Berbicara tentang perkembangan
Islam selama dua dekade terakhir di Kecamatan Gembong bahkan di Kabupaten Pati,
tentu nama ini sangat lekat di hati masyarakat. Beliau adalah Imam Shofwan, putra asli daerah Gembong ini telah melanglang buana ke berbagai dimensi dan
aspek kehidupan masyarakat demi tegaknya Islam yang berhaluan ahlussunnah wal
jama’ah.
Skill tinggi dalam berorganisasi, berpolitik, sikap frontal serta
retorika dakwah tinggi dengan ciri khas joke-jokenya yang segar menjadi ciri
khas tersendiri mengapa KH. Imam Shofwan
banyak menuai sanjungan dan hujatan dalam setiap langkah organisasi dan
politiknya.
Bukan hanya itu, keberaniannya
dalam mendobrak kemungkaran pun menjadi satu bahasan menarik. Sikap ini mulai nampak sejak beliau mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren TBS Kudus, dimana Kyai Ma’mun Pengasuh TBS waktu itu memerintahkan Shofwan muda beserta satu temannya untuk meminta sumbangan yatim
piatu. Namun, beliau justru membuang semua brosur di Kali Gelis, tanpa tahu
bahwa pihak pondok mencatat semua penerimaan dana. Hal ini membuat Sang Ayah, Muhammad Karim menjual satu ekor sapi
untuk mengganti seluruh kerugian pondok akibat ulah putranya. “Santri kok di suruh ngemis” begitu ujar Shofwan muda sebagai
argumentasinya.
Satu lagi kisah yang tak
lekang dari ingatan KH. Imam Shofwan adalah ketika beliau ditahan selama
satu minggu di Koramil Gembong. Hal ini bermula sekitar tahun 1971 ketika beliau merobek puluhan bendera partai penguasa—pada masa itu—sepanjang
Jalan Raya Pati-Gembong akibat ketidakpuasannya terhadap kebijakan pemerintah orde
baru yang kian menjalankan politik
kekuasaan secara “brutal”. Sebuah keberanian luar biasa karena
yang dihadapi adalah rezim diktator yang tentunya di masa itu tidak banyak yang
berani mengambil resiko sebesar itu.
Gairah “jihad” Shofwan
muda dimulai semenjak beliau menyelesaikan mondoknya di Rogojampi Banyuwangi,
kemudian semakin intens saat menjadi pengurus GP Ansor Kecamatan Gembong, bahkan gerakan dakwah beliau
dilanjutkan melalui jalur pemerintahan saat menjadi anggota DPRD Kabupaten Pati
dari Fraksi PPP, saat itu menjadi anggota DPRD termuda karena KH. Imam Shofwan
baru berusia 32 tahun.
Setelah mendapatkan instruksi dari PBNU bahwa NU keluar
dari PPP, Pengasuh Ponpes Shofa Azzahro Gembong ini pun akhirnya keluar dari
PPP dan tidak melanjutkan perjuangannya lewat partai politik sebagai bentuk
ta’dzim kepada para Kyai NU. Kemudian, perjuangan Mbah Shofwan dilanjutkan melalui jalur kultural
dengan menjadi Ketua Tanfidziah MWC NU Kecamatan Gembong, dimana ia gigih
menghadapi kaum abangan dan bahkan non-muslim yang menghalangi perjuangan Islam
di Kecamatan Gembong.
Keberanian dan kegigihan beliau dalam memperjuangkan Islam
dan NU akhirnya mengantarkan beliau menjadi Ketua Tanfidziah PCNU Kabupaten Pati,
dan salah satu gerakan yang cukup fenomenal adalah menjadi pelopor terhadap penolakan menjamurnya karaoke (plus-plus) di wilayah Kabupaten Pati yang
semakin tidak terkendali jumlahnya. Menurut pria kelahiran 5 Mei 1950 ini, saat membuat gerakan penolakan karaoke ‘plus-plus’,
banyak sekali kecaman bahkan ancaman bukan
hanya bagi diri pribadi, namun juga keluarganya.
Berbagai upaya ditempuh demi menutup karaoke “plus-plus”,
mulai dari audiensi dengan Polres Pati, Dandim Pati, Bupati Pati, sampai demo
besar-besaran. Beliau juga di waktu itu rutin melakukan turba ke tiap kecamatan
di Kabupaten Pati untuk mensosialisasikan rencana NU untuk melakukan aksi nyata
untuk menutup semua karaoke Demo besar-besaran yang
dipimpin langsung oleh KH. Imam Shofwan dan rekan-rekannya
menjadi salah satu tonggak terbesar dalam perjalanan hidupnya. Meskipun acap
menuai intimidasi dari
para pendukung karaoke namun kyai nyentrik ini tetap
tak gentar, mengingat apa yang ia lakukan
adalah sebuah kebenaran yang harus ditegakkan.
Saat menjadi Mustasyar PCNU Kabupaten Pati, KH. Imam Shofwan kembali mendapatkan tugas berat yaitu dengan menjadi Ketua Panitia pembelian tanah dengan nilai 1,3 milyar. Hal ini menjadi pengadaan pembiayaan terbesar dalam sepanjang sejarah PCNU Pati, beliau begitu aktif bersama pengurus-pengurus PCNU yang lain untuk mengawal pendanaan sehingga bisa melunasi 1,3 M yang diminta oleh pemilik tanah di Jl. Raya Pati Kudus KM. 3-4 tepatnya di Kecamatan Margorejo. Bahkan, Kecamatan Gembong yang menjadi tempat domisili beliau, menjadi pemasok dana terbesar daripada kecamatan-kecamatan yang lain. Hal ini menjadi bukti kerja keras beliau bersama pengurus-pengurus lain untuk serius dalam fundraising pembelian tanah NU yang sekarang di tempati oleh SMK NU Pati.
Keluarga
KH. Imam Shofwan adalah anak ketiga dari dua belas bersaudara,
dari pasangan Mbah Muhammad Karim dan Nyai Sufiyah. Mbah Karim sendiri adalah
Kyai Kampung, Ketua NU pertama Desa Gembong yang sangat keras dalam mendidik
anak-anaknya, termasuk saat mendidik Imam Shofwan.
Muhammad Karim merupakan pemuda asli Desa Glagah Dawe
Kudus, di tahun 1900an beliau nyantri di Piji Dawe Kudus, karena keterbatasan
biaya yang dia miliki akhirnya ia ngaji “serah badan” atau mengabdi di
tempatnya Sang Kyai, untuk itu Karim muda ikut membantu mengurus pertanian,
mengurus kebutuhan sehari-hari ndalem Kyai, sampai mengasuh putra Kyainya yang
bernama Shiddiq yang pada akhirnya menjadi Ulama’ sekaligus Mursyid Thoriqoh
dan menjadi pendiri Yayasaan Manbaul Falah Piji Dawe kudus. Hal itu itu justru
diceritakan sendiri oleh KH. Shiddiq Piji saat KH. Imam Shofwan sowan ke ndalem
KH. Shiddiq, bahwa “ndek ben seng momong aku yo termasuk bapakmu (Mbah Karim)”.
Setelah dari Piji Dawe, Karim muda melanjutkan mondoknya di
KH. Salam Kajen, atau abahnya KH. Abdullah Salam Kajen, meskipun di tempat ini
hanya beberapa bulan saja. Saat kembali ke kampung halaman, karena mengetahui
ada seoraang santri yang baru pulang mondok akhirnya Karim diajak oleh Naib
Gembong pada waktu itu untuk membantu kegiatan agama di Desa Gembong.
Saat membantu kegiatan keagamaan di Gembong, karena
kepribadian dan akhlaqul karimah yang dimiliki oleh Karim, akhirnya ia
dijodohkan oleh Kepala Desa Gembong waktu itu Raden Nendar Gunowisastro dengan
putrinya yang paling cantik. Namanya adalah Sufiyah, dan setelah menikah Karim
akhirnya merintis jalur dakwahnya dengan mendirikan sebuah mushola kecil di
tahun 1920an untuk dipakai mengajari ngaji, shalat sampai ilmu kanuragan kepada
warga sekitar.
Dari mushola kecil inilah, di tahun 1971 menjadi Madrasah
dan pondok pesantren besar di Kecamatan Gembong dengan nama Yayasan Al-Ma’arif
Gembong dan Ponpes Shofa Azzahro. Perjuangan dakwah Karim semakin menguat
lantaran dari aspek ekonomi, Muhammad
Karim tidak begitu mengalami kendala karena beliau menantu Kades Raden Nendar Gunowisastro yang
pada waktu itu terkenal sebagai salah satu orang terkaya di Desa Gembong karena
memiliki tanah yang begitu luas.
Di masa sebelum kemerdekaan, sebagai salah satu pelopor
perjuangan Islam dan NU di masa-masa revolusi, membuat nama Muhammad Karim
menjadi salah satu DPO Belanda, apalagi kediaman beliau juga menjadi salah satu
tempat penyimpanan senjata sekaligus menjadi tempat peristirahatan para
pejuang. Sementara di masa pemberontakan PKI, lagi-lagi Mbah Karim menjadi
salah satu orang yang masuk daftar dibunuh, hal itu terungkap dari cacatan yang
didapatkan dari teman sekaligus tetangga bahwa Karim diminta hati-hati karena
termasuk menjadi daftar orang yang akan dibunuh, mengingat ia adalah pengurus
NU dan pejuang Islam di Desa Gembong.
Melihat gambaran di atas, jelas bahwa KH. Imam Shofwan dibesarkan ditengah-tengah
keluarga santri (Islam kuat) dengan ajaran NU. Sekarang, beliau tinggal
bersama seorang istri Hj. Fatimatuzzhro yang dipersunting pada tahun 20
Desember 1980 dan dianugerahi dua orang anak, Muhammad H Taufik dan Ahmad Faiz Aminuddin. Mbah Sapo juga
tengah asyik-asyiknya among kelima cucunya yang masih balita. Abdan Salahuddin
Faza, Amina Wahida Shoffal Aish dan Alma Al Balqis merupakan buah cinta putra
sulungnya. Sementara si bungsu, baru “menghadiahkan” seorang cucu, Jimly
Luqmanul Hakim Nofaddin dan Muhammad Ahmad Haikal Shofa Nofaddin. Kediaman beliau berada di
Komplek Masjid Baitul Muttaqin, tepatnya di Desa Gembong RT 004 RW 002 yang
sekaligus menjadi asrama putri Pondok Pesantren Shofa Azzahro yang diasuhnya.
Pendidikan dan Organisasi
Pendidikan Formal
1.
SR (Sekolah Rakyat)
lulus tahun 1963
2.
MTs lulus tahun 1970.
3.
Madrsasah Aliyah lulus tahun 1973.
Pendidikan Non-Formal
1.
Pondok Pesantren TBS
Kudus 1963-1966.
2.
Pondok Pesantren Rogojampi Banyuwangi di Bawah Asuhan KH. Abdillah dari
tahun 1974-1975.
3. Selain mondok di dua tempat tersebut, masa muda KH. Imam Shofwan juga
dihabiskan untuk belajar ilmu hikmah di beberapa kyai di Jawa.
Pengalaman Organisasi dan lembaga
1.
Sektretaris GP. Ansor PAC. Kecamatan Gembong (1975-1977).
2.
Sekretaris PPP PAC Kec.
Gembong (1977-1982).
3.
Anggota DPRD Pati Fraksi PPP (1982-1987).
4.
Ketua MWC NU Kec.
Gembong dua periode (1987-1992 dan 1992-1997).
5.
Wakil Ketua Umum DPC
PKB Kabupaten Pati (1998-2003).
6.
Ketua BPD (Badan
Permusyawarahan Desa) Desa Gembong (2000-2005).
7.
Ketua IPHI Kecamatan
Gembong (2005-2010).
8.
Ketua Ta’mir Masjid
Besar Baitul Muttaqin Kecamatan Gembong (2005-Sekarang).
9.
Ketua MUI Kecamatan
Gembong (2006-2011).
10. Ketua LDNU (Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama) PCNU Kabupaten
Pati (2003-2008).
11. Ketua Tanfidziah PCNU Kabupaten Pati (2008-2013).
12. Mustasyar PCNU Kabupaten Pati (2014-Sekarang).
Karya Sosial:
1. Pendiri (bersama tokoh-tokoh lain) Yayasan
Al-Ma’arif Gembong yang saat ini sudah mengelola dari mulai PAUD, TK, MI, MTs, MA, SMK NU, dan Ponpes Shofa Azzahro Gembong-Pati.
2.
Menjadi panitia
(Koordinator seksi usaha) pendirian SMA Wahid Hasyim Runting Pati (1984).
3. Menjadi pendiri PKB
Kabupaten Pati bersama tim 5 yang dibentuk oleh DPP PKB yang terdiri dari KH.
Muhammadun Daiman, KH. Asmu'i Sadzali, KH. Imam Shofwan, Ali Mansur.