Sabtu, 24 Januari 2015

MENJADIKAN CINTA YANG MENGAYAKAN

Judul Buku      : Moslem Millionaire (Menguasai Cinta dan Harta dalam 365 hari)
Penulis             : Ippho Santosa & Tim Khalifah
Cetakan           : 2013
Penerbit           : PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia Jakarta
Isi                    : 99 Halaman
ISBN               : 978-602-02-0354-6

MENJADIKAN CINTA YANG MENGAYAKAN

Salah satu faktor penyebab orang-orang Islam mengalami kemunduran dan belum mampu bersaing dengan umat-umat lainnya ialah persoalan kemiskinan. Kemiskinan seolah melekat dalam diri mereka karena beranggapan bila miskin itu sudah taqdir, miskin itu simbol kezuhudan, miskin itu menandakan ketawakkalan, dan menjadi miskin akan mudah masuk surga. Anggapan-anggapan semacam itu memang tidak bisa disalahkan. Meskipun demikian, bukankah kita juga sebagai manusia diperintahkan Tuhan untuk ikhtiar? Apakah Zuhud itu selamanya harus dipraktekkan dengan hidup miskin? Bukankah dengan menjadi kaya kita malah bisa banyak bersedekah dan membantu sesama tanpa batas sehingga membuat pintu-pintu surga terbuka lebar untuk kita? Selain itu Adakah Ayat/hadits maupun Nash yang memerintahkan agar kita umat Islam hidup Miskin? Apakah mungkin Islam akan berkembang bila orang-orangnya memilih hidup miskin? Bukankah justru kefakiranlah yang mendekatkan kita pada kekufuran?

Beberapa pertanyaan di atas mungkin bisa dijadikan pertimbangan bagi mereka yang “terlanjur” memilih hidup miskin. Kalau mungkin boleh berpendapat, kemiskinan hanya akan membuat dakwah Islam tidak berkembang dan stagnan. Kemiskinan akan membuat banyak terjadi pemurtadan. Kemiskinan hanya akan membuat umat Islam menjadi penonton dan objek dalam percaturan kehidupan. Berdasarkan  keprihatinan itulah maka buku ini dimunculkan.

Buku ini mencoba melihat fenomena kemiskinan dan keterbelakangan umat Islam dengan cara yang berbeda. Dilihat dari strukturnya, buku ini terdiri dari 7 bab. Bab pertama diawali dengan penjelasan tentang keajaiban-keajaiban cinta, yang mana dalam buku ini dijelaskan bila cinta mempunyai keajaiban untuk mampu mengayakan. Lalu Apa sebenarnya cinta yang mengayakan itu? Di sini penulis telah membagi cinta menjadi 3. Pertama, cinta karena duniawi, atau disebut rational love. Cinta seperti ini mungkin banyak terjadi kepada kita. Pada saat kita mencintai harta-harta atau barang-barang yang kita miliki untuk kemudian agar dicap menjadi orang yang kaya dan terpandang, dalam level inilah kita berada dalam tahapan rational love.

Kedua, cinta karena orang yang dicintai, disebut emotional love. Tahapan cinta pada level ini sudah tidak berpusat pada diri kita, akan tetapi sudah mulai masuk dalam ranah orang lain. Kita mencintai sesuatu untuk kemudian dipersembahkan pada orang yang kita kasihi agar mereka bahagia dengan cinta yang kita hasilkan. Ketiga, cinta karena Allah, disebut dengan spiritual love. Inilah tahapan cinta yang paling tinggi. Ketika kita mendapatkan sesuatu dari apa yang kita cintai, sesuatu tersebut tidak hanya kita nikmati sendiri dan orang lain yang kita sayangi, akan tetapi kita juga persembahkan pada Allah SWT. Jadi, ketika harta/barang yang kita cintai diambil oleh Allah, kita akan menerimanya dengan penuh keikhlasan. Cinta yang mengayakan ialah cinta yang mampu mengaplikasikan ketiga jenis cinta tersebut secara bersamaan, terutama kategori spiritual love.

Bab kedua menjelaskan tentang kebesaran cinta. Cinta dapat membuat mental dan semangat kita menjadi besar. Kalau kecintaan kita sudah besar, keyakinan kita sudah besar, maka tindakan dan amal akan besar pula. Ujung-ujungnya segala sesuatu yang tadinya besar dan tak mungkin dilakukan seketika berubah menjadi kecil. Misalkan menjadi jutawan, menjadi miliader, itu mudah ketika telah tertanam tekad dan semangat yang besar dalam diri kita serta dilandasi dengan cinta. Hal ini dicontohkan penulis pula saat berhaji ia bertemu dengan sekelompok orang Indonesia yang berjalan kaki sekitar 100 km dari Mekkah, Arafah, Musdalifah, dan Mina lalu kembali lagi ke Mekkah. Mereka bukan tanpa biaya tapi mereka mempunyai kecintaan yang besar terhadap apa yang dulu dilakukan oleh Rasulullah ketika kendaraan masih belum ditemukan seperti sekarang. Maka dengan semangat dan tekad yang besar itu, sesuatu yang terlihat sulit dan berat dilakukan, akan menjadi mudah dan ringan.

Dibagian bab ketiga kita akan disuguhkan pada pengorbanan-pengorbanan cinta. Seperti yang dikatakan banyak orang, bila cinta itu butuh pengorbanan. Pengorbanan akan menjadi tolak ukur seberapa besar kita ingin mendapatkan sesuatu yang kita cintai tersebut. Ibarat bila kita ingin mencapai posisi yang terbaik dalam karir disebuah perusahaan, maka sudah sepatutnya kita berusaha sekeras mungkin dan rela berkorban baik waktu, jiwa, maupun raga. Pengorbanan itu harus dilakukan secara konsisten dan terus menerus sampai impian kita akan terwujud.

Selanjutnya pada bab keempat akan dibahas tentang Temali cinta. Temali di sini diartikan sebagai suatu kesatuan yang terkait. Misalkan seperti sedekah yang dikaitkan dengan menabung. Salah satu Ayat al-qur’an telah menjelaskan bila barang siapa mau bersyukur ketika diberi nikmat Tuhan, maka Tuhan akan menambah nikmat tersebut. Begitu juga sebaliknya, jika seseorang itu mendurhakai nikmat Tuhan maka sesungguhnya adzab Tuhan itu lebih pedih. Ayat tersebut memberikan pelajaran pada kita untuk selalu berusaha mensyukuri nikmat Tuhan yang telah diberikan. Salah satu cara bersyukur itu dengan cinta mengeluarkan sedekah. Menurut ayat tersebut ketika mengeluarkan sedekah, maka nikmat akan bertambah. Oleh sebab itu, dalam posisi, dan seberapapun harta yang dimiliki, diusahakan untuk selalu mengeluarkan sedekah, karena hakikatnya sedekah itu sama halnya dengan menabung langsung kepada Tuhan.

Berikutnya di bab kelima disinggung tentang para penghadir cinta. Cinta dapat hadir ketika ada faktor orang kedua yang menjadi pendorongnya, salah satunya keluarga. Keluarga sangat penting bagi seseorang, bahkan mungkin sangat berharga. Banyak terjadi bagaimana orang tua rela berkorban demi mendahulukan kepentingan anaknya, dan semua itu mereka lakukan atas dasar cinta. Penghadir cinta ini mampu memberi energi atau spirit bagi seseorang untuk  bertindak lebih semangat dibandingkan bila tanpa kehadiran penghadir cinta.

Desar-desir cinta melengkapi pembahasan di buku ini pada bab keenam. Percaya ataupun tidak percaya, telah dikatakan bila kita kelak akan dikumpulkan pada orang yang kita cintai meskipun kita belum pernah bertemu orang tersebut, semisal cinta kepada Nabi Muhammad SAW. Sebagai umat yang belum pernah bertemu beliau, namun kita mempunyai rasa cinta yang mendalam kepadanya. Itu bisa dibuktikan dengan senantiasa menyebut-nyebut namanya dan rela melakukan apapun yang beliau minta dengan penuh kerelaan. Hati kita akan bergetar ketika ada orang lain yang menyebut namanya, realitas inilah yang dinamakan desar-desir cinta. Untuk itu, mulai sekarang cintailah orang-orang yang benar-benar layak kita cintai agar kelak dapat berkumpul bersamanya di kemudian hari.

Penulis terlihat sangat antusias sekali dengan satu hal ini yaitu cinta. Cinta mampu memberikan kekuatan yang luar biasa kepada kita untuk melakukan suatu hal. Sesuatu hal yang asalnya sulit, jauh, dan tidak mungkin, bisa menjadi sesuatu yang mudah, dekat,dan mungkin terjadi oleh karena cinta tersebut. Inilah alasan mengapa kita perlu menghadirkan cinta dalam kehidupan. Cinta yang benar akan mendekatkan diri kita pada Tuhan, sedangkan cinta yang salah hanya akan menjerumuskan kita pada kehancuran.

Selain itu, kemunculan buku ini dilandasi tujuan untuk mengajak umat Islam menjadi pribadi yang tangguh, baik dari segi finansial maupun kecintaannya pada Tuhan. Bukan hanya sekedar menjadi orang kaya biasa, tapi orang kaya yang dengan cintanya mampu memberikan manfaat bagi dia, keluarganya, teman-temannya, masyarakatnya dan juga agamanya. Orang seperti inilah yang disebut sebagai “Moeslim Millionaire”, yaitu pribadi yang tangguh dari segala ujian, dan melakukan sesuatu dengan penuh keyakinan dan cinta akan Tuhan adalah kuncinya. Tidak mengherankan jika hanya segelintir orang yang mampu menjadi seperti ini.

Berbeda dengan buku-buku ilmiah yang berisi tentang penelitian-penelitian yang hanya mampu difahami oleh suatu kalangan tertentu, buku ini dikemas dengan bahasa yang ringan, mudah, dan cerdas, sehingga cocok dikonsumsi untuk semua kalangan pembaca. Baik pemula maupun “master”nya, akademisi maupun orang biasa. Terlebih bagi remaja-remaja yang sedang dilingkupi perasaan akan cinta dan harta yang masih meledak-ledak. Buku ini bisa dijadikan rujukan untuk memunculkan semangat, antusiasme dan produktivitas yang kelak akan benar-benar mampu memaksimalkan potensi mereka. Selamat membaca!

                                                            *Muhammad Nashiruddin, S.Pd.I
                                                              Sekretaris Redaksi Majalah NUANSA


SUMBER: Majalah NUANSA LTN NU PATI Edisi Januari.

ASWAJA SEBAGAI MANHAJUL FIKR

Oleh: H. Moh. Ansori Ali, Lc., MHI

Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam bahasa Arab terdiri dari tiga kata, pertama kata ahlu, yang berarti pemeluk. Jika di kaitkan dengan aliran maka mempunyai arti pengikut aliran. Kedua kata sunnah, dengan nama lainnya adalah hadits yang artinya jalan. Bila kedua kata diatas digabungkan akan mempunyai arti pengikut jalan Nabi, Shahabat, dan Tabi’in. Ketiga adalah kata jama’ah, yang mempunyai arti sekumpulan orang yang mempunyai satu maksud. Jadi secara kebahasaan kata ahlus sunnah wal jama’ah artinya adalah sekumpulan orang yang mengikuti jalan Nabi, Shahabat, dan Tabi’in.

Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (Aswaja) lahir dari pergulatan intens antara doktrin dengan sejarah. Di wilayah doktrin, debat meliputi soal kalam mengenai status Al-Qur’an apakah ia makhluk atau bukan, kemudian debat antara sifat-sifat Allah antara ulama Salafiyyun dengan golongan Mu’tazilah, dan seterusnya.
          
Di wilayah sejarah, proses pembentukan Aswaja terentang hingga zaman al-Khulafa’ ar-Rasyidun, yakni dimulai sejak terjadi Perang Shiffin yang melibatkan Khalifah Ali bin Abi Thalib RA dengan Muawiyah. Bersama kekalahan Khalifah ke-empat tersebut, setelah dikelabui melalui taktik arbitrase (tahkim) oleh kubu Muawiyah, ummat Islam makin terpecah ke dalam berbagai golongan. Di antara mereka terdapat Syi’ah yang secara umum dinisbatkan kepada pengikut Khalifah Ali bin Abi Thalib, golongan Khawarij yakni pendukung Ali yang membelot karena tidak setuju dengan tahkim, dan ada pula kelompok Jabariyah yang melegitimasi kepemimpinan Muawiyah.
          
Selain tiga golongan tersebut di atas masih ada golongan Murjiah dan Qadariah, yang mempunyai faham bahwa segala sesuatu yang terjadi karena perbuatan manusia dan Allah tidak turut campur (af’al al-ibad min al-ibad) . Faham dari golongan ini berlawanan dengan golongan  Jabariyah yang berpendapat bahwa segala sesuatu yang terjadi pada manusia itu adalah dari Allah, manusia tidak mempunyai kekuatan atau kekuasaan sama sekali.

          Di antara golongan di atas, terdapat sebuah komunitas yang dipelopori oleh Imam Abu Sa’id Hasan Ibn Hasan Yasar al-Bashri (21-110 H/639-728 M) yang kemudian lebih dikenal dengan nama Imam Hasan al-Bashri, yang cenderung mengembangkan aktivitas keagamaan yang bersifat kultural (tsaqafiyah), ilmiah dan berusaha mencari jalan kebenaran secara jernih. Komunitas ini menghindari pertikaian politik antara berbagai faksi politik (firqah) yang berkembang ketika itu. Sebaliknya mereka mengembangkan sistem keberagamaan dan pemikiran yang sejuk, moderat dan tidak ekstrim. Dengan sistem keberagamaan semacam itu, mereka tidak mudah untuk mengkafirkan golongan atau kelompok lain yang terlibat dalam pertikaian politik ketika itu.

          Seiring waktu, sikap dan pandangan tersebut diteruskan dari generasi ke generasi Ulama setelah beliau, di antaranya Imam Abu Hanifah al-Nu’man (w. 150 H), Imam Malik Ibn Anas (w. 179 H), Imam Syafi’i (w. 204 H), Ibn Kullab (w. 204 H), Ahmad Ibn Hanbal (w. 241 H), hingga tiba pada generasi Abu Hasan al-Asy’ari (w 324 H) dan Abu Mansur al-Maturidi (w. 333 H). Kepada dua ulama terakhir inilah permulaan faham Aswaja sering dinisbatkan, meskipun bila ditelusuri secara teliti benih-benihnya telah tumbuh sejak dua abad sebelumnya.

          Nahdlatul ‘Ulama merupakan ormas Islam pertama di Indonesia yang menegaskan diri berfaham Aswaja. Dalam Qanun Asasi (konstitusi dasar) yang dirumuskan oleh Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari juga tidak disebutkan definisi Aswaja. Namun tertulis di dalam Qanun tersebut bahwa Aswaja merupakan sebuah faham keagamaan di mana dalam bidang akidah menganut pendapat Abu Hasan Al-Asy’ari dan Al-Maturidi, dalam bidang fiqh menganut pendapat dari salah satu madzhab empat (madzahibul arba’ah – Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali), dan dalam bidang tasawuf/akhlak menganut Imam Junaid al-Baghdadi dan Abu Hamid Al-Ghazali.

          Aswaja sebagai madzhab artinya seluruh penganut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah menggunakan produk hukum atau pandangan para Ulama dimaksud. Pengertian ini dipandang sudah tidak lagi relevan lagi dengan perkembangan zaman mengingat perkembangan situasi yang berjalan dengan sangat cepat dan membutuhkan inovasi baru untuk menghadapinya. Selain itu, pertanyaan epistimologis terhadap pengertian itu adalah, bagaimana mungkin terdapat madzhab di dalam madzhab?

          Dua gugatan tersebut dan banyak lagi yang lain, baik dari tinjauan sejarah, doktrin maupun metodologi yang menghasilkan kesimpulan bahwa Aswaja tidak lagi dapat diikuti sebagai madzhab. Lebih dari itu, Aswaja harus diperlakukan sebagai manhaj al-fikr atau metode berpikir.

ASWAJA SEBAGAI MANHAJ AL-FIKR
          Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan dengan berlandaskan atas dasar moderasi, menjaga keseimbangan dan toleran. Aswaja bukan sebuah madzhab, melainkan sebuah metode dan prinsip berpikir dalam menghadapi persoalan-persoalan agama sekaligus urusan sosial-kemasyarakatan; inilah makna Aswaja sebagai manhaj al-fikr.

          Sebagai manhajal-fikr, aswaja berpegang pada prinsip tawasuth  (moderat),  tawazun (netral), ta’adul (keseimbangan), dan tasamuh (toleran). Moderat  tercermin dalam pengambilan hukum (istinbath) yaitu memperhatikan posisi akal di samping memperhatikan nash. Aswaja memberi titik porsi yang seimbang antara rujukan nash (Al-Qur’an dan al-Hadist) dengan penggunaan akal. Prinsip ini merujuk pada debat awal-awal Masehi antara golongan yang sangat menekankan akal (mu’tazilah) dan golongan fatalis.

          Sikap netral (tawazun) berkaitan sikap dalam politik. Aswaja memandang kehidupan sosial-politik atau pemerintahan dari kriteria dan pra-syarat yang dapat dipenuhi oleh sebuah rezim. Oleh sebab itu, dalam sikap tawazun, pandangan Aswaja tidak terkotak dalam kubu mendukung atau menolak sebuah rezim. Aswaja, oleh karena itu tidak membenarkan kelompok ekstrim yang hendak merongrong kewibawaan sebuah pemerintahan yang disepakati bersama, namun tidak juga berarti mendukung sebuah pemerintahan. Apa yang dikandung dalam sikap tawazun tersebut adalah memperhatikan bagaimana sebuah kehidupan sosial-politik berjalan, apakah memenuhi kaidah atau tidak.

          Keseimbangan (ta’adul) dan toleran (tasamuh) terefleksikan dalam kehidupan sosial, cara bergaul dalam kondisi sosial budaya mereka. Keseimbangan dan toleransi mengacu pada cara bergaul kita sebagai Muslim dengan golongan Muslim atau pemeluk agama yang lain. Realitas masyarakat Indonesia yang plural, dalam budaya, etnis, ideologi politik dan agama dipandang bukan semata-mata realitas sosiologis, melainkan juga realitas teologis. Artinya bahwa Allah SWT memang dengan sengaja menciptakan manusia berbeda-beda dalam berbagai sisinya. Oleh sebab itu, tidak ada pilihan sikap yang lebih tepat kecuali ta’adul dan tasamuh.

PRINSIP ASWAJA SEBAGAI MANHAJ
          Berikut ini adalah prinsip-prinsip Aswaja dalam kehidupan sehari-hari. Prinsip-prinsip tersebut meliputi Aqidah, pengambilan hukum, tasawuf/akhlak dan bidang sosial-politik.

AQIDAH
          Dalam bidang Aqidah, pilar-pilar yang menjadi penyangga aqidah Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah diantaranya yang pertama adalah aqidah Uluhiyyah (Ketuhanan), berkait dengan ikhwal eksistensi Allah SWT. Apakah Asma Allah tergolong dzat atau bukan. Abu Hasan Al-Asy’ari (w. 324 H) secara filosofis berpendapat bahwa nama (ism) bukanlan yang dinamai (musamma). Sifat bukanlah yang disifati (mausuf), sifat bukanlah dzat. Sifat-sifat Allah adalah nama-nama (Asma’) Nya. Tetapi nama-nama itu bukanlah Allah dan bukan pula selain-Nya.

          Pilar yang kedua adalah Nubuwwat, yaitu dengan meyakini bahwa Allah telah menurunkan wahyu kepada para Nabi dan Rosul sebagai utusannya. Sebuah wahyu yang dijadikan sebagai petunjuk dan juga acuan ummat manusia dalam menjalani kehidupan menuju jalan kebahagiaan dunia dan akhirat, serta jalan yang diridhai oleh Allah SWT. Dalam doktrin Nubuwwat ini, umat manusia harus meyakini dengan sepenuhnya bahwa Muhammad SAW adalah utusan Allah SWT, yang membawa risalah (wahyu) untuk umat manusia. Dia adalah Rasul terakhir yang harus diikuti oleh setiap manusia.

          Pilar yang ketiga adalah Al-Ma’ad, sebuah keyakinan bahwa nantinya manusia akan dibangkitkan dari kubur pada hari kiamat, dan setiap manusia akan mendapat imbalan sesuai amal serta perbuatannya (yaumul jaza’). Mereka semua akan dihitung (hisab) amalnya selama hidup di dunia, bagi yang banyak beramal sholeh akan masuk surga dan mereka yang banyak beramal buruk akan masuk neraka.

BIDANG SOSIAL POLITIK
          Berbeda dengan golongan Syi’ah yang memiliki sebuah konsep negara dan mewajibkan berdirinya negara (imamah), Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah dan golongan sunni umumnya memandang negara sebagai kewajiban fakultatif (fardhu kifayah). Pandangan Syi’ah tersebut juga berbeda dengan golongan Khawarij yang membolehkan komunitas berdiri tanpa imamah apabila dia telah mampu mengatur dirinya sendiri. Bagi Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, negara merupakan alat untuk mengayomi kehidupan manusia untuk menciptakan dan menjaga kemashlahatan bersama (mashlahah musytarakah).

          Ahlussunnah wal-Jama’ah tidak memiliki konsep bentuk negara yang baku. Sebuah negara boleh berdiri atas dasar teokrasi, aristokrasi (kerajaan) atau negara modern/demokrasi, asalkan mampu memenuhi syarat-syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah negara. Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka gugurlah otoritas (wewenang) pemimpin negara tersebut. Syarat-syarat itu adalah:

- Prinsip Syura (musyawarah)
            Negara harus mengedepankan musyawarah dalam mengambil segala keputusan dan setiap keputusan, kebijakan dan peraturan. Salah satu ayat yang menegaskan musyawarah adalah sebagai berikut:
“Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan- perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Dan ( bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim mereka membela diri. (QS Al-Syura, 42: 36-39)

-  Prinsip Al-‘Adl (Keadilan)
Keadilan adalah salah satu perintah yang paling banyak ditemukan dalam Al-Qur’an. Prinsip ini tidak boleh dilanggar oleh sebuah pemerintahan, apapun bentuk pemerintahan itu. Berikut ini adalah salah satu ayat yang memerintahkan keadilan.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.” (QS An-Nisa, 4: 58)

Prinsip Al-Hurriyyah (kebebasan)
          Negara wajib menciptakan dan menjaga kebebasan bagi warganya. Kebebasan tersebut wajib hukumnya karena merupakan kodrat asasi setiap manusia. Prinsip kebebasan manusia dalam Syari’ah dikenal dengan Al-Ushulul-Khams (prinsip yang lima), yaitu:
·    Hifzhu al-Nafs (menjaga jiwa); adalah kewajiban setiap kepemimpinan (negara) untuk menjamin kehidupan setiap warga negara; bahwa setiap warga negara berhak dan bebas untuk hidup dan berkembang dalam wilayahnya.
·    Hifzhu al-Din (menjaga agama); adalah kewajiban setiap kepemimpinan untuk menjamin kebebasan setiap orang memeluk, meyakini dan menjalankan Agama dan Kepercayaannya. Negara tidak berhak memaksakan atau melarang sebuah agama atau kepercayaan kepada warga negara.
·    Hifzhu al-Mal (menjaga harta benda); adalah kewajiban setiap kepemimpinan untuk menjamin keamanan harta benda yang dimiliki oleh warga negaranya. Negara wajib memberikan jaminan keamanan dan menjamin rakyatnya hidup sesuai dengan martabat rakyat sebagai manusia.
·    Hifzhu al-Nasl; bahwa negara wajib memberikan jaminan terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga negara. Negara harus menjaga kekayaan budaya (etnis), tidak boleh mangunggulkan dan memprioritaskan sebuah etnis tertentu. Hifzhu al-Nasl berarti negara harus memperlakukan setiap etnis dengan sama yang hidup di wilayah negaranya.
·    Hifzh al-‘Irdh; jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga negara. Negara tidak boleh merendahkan warga negaranya karena profesi dan pekerjaannya. Negara justru harus menjunjung tinggi dan memberikan tempat yang layak bagi setiap warga negara.
          Al-Ushulul Khams identik dengan konsep Hak Azazi Manusia yang lebih dikenal dalam dunia modern. Lima pokok atau prinsip di atas menjadi ukuran baku bagi legitimasi sebuah kepemerintahan sekaligus menjadi acuan bagi setiap orang yang menjadi pemimpin di kelak kemudian hari.

Prinsip Al-Musawah (Kesetaraan Derajat)
          Bahwa manusia diciptakan sama oleh Allah SWT. Antara satu manusia dengan mausia lain, bangsa dengan bangsa yang lain tidak ada pembeda yang menjadikan satu manusia atau bangsa lebih tinggi dari yang lain. Manusia diciptakan berbeda-beda adalah untuk mengenal antara satu dengan yang lain. Sehingga tidak dibenarkan satu manusia dan sebuah bangsa menindas manusia dan bangsa yang lain. Dalam surat Al-Hujuraat disebutkan:“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Al-Hujuraat, 49: 13)

          Perbedaan bukanlah semata-mata fakta sosiologis, yakni fakta yang timbul akibat dari relasi dan proses sosial. Perbedaan merupakan keniscayaan teologis yang dikehendaki oleh Allah SWT. Demikian disebutkan dalam surat Al-Ma’idah: “Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu”. (Al-Maidah; 5: 48)

          Dalam sebuah negara kedudukan warga negara adalah sama. Orang-orang yang menjabat di tubuh pemerintahan memiliki kewajiban yang sama sebagai warga negara. Mereka memiliki jabatan semata-mata adalah untuk mengayomi, melayani dan menjamin kemashlahatan bersama, dan tidak ada keistimewaan khususnya di mata hukum. Negara justru harus mampu mewujudkan kesetaraan derajat antar manusia di dalam wilayahnya, yang biasanya terlanggar oleh perbedaan status sosial, kelas ekonomi dan jabatan politik.

          Dengan prinsip-prinsip di atas, maka tidak ada doktrin Negara Islam, Formalisasi Syari’at Islam dan Khilafah Islamiyah bagi Ahlussunnah wal-Jama’ah. Sebagaimana pun tidak didapati perintah dalam Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas untuk mendirikan salah satu di antara ketiganya. Islam hanya diharuskan untuk menjamin agar sebuah pemerintahan – baik negara maupun kerajaan – harus mampu memenuhi 4 (empat) kriteria di atas.

          Sebagai manhaj, Ahlus Sunnah Wal Jama’ah akan menjadi lebih fleksibel dan memungkinkan bagi pengamalnya untuk menciptakan ruang kreatifitas dan menelorkan ikhtiar-ikhtiar baru untuk menjawab perkembangan zaman.

SUMBER: Majalah NUANSA LTN NU PATI Edisi Januari 2015.

ORANG TUA 'LOVING'


Ada banyak teori dan konsep tentang ragam kecerdasan, yaitu kecerdasan intelektual, emosi, dan spiritual. Sebelum diketemukannya ragam kecerdasan ini, seorang anak yang cerdas adalah anak yang memiliki IQ tinggi. Deretan nilai rapor dengan peringkat rangking, merupakan model penilaian yang menggunakan satu aspek kecerdasan tidak akan mengoptimalkan kemampuan anak secara intelektual, melainkan justru mengebiri ragam kecerdasan lainnya yang mungkin sangat berpotensi untuk dikembangkan.

Pendidikan di dalam keluarga sangat memberikan kontribusi yang bermakna atas optimalisasi intelektual anak. Lebih-lebih kasih sayang yang diberikan orang tua dan keharmonisan dalam keluarga menjadi faktor penentu pengembangan intelektual anak. Di samping itu, rasa kasih sayang juga senantiasa harus menyertai seluruh kegiatan belajar mengajar di sekolah, karena dengan sentuhan emosional, anak akan merasa senang dan nyaman dalam belajar.

Kasih sayang yang diberikan orang tua, ditunjukkan dengan adanya komunikasi yang hangat antar anggota keluarga. Kemampuan orang tua untuk menjaga suasana psikologis agar tidak terjadi kebocoran-kebocoran verbal sangat dianjurkan. Karena bila tidak, maka hal ini akan membentuk pola prilaku anak yang sama, anak akan meniru prilaku tersebut. Bila kata-kata atau komentar negatif sering muncul, ini akan menghambat kemampuan intelektual juga fisik anak. Anak akan merasa tidak berguna, merasa tidak bisa, dan semua sifat inferior akan lebih banyak muncul.

Memiliki orang tua yang ‘loving’, penuh perhatian dan responsif membuat anak menjadi sehat, ceria, pandai dan kritis. Kondisi yang menyenangkan akan mengaktifkan neo-cortex (otak berfikir), sehingga proses belajar anak menjadi optimal dan percaya diri. Ketika otak menerima sinyal positif dan suportif, otak terlibat secara emosional sehingga memungkinkan syaraf bekerja maksimal. Kalau perasaan anak senang karena mendapatkan pujian atas sesuatu yang telah dikerjakannya, anak akan memperoleh kepercayaan dirinya. Akan tetapi bila yang terjadi adalah sebaliknya, bila anak mendapatkan komentar negatif, bernada ancaman, mendapatkan celaan, maka kapasitas syaraf untuk berfikir rasional menjadi semakin mengecil. Anak akan merasa sangat bersalah, tidak berarti, dan yang lebih fatal lagi, anak tidak mendapatkan rasa percaya dirinya.

Ada tiga tipe orang tua dalam pola pengasuhan, yaitu otoritatif, otoriter dan permisif. Ketiga pola pengasuhan orang tua ini tentu akan memberikan dampak yang berbeda terhadap anak-anak dalam kehidupannya kelak. Orang tua yang otoritatif akan memiliki anak-anak yang berhasil dalam hidupnya ketimbang orang tua yang otoriter dan orang tua yang permisif. Orang tua yang otoritatif cenderung akrab dengan anak-anaknya, sehingga ada komunikasi timbal balik antara orang tua dengan anak. Dalam otoritatif, orang tua memungkinkan untuk mengkomunikasikan harapan-harapannya yang bertumpu pada anak-anaknya. Karena terjalin komunikasi yang hangat, maka anak akan mengerti tentang ekspektasi orang tuanya, dan anak akan berusaha membahagiakan orang tunya dengan lebih mengoptimalkan kemampuannya demi mencapai harapan-harapan itu.

Sedangkan pola asuh otoriter, sangat berkebalikan dengan pola asuh otoritatif. Tidak adanya komunikasi yang hangat dan suportif, menyebabkan anak memiliki tanggungjawab yang rendah terhadap pencapaian keberhasilannya. Lain halnya dengan pola asuh permisif, pola asuh ini akan membentuk anak yang kurang disiplin, tidak mandiri, menjadi anak yang selalu menuntut, cenderung egois karena keinginan mereka yang selalu dipenuhi.

Untuk lebih mengembangkan self-esteem anak, komunikasi yang dilakukan orang tua haruslah yang bersifat suportif, di dalamnya ada saling keterbukaan, menumbuhkan empati, memberikan dukungan, dan kata-kata yang diucapkan adalah kata-kata yang positif serta tidak ada kata-kata membandingkan, karena setiap anak berbeda dan memiliki keunikan masing-masing.      

Oleh: Sumiyati
Dosen PGRA/PAUDi STAI Mathali’ul Falah.
Sumber: Majalah NUANSA LTN NU Pati Edisi Januari 2015.

POLITIK HARI SANTRI OLEH MUNAWIR AZIZ


Tampilnya Joko Widodo–Jusuf Kalla (JK) sebagai nahkoda baru pemerintahan Indonesia merupakan sejarah penting dalam dekade kedua reformasi. Selama ini Jokowi dikenal sebagai sosok pemimpin yang dekat dengan rakyat, sementara JK merupakan politisi dan pengusaha yang telah kenyang pengalaman. Pelantikan Jokowi-JK pada 20 Oktober 2014 lalu, tidak hanya memberi harapan namun juga menebar semangat kerja.

Pada masa kampanye menjelang pemilihan presiden-wakil presiden, Jokowi pernah berjanji tentang hari santri. Ia mengungkapkan tentang penetapan hari santri sebagai wujud keberpihakan terhadap kearifan lokal, tradisi Islam dan legitimasi politik terhadap komunitas pesantren. Menurut Jokowi, “Santri adalah kearifan lokal. Jadi kalau kita buat penetapan Hari Santri nasional, berarti itu menunjukkan bahwa kita telah memberikan penghargaan yang lebih tinggi terhadap santri, yakni menjadikan kearifan  nasional” ungkap Jokowi. “Alasan lain, saya berani menetapkan Hari Santri Nasional itu karena jatuhnya pada 1 Muharram, bukan tanggal lain, sehingga tidak akan mengundang pro dan kontra. Kalau tanggal lain, takutnya nanti ada yang tidak setuju,” terang Jokowi.

Setelah Jokowi dilantik sebagai presiden, apa urgensi hari santri? Tentu saja, bukan perkara formal maupun ideal dalam politik hari santri. Yang paling penting, adalah bagaimana Jokowi mampu menjadikan santri dan komunitas pesantren sebagai gerbong terdepan dalam mengelola muslim cinta damai dalam platform Islam rahmatan lil’ alamin.
Dalam pemerintahan Jokowi-JK mendatang, gesekan ideologi dalam internal maupun lintas agama dapat menjadi hambatan. Gesekan ideologi inilah, yang berpotensi menjadi kerusuhan maupun teror. Problem yang terkait dengan Ahmadiyah dan Syiah di Indonesia masih belum tuntas. Pada titik inilah, penting untuk menghadirkan santri sebagai garda depan dalam mengelola isu-isu keagamaan, agar menjadi lebih segar dan damai. 

Nasionalisme Santri
Sejarah nusantara dan Indonesia tidak bisa lepas dari peran santri dan pesantren. Dalam sejarahnya, santri dan pesantren menjadi instrumen penting dalam penyebaran agama, khususnya Islam. Catatan-catatan sejarah, semisal Ma Huan dan inskripsi makam-makam di Jawa, menyebut bahwa penyebaran Islam di Indonesia pada kisaran abad XI-XIV. Pada titik inilah, Islam mulai menjadi bagian dari dinamika agama di Nusantara, yang terkait dengan gerak misi Buddha dan Hindu di Jawa dan Sumatra.

Santri mulai mencatatkan sejarahnya ketika Walisongo menjadi juru dakwah dengan strategi damai. Wali Songo yang merupakan misi keagamaan dan politik Ottoman kemudian berjejaring dengan ulama-ulama dari Campa dan India. Inilah yang menjadi model transformasi Islam ke seluruh area Nusantara. Silang koneksi Ottoman, Arab, Tiongkok, India dan Nusantara menjadi bagian dari sejarah politik keagamaan di negeri ini. Hingga, proses lahirnya Islam Indonesia yang bertahan hingga kini, dengan segenap variannya.

Jaringan santri bergerak dalam dua misi: transmisi keilmuan-pegetahuan keagamaan dan strategi politik untuk mengukuhnya ide-ide Nusantara. Cendekiawan muslim Nurcholis Madjid (1939-2005) mengungkap, bahwa kata santri secara semantik dapat dimaknai dalam dua tafsir: sastri dan cantrik. Sastri dalam bahasa Sanskrit dimaknai ‘melek huruf’. Sedangkan, cantrik dapat ditafsirkan sebagai seseorang yang mengikuti seorang kiai atau ‘alim untuk memperdalam keilmuan dan keahlian tertentu.

Historiografi Nusantara mencatat peran santri dalam dinamika politik dan keagamaan. Pada abad XIX, santri menjadi barisan terdepan dalam Perang Jawa (1825-1830), yang dikomando Pangeran Diponegaro. Laskar pimpinan Kiai Maja, Kiai Hasan Besari dan Sentot Ali Basya, menyelaraskan gerakan perlawanan Diponegaro selain laskar ksatria yang Pangeran Sastradilaga. Perjuangan santri tidak banyak ditulis dalam politik ingatan, justru ditenggelamkan sebagai mitos dan ilusi.

Pada masa revolusi, jaringan santri-kiai berperan penting dalam memperjuangkan kemerdekaan dan melawan serdadu kolonial. Seruan fatwa Jihad Kiai Hasyim Asy’arie (1871-1947) pada 22 Oktober 1945 menggerakkan ribuan santri untuk  berjuang bersama pada pertempuran 10 November 1945 di Surabaya dan peristiwa Palagan Ambarawa, Semarang (Bizawie, 2013). Lagi-lagi, peran sejarah santri ini tersisih dari naskah sejarah Indonesia modern.

Lalu, bagaimana santri dimaknai dalam kontestasi politik saat ini? Kiprah KH. Abdurrahman Wahid (1940-2009) menjadi penanda penting. Gus Dur meneruskan jejak perjuangan ayahanda (KH. Wahid Hasyim, 1914-1953) dan kakeknya, tampil sebagai santri yang tidak hanya menguasai pengetahuan agama, namun juga berhasil mentransformasikan ilmunya dalam strategi politik kebangsaan. Inilah potret ideal santri masa kini, yang wajib ‘alim dalam bidang ilmu yang digelutinya sebagai akar tradisi, sekaligus mampu mengkomunikasikan dalam publik yang lebih luas dan heterogen. Pada masa kini, santri harus bisa menyandingkan ilmu dan strategi dalam satu tarikan nafas.

Peran sejarah santri sering dipinggirkan dalam wacana pengetahuan maupun politik penguasa. Sejarah pengetahuan versi Orde Baru, juga turut menjadikan santri kehilangan konteknya untuk membantu negara. Pada era Jokowi-JK ini, santri dan komunitas pesantren dapat menjadi bagian penting dari upaya pemerintah menerjemahkan konsep revolusi mental. Dalam tradisi santri, revolusi mental akan bergerak secara dinamis tanpa terjebak pada isu-isu komunis. Revolusi mental sudah menjadi bagian dari tradisi sejarah santri, dengan perlawanan kontinyu terhadap kolonialisme maupun upaya-upaya yang menghancurkan bangsa. Santri juga dapat menjadi agen untuk menebar Islam ramah dan mengkampanyekan Islam yang rahmatan lil-alamin.

Pada titik ini, potensi konflik akibat gesekan ideologi antar kelompok Islam maupun ideologi lintas agama dapat diredam. Janji Jokowi terhadap hari santri bukan hanya pada level formal-ideal, namun juga perlu diterjemahkan dalam ranah substansial. Usulan PBNU tentang Hari Santri pada 22 Oktober, yang berakar pada sejarah ‘Resolusi Jihad’, menjadi penting dan perlu didukung bersama. Santri tidak hanya obyek, ia harus memainkan peran sejarahnya.

*Munawir Aziz. Santri dan Peneliti, Dosen STAIMAFA Pati, penulis beberapa buku.

Sumber: Majalah NUANSA LTN NU PATI Edisi Januari 2015.

MENGGUGAT MONEY POLITICS

Oleh: Muhammadun AS (Pimred Majalah Bangkit Yogyakarta)

Salah satu persoalan penting dalam pertarungan politik yang harus dijawab oleh masyarakat agama adalah money politics. Money politics atau politik uang adalah semua tindakan yang disengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah atau dengan sengaja menerima atau memberi dana kampanye dari atau kepada pihak-pihak yang dilarang menurut ketentuan undang-undang nomor 12 tahun 2003 tentang pemilu atau dengan sengaja memberikan keterangan tidak benar dalam laporan dana kampanye pemilu.

Menurut KH. Said Aqil Siraj (2012), money politics yang dalam prakteknya bisa berbentuk sedekah dan zakat yang belakangan ini marak terjadi di tengah masyarakat, maupun pemberian uang secara langsung dan tak langsung, komitmen pada sebuah janji, ataupun cara-cara lain yang bertujuan mempengaruhi pilihan dalam sebuah pesta demokrasi, baik pemilihan presiden, kepala daerah, legislatif sampai tingkat kepala desa.
Kiai Said melihat bahwa risywah dalam politik sama halnya dengan melakukan korupsi yang merupakan perbuatan keji dan diharamkan oleh agama. Korupsi masuk dalam kategori perbuatan fasad, perbuatan yang merusak tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hukuman untuk pelakunya adalah dipotong kedua tangan dan kakinya, atau dimusnahkan dari muka bumi.

Dalam Munas Alim Ulama’ dan Konbes NU 2012 ditegaskan bahwa money politics itu haram, sehingga masyarakat harus menjauhinya. Bagi NU, money politics bukan saja merusak tatanan pemilu, melainkan juga menimbulkan banyak sekali permusuhan dan perpecahan antar sesama.

Dalil yang Melarang Money Politics
Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah kalian memakan harta-harta diantara kalian dengan cara yang bathil” [QS. Al-Baqarah: 188]. Imam al Qurthubi mengatakan, ”Makna ayat ini adalah janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lainnya dengan cara yang tidak benar.” Dia menambahkan bahwa barangsiapa yang mengambil harta orang lain bukan dengan cara yang dibenarkan syariat maka sesungguhnya ia telah memakannya dengan cara yang batil. Diantara bentuk memakan dengan cara yang batil adalah putusan seorang hakim yang memenangkan kamu sementara kamu tahu bahwa kamu sebenarnya salah. Sesuatu yang haram tidaklah berubah menjadi halal dengan putusan hakim.” (al Jami’ Li Ahkamil Qur’an juz II hal 711).

Diakui atau tidak, praktik suap-menyuap merupakan cara-cara bathil memakan harta sesama manusia.Dalam hadits juga dijelaskan yang sama. Dari Abdullah bin Umar, ia berkata: “Rasulullah SAW melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap.” [HR. Abu Daud no. hadits 3580].

Akan tetapi, setelah jelasnya hukum akan perkara ini, masih saja ada orang-orang yang coba memalingkan dan mengkaburkan hukum keharaman suap-menyuap ini dengan berdalih bahwa yang diberikannya itu adalah hadiah atas bantuannya, atau uang lelah, dan ungkapan lainnya.

Dengan alasan-alasan seperti itu juga telah terbantahkan oleh hadits yang banyak yang telah diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, diantaranya: “Siapa saja yang menolong saudaranya kemudian dia dihadiahkan sesuatu maka ia telah masuk ke dalam pintu besar dari Riba.” [HR. Ahmad dalam Musnadnya]

Tidak cukup dengan hadits tersebut, bahkan penyusun kitab Shahih Bukhari, Abu Ismail al-Bukhari membuat bab khusus tentang siapa saja yang tidak menerima hadiah karena pekerjaan. Dalam bab tersebut, Imam Bukhari menukil perkataan ‘Umar bin Abdul Aziz: Pada zaman Rasulullah pemberian itu dinamakan Hadiah, maka zaman sekarang ini dinamakan risywah (suap)”. [Shahih Bukhari]

Suap-menyuap bukanlah hal baru dalam Islam, karenanya banyak hadits dan atsar para sahabat RA yang mencela bahkan mengutuk praktik suap-menyuap tersebut. Bahkan para ulama juga memberikan perhatian yang besar terhadap permasalahan ini, diantaranya adalah Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Mughniy, ia berkata: “Adapun suap-menyuap dalam masalah hukum dan pekerjaan (apa saja) maka hukumnya haram –tidak diragukan lagi-.”

Menghadang Laju Money Politics
Politik uang memang sudah menggejala, ini harus dilawan semua kalangan. Terlebih even Pilkades di 214 desa di Kabupaten Pati sudah di depan mata. Jangan sampai kita berdiam diri melihat ini semua. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan kaum agamawan bersama masyarakat untuk mengahadang laju politik uang ini. Pertama, semua aparatur pemerintah harus memberikan contoh. Jangan sampai bersuara haram politik uang, ternyata justru menjadi dalang lahirnya politik uang. Aparatur pemerintah harus menjadi contoh pertama. 

Kedua, dimulai dari diri sendiri dan keluarga masing-masing. Kalau setiap individu dan keluarga bisa melakukan, maka politik uang akan musnah di tengah perjalanan waktu. Ketiga, membuat regulasi yang jelas dan tegas soal pendanaan politik. Keempat, pemerintah harus siap mendidik rakyat agar tidak mudah ditipu dengan politik uang. Kelima, membuat gerakan kampanye secara bersama-sama antara pemerintah dengan masyarakat dan ormas untuk melawan politik uang. Keenam, aparat penegak hokum untuk menghukum secara tegas mereka yang terbukti melakukan praktek politik uang.

Sumber: Majalah NUANSA LTN NU Pati Edisi Januari 2015.