Kamis, 26 Desember 2013

GURU MENDIDIK ATAU MENAKUTI?



Sebenarnya apa sih fungsi seorang guru? Mendidik? Atau memberikan nilai? Mendorong, memotivasi? Atau menekan, atau menakuti? Apa sih sebenarnya fungsi seorang guru?  Lantas apa sih tujuan dari kita semua belajar? Menemukan ilmu baru? Atau hanya mempelajari yang ada? Menambah khazanah ilmu? Atau sekadar memperoleh nilai dari ilmu2 tertulis di buku? Mencari ilmu? Atau mencari angka dan ijasah? Apa sih sekolah itu? Taman bermain penuh ilmu, atau panci panas tekanan tinggi?

Lihatlah, dalam ujian skripsi, thesis, di negeri ini, para penguji berubah menjadi harimau lapar, galak sekali menghabisi mahasiswanya. Astaga? Apa poin-nya? Di mana hakikat mendidik jika sebuah ujian hanya menjadi neraka, bukan sebaliknya tempat menyenangkan utk berdiskusi, kemungkinan-kemungkinan penelitian lanjutan, dan kemungkinan-kemungkinan munculnya ilmu baru. Lihatlah, jutaan siswa-siswi kita setiap tahun harus melewati ujian nasional. Apa poin-nya? Untuk membuat klasifikasi? Untuk menyimpulkan sebuah proses pendidikan? Siapa yang pintar, siapa yang goblok. Siapa yang boleh lanjut sekolah, siapa yang cukup di sini saja daripada nanti merepotkan? Padahal bukankah, orang paling goblok sekalipun berhak atas pendidikan lanjutan. 

Tidak bisakah kita memberikan nilai dalam bentuk kalimat: "Anda telah berusaha dengan sungguh-sungguh, memulai dengan amat berat, tapi Anda menunjukkan kemajuan yang sangat baik, teruslah berusaha. Perbaiki kalimat pembukanya, lebih banyak mencari referensi, jangan takut membuat analisis, lantas berikan kesimpulan yang kokoh." Kemudian sebagai guru kita tuliskan A, atau 90 di karya tulis murid tersebut. Tidak bisakah kita menjadi guru yang mendidik, bukan menghakimi. Kita toh bukan polisi yang memang bertugas menghukum, juga bukan hakim yang memang menghakimi. Kita adalah pendidik, hukuman dari kita pun sifatnya adalah mendidik.

Saya tahu, kita tidak hidup dalam sistem yang selalu mendukung filosofi mendidik yang kita pahami. Bahkan boleh jadi, kita malah dibenturkan dengan realitas menyakitkan. Tapi tidak apa, Kawan. Kita tetap bisa punya ruang untuk menjadi guru yang selalu mendorong siswa-siswinya. Saya selalu menemukannya dalam sejarah sekolah formal yang saya miliki. Ketika SMA, saya menemukan guru-guru baik yang tidak peduli soal nilai, tidak peduli soal angka-angka, selain terus melatih anak muridnya berkembang. Dalam pelajaran bahasa Indonesia misalnya, saya pernah punya guru yang menciptakan pekerjaan rumah yang menarik, tugas-tugas yang hebat, bahkan saat ujian sekalipun, dia membuat soal-soal yang menakjubkan, menantang kemampuan menulis, dan itu sungguh memicu kemampuan murid-murid untuk menjadi penulis. Tidak apa, kalau memang tetap terpaksa memberikan angka untuk nilai. Tapi bukan berarti kita tidak bisa menjadi guru yang selalu memotivasi siswa-siswinya.

Buah dari pendidikan itu baru akan dipetik di masa depan. Ibarat menanam pohon, jika sejak awal akar-akarnya keropos, malah disiram dengan pupuk ketidakjujuran, kecurangan, besok lusa buahnya akan pahit dan merusak. Tapi jika sejak awal akar-akarnya kokoh, disiram dengan integritas dan kasih sayang mendidik, meski sekarang tidak terlihat heboh, keren, dahsyat, besok lusa justru buah yang akan dipetik terasa manis dan bermanfaat. Dari mana sih datangnya orang-orang jujur? Orang-orang yang peduli? Orang-orang yang bermanfaat? Dari proses pendidikan yang baik, dan orang-orang ini tidak datang dari proses sim salabim.

Sementara, dari mana datangnya orang-orang korup? Jahat dan sering menzalimi hak orang lain? tentu saja dari proses pendidikan yang buruk. Semoga semakin banyak yang mau memikirkannya

SUMBER MILIS PSIKOLOGI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar