, serta kesempatan yang seluas-luasnya  kepada peserta didik (klien) untuk maju.

m.      Asas kerjasama; Dapat terselenggaranya layanan bimbingan dan konseling secara efektif apabila adanya kerjasama yang baik dari semua pihak yang terlibat, tanpa adanya kerjasama maka layanan bimbingan dan konseling tidak akan mungkin terselenggara secara baik.
7. Persepsi Salah Tentang Bimbingan dan Konseling
Dalam bukunya, Prayitno (2004:120-129) menjelaskan tentang kesalahpahaman yang terjadi dalam bimbingan dan konseling, antara lain:

1. Bimbingan dan Konseling disamakan saja dengan atau dipisahkan sama sekali dari pendidikan
Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa bimbingan dan konseling adalah identik dengan pendidikan sehingga sekolah tidak perlu lagi bersusah payah menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling, karena dianggap sudah implisit dalam pendidikan itu sendiri. Cukup mantapkan saja pengajaran sebagai pelaksanaan nyata dari pendidikan. Mereka sama sekali tidak melihat arti penting bimbingan dan konseling di sekolah. Sementara ada juga yang berpendapat pelayanan bimbingan dan konseling harus benar-benar terpisah dari pendidikan dan pelayanan bimbingan dan konseling harus secara nyata dibedakan dari praktik pendidikan sehari-hari.
Walaupun guru dalam melaksanakan pembelajaran siswa dituntut untuk dapat melakukan kegiatan-kegiatan interpersonal dengan para siswanya, namun kenyataan menunjukkan bahwa masih banyak hal yang menyangkut kepentingan siswa yang tidak bisa dan tidak mungkin dapat dilayani sepenuhnya oleh guru di sekolah melalui pelayanan pengajaran semata, seperti dalam hal pelayanan dasar (kurikulum bimbingan dan konseling), perencanaan individual, pelayanan responsif, dan beberapa kegiatan khas Bimbingan dan Konseling lainnya. Begitu pula, Bimbingan dan Konseling bukanlah pelayanan eksklusif yang harus terpisah dari pendidikan. Pelayanan bimbingan dan konseling pada dasarnya memiliki derajat dan tujuan yang sama dengan pelayanan pendidikan lainnya (baca: pelayanan pengajaran dan/atau manajemen), yaitu mengantarkan para siswa untuk memperoleh perkembangan diri yang optimal. Perbedaan terletak dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, dimana masing-masing memiliki karakteristik tugas dan fungsi yang khas dan berbeda.

2. Konselor di sekolah dianggap sebagai polisi sekolah. Masih banyak anggapan bahwa bimbingan dan konseling adalah “polisi sekolah” yang harus menjaga dan mempertahankan tata tertib, disiplin dan keamanan di sekolah. Tidak jarang konselor diserahi tugas mengusut perkelahian ataupun pencurian, bahkan diberi wewenang bagi siswa yang bersalah.

3. Bimbingan dan Konseling dianggap semata-mata sebagai proses pemberian nasihat
Bimbingan dan konseling bukan hanya bantuan yang berupa pemberian nasihat. Pemberian nasihat hanyalah merupakan sebagian kecil dari upaya-upaya bimbingan dan konseling. Pelayanan bimbingan dan konseling menyangkut seluruh kepentingan klien dalam rangka pengembangan pribadi klien secara optimal.

4. Bimbingan dan Konseling dibatasi pada hanya menangani masalah-masalah yang bersifat incidental. Memang tidak dipungkiri pekerjaan bimbingan dan konseling salah satunya bertitik tolak dari masalah yang dirasakan siswa, khususnya dalam rangka pelayanan responsif, tetapi hal ini bukan berarti bimbingan dan konseling dikerjakan secara spontan dan hanya bersifat reaktif atas masalah-masalah yang muncul pada saat itu. Pekerjaan bimbingan dan konseling dilakukan berdasarkan program yang sistematis dan terencana, yang di dalamnya mengggambarkan sejumlah pekerjaan bimbingan dan konseling yang bersifat proaktif dan antisipatif, baik untuk kepentingan pencegahan, pengembangan maupun penyembuhan (pengentasan).

5. Bimbingan dan Konseling dibatasi hanya untuk siswa tertentu saja. Bimbingan dan Konseling tidak hanya diperuntukkan bagi siswa yang bermasalah atau siswa yang memiliki kelebihan tertentu saja, namun bimbingan dan konseling harus dapat melayani seluruh siswa (Guidance and Counseling for All). Setiap siswa berhak dan mendapat kesempatan pelayanan yang sama, melalui berbagai bentuk pelayanan bimbingan dan konseling yang tersedia.

6. Bimbingan dan Konseling melayani “orang sakit” dan/atau “kurang normal”. Sasaran Bimbingan dan Konseling adalah hanya orang-orang normal yang mengalami masalah. Melalui bantuan psikologis yang diberikan konselor diharapkan orang tersebut dapat terbebaskan dari masalah yang menghinggapinya. Jika seseorang mengalami keabnormalan yang akut tentunya menjadi wewenang psikiater atau dokter untuk penyembuhannya. Masalahnya, tidak sedikit petugas bimbingan dan konseling yang tergesa-gesa dan kurang hati-hati dalam mengambil kesimpulan untuk menyatakan seseorang tidak normal. Pelayanan bantuan pun langsung dihentikan dan dialihtangankan (referal).

7. Bimbingan dan konseling bekerja sendiri. Pelayanan bimbingan dan konseling bukanlah proses yang terisolasi, melainkan proses yang sarat dengan unsur-unsur budaya,sosial,dan lingkungan. Oleh karenanya pelayanan bimbingan dan konseling tidak mungkin menyendiri. Konselor perlu bekerja sama dengan orang-orang yang diharapkan dapat membantu penanggulangan masalah yang sedang dihadapi oleh klien. Di sekolah misalnya, masalah-masalah yang dihadapi oleh siswa tidak berdiri sendiri.Masalah itu sering kali saling terkait dengan orang tua,siswa,guru,dan piha-pihak lain; terkait pula dengan berbagai unsur lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat sekitarnya. Oleh sebab itu penanggulangannya tidak dapat dilakukan sendiri oleh guru pembimbing saja .Dalam hal ini peranan guru mata pelajaran, orang tua, dan pihak-pihak lain sering kali sangat menentukan. Guru pembimbing harus pandai menjalin hubungan kerja sama yang saling mengerti dan saling menunjang demi terbantunya siswa yang mengalami masalah itu.

8. Konselor harus aktif, sedangkan pihak lain harus pasif. Disamping konselor yang bertindak sebagai pusat penggerak bimbingan dan konseling, pihak lain pun, terutama klien,harus secara langsung aktif terlibat dalam proses tersebut.Lebih jauh, pihak-pihak lain hendaknya tidak membiarkan konselor bergerak dan berjalan sendiri. Di sekolah, guru pembimbing memang harus aktif, bersikap “jemput bola”, tidak hanya menunggu didatangi siswa yang meminta layanan kepadanya. Sementara itu, personil sekolah yang lain hendaknya membantu kelancaran usaha pelayanan itu.

9. Menganggap pekerjaan bimbingan dan konseling dapat dilakukan oleh siapa saja. Benarkah pekerjaan bimbingan konseling dapat dilakukan oleh siapa saja? Jawabannya bisa saja “benar” dan bisa pula “tidak”. Jawaban ”benar”, jika bimbingan dan konseling dianggap sebagai pekerjaan yang mudah dan dapat dilakukan secara amatiran belaka. Sedangkan jawaban ”tidak”, jika bimbingan dan konseling itu dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip keilmuan dan teknologi (yaitu mengikuti filosopi, tujuan, metode, dan asas-asas tertentu), dengan kata lain dilaksanakan secara profesional. Salah satu ciri keprofesionalan bimbingan dan konseling adalah bahwa pelayanan itu harus dilakukan oleh orang-orang yang ahli dalam bidang bimbingan dan konseling. Keahliannya itu diperoleh melalui pendidikan dan latihan yang cukup lama di Perguruan Tinggi.

10. Pelayanan Bimbingan dan Konseling berpusat pada keluhan pertama saja. Pada umumnya usaha pemberian bantuan memang diawali dari gejala yang ditemukan atau keluhan awal disampaikan konseli. Namun seringkali justru konselor mengejar dan mendalami gejala yang ada bukan inti masalah dari gejala yang muncul. Misalkan, menemukan siswa dengan gejala sering tidak masuk kelas, pelayanan dan pembicaraan bimbingan dan konseling malah berkutat pada persoalan tidak masuk kelas, bukan menggali sesuatu yang lebih dalam dibalik tidak masuk kelasnya.

11. Menyamakan pekerjaan Bimbingan dan Konseling dengan pekerjaan dokter dan psikiater
Dalam hal-hal tertentu memang terdapat persamaan antara pekerjaan bimbingan dan konseling dengan pekerjaan dokter dan psikiater, yaitu sama-sama menginginkan konseli/pasien terbebas dari penderitaan yang dialaminya, melalui berbagai teknik yang telah teruji sesuai dengan masing-masing bidang pelayanannya, baik dalam mengungkap masalah konseli/pasien, mendiagnosis, melakukan prognosis atau pun penyembuhannya. Kendati demikian, pekerjaan bimbingan dan konseling tidaklah persis sama dengan pekerjaan dokter atau psikiater.
Dokter dan psikiater bekerja dengan orang sakit sedangkan konselor bekerja dengan orang yang normal (sehat) namun sedang mengalami masalah.Cara penyembuhan yang dilakukan dokter atau psikiater bersifat reseptual dan pemberian obat, serta teknis medis lainnya, sementara bimbingan dan konseling memberikan cara-cara pemecahan masalah secara konseptual melalui pengubahan orientasi pribadi, penguatan mental/psikis, modifikasi perilaku, pengubahan lingkungan, upaya-upaya perbaikan dengan teknik-teknik khas bimbingan dan konseling.

12. Menganggap hasil pekerjaan Bimbingan dan Konseling harus segera terlihat
Disadari bahwa semua orang menghendaki agar masalah yang dihadapi klien dapat diatasi sesegera mungkin dan hasilnya pun dapat segera dilihat. Namun harapan itu sering kali tidak terkabul, lebih-lebih kalau yang dimaksud dengan “cepat” itu adalah dalam hitungan detik atau jam. Hasil bimbingan dan konseling tidaklah seperti makan sambal, begitu masuk ke mulut akan terasa pedasnya. Hasil bimbingan dan konseling mungkin saja baru dirasakan beberapa hari kemudian, atau bahkan beberapa tahun kemuadian.. Misalkan, siswa yang mengkonsultasikan tentang cita-citanya untuk menjadi seorang dokter, mungkin manfaat dari hasil konsultasi akan dirasakannya justru pada saat setelah dia menjadi seorang dokter.

13. Menyamaratakan cara pemecahan masalah bagi semua klien. Cara apapun yang akan dipakai untuk mengatasi masalah haruslah disesuaikan dengan pribadi klien dan berbagai hal yang terkait dengannya.Tidak ada suatu cara pun yang ampuh untuk semua klien dan semua masalah. Bahkan sering kali terjadi, untuk masalah yang sama pun cara yang dipakai perlu dibedakan. Masalah yang tampaknya “sama” setelah dikaji secara mendalam mungkin ternyata hakekatnya berbeda, sehingga diperlukan cara yang berbeda untuk mengatasinya. Pada dasarnya.pemakaian sesuatu cara bergantung pada pribadi klien, jenis dan sifat masalah, tujuan yang ingin dicapai, kemampuan petugas bimbingan dan konseling, dan sarana yang tersedia.

14. Memusatkan usaha Bimbingan dan Konseling hanya pada penggunaan instrumentasi
Perlengkapan dan sarana utama yang pasti dan dan dapat dikembangkan pada diri konselor adalah “mulut” dan keterampilan pribadi. Dengan kata lain, ada dan digunakannya instrumen (tes.inventori,angket dan dan sebagainya itu) hanyalah sekedar pembantu. Ketidaan alat-alat itu tidak boleh mengganggu, menghambat, atau bahkan melumpuhkan sama sekali usaha pelayanan bimbingan dan konseling.Oleh sebab itu, konselor hendaklah tidak menjadikan ketiadaan instrumen seperti itu sebagai alasan atau dalih untuk mengurangi, apa lagi tidak melaksanakan layanan bimbingan dan konseling sama sekali.Tugas bimbingan dan konseling yang baik akan selalu menggunakan apa yang dimiliki secara optimal sambil terus berusaha mengembangkan sarana-sarana penunjang yang diperlukan.

15. Bimbingan dan Konseling Dibatasi pada Hanya Menangani masalah-Masalah Yang Ringan Saja. Ukuran berat-ringannya suatu masalah memang menjadi relatif, seringkali masalah seseorang dianggap sepele, namun setelah diselami lebih dalam ternyata masalah itu sangat kompleks dan berat. Begitu pula sebaliknya, suatu masalah dianggap berat namun setelah dipelajari lebih jauh ternyata hanya masalah ringan saja. Terlepas berat-ringannya yang paling penting bagi konselor adalah berusaha untuk mengatasinya secara cermat dan tuntas. Jika segenap kemampuan konselor sudah dikerahkan namun belum juga menunjukan perbaikan maka konselor seyogyanya mengalihtangankan masalah (referal) kepada pihak yang lebih kompeten.

8. Menghilangkan Citra Buruk BK Sebagai “Polisi Sekolah”
Ada satu hal yang sangat tidak kita inginkan bahwa Fakta di lapangan, keberadaan Bimbingan dan Konseling (BK) di sekolah identik dengan masalah yang dihadapi siswa. Bahkan identik dengan tempat pembuangan sampah, karena banyak siswa yang dianggap bermasalah diarahkan ke guru BK atau biasa disebut konselor untuk ditangani. Hal ini tidaklah salah, namun juga tak terlalu tepat. Ada kecenderungan guru BK ibarat polisi sekolah yang tugasnya menghukumi siswa bermasalah. Siswa merasa sungkan untuk  berhubungan dengan guru BK, karena malu dan takut dianggap bermasalah oleh guru-guru dan siswa-siswa lainnya.

Ketika siswa-siswa memiliki masalah itu bisa berupa masalah pribadi, sosial, belajar dan  karir. Pada saat itu, ada individu siswa yang bisa mengatasi sendiri masalahnya tanpa minta bantuan  pihak lain. Di sisi lain, ada individu siswa yang membutuhkan bantuan  pihak lain untuk menyelesaikan masalahnya. Terkait perlunya bantuan (intervensi) pihak lain dalam upaya mengatasi masalah individu (siswa), keberadaan BK di sekolah menemukan fungsi dan perannya. BK, papar Eti Nurhayati (2011), bahwa ilmu pengetahuan, seni, sekaligus sarana untuk menolong manusia yang sedang membutuhkan pertolongan dari masalah yang sedang dihadapi atau dari masalah yang kemungkinan akan dihadapinya. Artinya, BK memang berupaya membantu individu siswa mengatasi masalahnya, namun BK juga berfungsi melakukan usaha preventif agar individu siswa terhindar dari masalah.

1. Persepsi yang sering muncul terhadap tugas sebagai guru BK :
a. BK disamakan dengan guru pada umumnya. Pendapat yang mengatakan bahwa BK sama dengan pendidikan lainnya. Mereka berpendapat bahwa tidak perlu ada BK di sekolah.Menurut mereka cukup dengan memperbaiki pendidikan dan fasilitasnya, maka BK tidak di perlukan lagi.Mereka lupa bahwa manusia punya perasaan dan hati, dan dengan itu yang namanya manusia pasti punya masalah, entah masalah pribadi yang berhubungan dengan dirinya sendiri, masalah sosial,bagaimana bisa berinteraksi dengan lingkungan sekitar,masalah dengan pelajaran dan masalah yang berhubungan dengan masa depan (karir) yang perlu di carikan jalan pemecahannya.

b. BK “super canggih” karena bisa jadi penyembuh. Tidak dapat di sangkal bahwa BK di samping berperan sebagai preventif, juga berperan sebagai teman siswa dalam mencari atau keluar dari permasalahannya.Namun demikian hendaknya kita juga sadar bahwa kita bukan orang “super” yang mampu membawa siswa keluar dari semua permasalahannya.BK tidak melayani “orang sakit” atau “kurang normal”, BK hanya melayani orang normal yang mengalami masalah tertentu.seperti masalah pribadi,sosial, belajar dan karir. BK hanya membantu mencarikan alternatif penyelesaian masalah,meberikan solusi-solusi tentang masalah yang dihadapi. sedangkan yang menentukan berhasil atau tidaknya adalah siswa itu sendiri, semua keputusan ada di tangan siswa.

c. Hasil kerja BK “Instant”. Anggapan bahwa masalah yang di tangani oleh BK akan mendapatkan hasil yang nyata dalam sekejap alias sekali layanan masalahnya sudah bisa di selesaikan, hal seperti itu adalah anggapan yang keliru. Objek yang dilayani dan ditangani adalah manusia yang punya hati, perasaan, kemauan, kemampuan, bukannya sebuah barang yang bisa di perlakukan semaunya. Perlu waktu untuk merubah kebiasaan yang sudah melekat pada siswa dan itu bukan hal yang mudah. Guru BK(konselor) memiliki tugas, tanggungjawab, wewenang dalam pelaksanaan pelayanan bimbingan dan konseling terhadap peserta didik. Tugas guru BK (konselor) terkait dengan pengembangan diri peserta didik yang sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, minat, dan kepribadian peserta didik di sekolah, dalam memberikan layanan harus memiliki pendekatan dan teknik-tekhnik tertentu, agar supaya dalam memberikan layanan kepada peserta didik sesuai dengan keinginan siswa.

2. Citra Guru BK
Selama ini, peran dan citra seorang guru BK di mata murid dan masyarakat cenderung negatif. Guru BK seolah-olah hanya sebagai satpam dan polisi sekolah, dimana guru BK identik dengan tugas memarahi dan menasihati anak bermasalah. seperti berdiri di depan pintu gerbang menunggu siswa yang terlambat, menghakimi siswa yang berkelahi, bahkan guru BK memegang POIN pelanggaran sekolah. Dengan anggapan seperti itu maka jarang sekali siswa-siswa yang mau menemui guru BK di kantor BK, karena mereka bisa takut dan teman yang lain akan beranggapan setiap siswa yang datang ke ruang BK adalah siswa yang memiliki masalah.

Faktor lain adalah fungsi dan peran guru BK belum dipahami secara tepat baik oleh pejabat sekolah maupun guru BK itu sendiri. Di beberapa sekolah, ada beberapa guru BK yang sebenarnya tidak berlatar belakang pendidikan BK, mungkin guru tersebut memang mampu menangani siswa, yang biasanya dikaitkan hanya pada kenakalan siswa semata. Namun seorang guru BK perlu memahami prinsip-prinsip pelaksanaan BK, terutama prinsip yang berkenaan dengan masalah individu siswa. Ada pula seorang guru BK yang berfungsi ganda dengan memerankan beragam jabatan misalnya, disamping sebagai guru BK dia juga menjabat wali kelas dan atau guru piket harian. Akibatnya, dia terlibat dalam penegakan tata tertib sekolah, pemberian hukuman, dan atau tindakan razia yang merupakan tindakan yang dibenci oleh siswa. Fenomena lain yang terlihat adalah sekolah tidak menyediakan fasilitas ruang konseling yang memadai. Ruang konseling dianggap sama dengan ruang kerja guru BK sehingga terwujud apa adanya. Padahal ruang konseling itu punya desain interior secara khusus dan tata letak furnitur yang diatur sesuai dengan orientasi teori konseling dan terapi yang diterapkan seorang konselor terhadap kliennya.

3. Menghilangkan Kesan Guru BK Sebagai Polisi Sekolah
Mengingat pentingnya peran guru BK bagi siswa-siswa di sekolah maka persepsi bahwa guru BK sebagai polisi sekolah yang kehadirannya hanya untuk siswa yang bermasalah perlu diluruskan, karena peran guru BK sebenarnya jauh lebih luas daripada menangani siswa atau peserta didik yang bermasalah, tetapi mendampingi pengembangan psikologis sisawa, baik yang bermasalah maupun tidak, lebih-lebih bagi siswa yang yang membutuhkan bantuan.

Untuk menghilangkan persepsi atau citra buruk guru BK sebagai polisi sekolah, perlu adanya kerjasama antara guru BK, guru mapel, kepala sekolah serta dinas yang terkait, antara lain adalah:  Pertama pihak sekolah atau khususnya kepala sekolah memberikan prasarana dan sarana Bimbingan Konseling yang memadai dan tepat guna.  Kedua, Bimbingan Konseling harus masuk dalam kurikulum sekolah dan diberi jam masuk kelas agar guru BK dapat menjelaskan kepada siswa tentang program-program yang ada dalam BK.dan memberikan layanan-layanan secara profesional. Ketiga, Guru BK harus lebih inovatif, jangan hanya menghukum siswa yang bermasalah tetapi juga harus memberikan motivasi kepada semua siswa baik yang bermasalah atau tidak bermasalah, serta cara memberikan hukuman jangan hanya sanksi atau point tetapi harus lebih mengena agar siswa jera melakukan perbuatannya yang salah dan harus bersikap lembut dalam menangani siswa.

Keempat seorang guru BK seharusnya berkompeten di bidangnya, seperti guru yang S1 jurusan Bimbingan dan Konseling atau guru yang sudah mendapat pelatihan khusus untuk menjadi guru BK (Konselor) bukan dari guru mata pelajaran yang merangkap sebagai guru BK,seperti Guru agama, karena ngerti agama lansung dijadikan guru BK, atau guru PKN karena mengerti tentang kedisiplinan juga dijadikan guru BK, kalau fenomena itu terjadi di dalam instansi sekolah maka terjadilah citra buruk Konselor sebagai “polisi sekolah” guru BK sebaiknya bersikap lebih sabar, sopan,murah senyum, dapat menjadi teladan dan bersikap lebih bersahabat dengan siswanya agar supaya persepsi-persepsi bahwa konselor Sebagai polisi sekolah tidak lagi menjadi perbincangan di Indonesia pada umumnya dan si sekolah-sekolah pada khusunya. Wallahu ‘a’lam.