Sabtu, 12 April 2014

Materi Kuliah Psikologi Pendidikan Bahasa



PERKEMBANGAN BAHASA ANAK

Bahasa merupakan sarana yang efektif untuk menjalin komunikasi sosial. Tanpa bahasa, komunikasi tidak dapat dilakukan dengan baik dan interaksi sosial pun tidak akan pernah terjadi. Karma tanpa bahasa, siapa pun tidak akan dapat mengekspresikan diri untuk menyampaikan kepada orang lain. Oleh karma itu, benar apa yang dikatakan oleh Crow dan Crow (1987) bahwa bahasa adalah alat ekspresi bagi manusia. Via bahasalah manusia dapat mengorganisasikan bentuk-bentuk ekspresinya dalam kehidupan sosial di masyarakat.
Sebagai alat yang sangat panting, bahasa memiliki fungsi yang signifikan bagi manusia. Paling tidak, ada due fungsi bahasa, yaitu: (1) bahasa sebagai sarana pembangkit dan pembangun perhubungan yang memperluas pikiran seseorang sehingga kehidupan mental seorang individu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan mental kelompok; {2) bahasa sebagai sarana yang mempengaruhi kepribadian. Dengan menggunakan bahasa dapat diubah cara berpikir seseorang.
Bila anak manusia mempelajari bahasa berarti mereka mempelajari reaksi-reaksi tertentu, menyerap dan melahirkan pikiran-pikiran, dan menjadikan pengalaman orang lain sebagai bagian dari kehidupan mental mereka. Ketika bahasa digunakan oleh anak sebagai alat komunikasi maka ada maksud-maksud tertentu yang ingin disampaikannya. Bahasa tidak hanya dimanfaatkan anak untuk mengungkapkan pikiran-pikiran dan maksud tertentu, tetapi juga untuk membuka lapangan rohaniah ke taraf yang lebih tinggi, dan untuk mengembangkan fungsi-fungsi tanggapan, perasaan, fantasi, intelek, dan kemauan.
Bertolak dari uraian di atas, siapa pun tidak dapat membantah, bahwa bahasa binatang berbeda dengan bahasa manusia meskipun keduanya sama-sama memiliki bahasa dengan fungsi utamanya sebagai alas ekspresi. Binatang mengekspresikan diri mereka dengan cara-cara tertentu. Teriakan binatang sewaktu menjumpai bahaya atau mangsa pada hakikatnya merupakan pengungkapan ucapan dan bahasa, yang dinyatakan dalam bentuk bunyi-bunyian, dan bahasa bau seperti pada lebah, bahasa ketukan dan sentuhan pada semut. Berbeda dengan binatang, bahasa bagi manusia memiliki "nilai budaya". Perbedaan itu disebabkan dalam bahasa manusia disadari ada "kesadaran nama" yaitu bahwa setiap "bunyi-bunyi" akan selalu menunjuk pada satu objek tertentu: peristiwa, orang, benda, atau presentasi lainnya.
Setiap anak memiliki potensi untuk berbahasa. Potensi kebahasaan itu akan tumbuh dan berkembang jika fungsi lingkungan diperankan dengan baik. Jika tidak, maka potensi itu akan bersifat "laten" (terpendam) selamanya. Oleh karena itu, peranan lingkungan, terutama lingkungan keluarga memiliki peran strategis dalam hal ini. Perolehan bahasa pertama kali akan terjadi, manakala seorang anak mengenal bahasa di lingkungan keluarga. Bahasa yang dikenal dan dikuasai oleh anak yang berasal dari keluarga inilah yang menjadi titik awal dalam perkembangan bahasa. anak.
Tingkat perkembangan bahasa anak ini berbeda-beds sesuai dengan apa yang didengar dan dikenalnya. Akan tetapi, kebanyakan pada tingkat awal anak-anak mengenal istilah kata benda dan kata kerja yang sederhana seperti mama, ayah, rumah, tidur, menangis, makan, minum dan sebagainya. Penguasaan bahasa ini akan berkembang sejalan dengan perkembangan usia anak.
Sejalan dengan perkembangan hubungan sosial maka perkem­bangan bahasa seseorang (bayi-anak) dimulai dengan meraban (suara atau bunyi tanpa arti) dan diikuti dengan bahasa satu suku kata, dua suku kata, menyusun kalimat sederhana, dan seterusnya melakukan sosialisasi dengan menggunakan bahasa yang kompleks sesuai dengan tingkat perilaku sosial anak.
Perkembangan bahasa ini diakui terkait dengan perkembangan kognitif, yang berarti faktor intelek sangat mempengaruhi perkembangan kemampuan berbahasa. Bayi misalnya, pada awalnya tingkat intelektualnya belum berkembang dan masih sangat sederhana. Semakin bayi itu tumbuh dan berkembang serta mulai mampu memahami lingkungan maka bahasanya mulai berkembang dari tingkat yang paling sederhana ke yang kompleks.
Dengan demikian, menurut Sunarto dan Hartono (2002: 136), perkembangan bahasa anak ialah meningkatnya kemampuan penguasaan alat berkomunikasi, baik secara lisan, tertulis, maupun dengan tanda-tanda atau isyarat. Tentu saja mampu menguasai alat komunikasi di sini diartikan sebagai upaya seseorang untuk dapat memahami dan dipahami orang lain.
A.  Potensi Berbahasa Anak
Bila kita membolak-balik Kamus Besar Bahasa Indonesia, kita akan menemukan kata "potensi ", yang berarti kekuatan, kesanggupan, kemampuan. Jika potensi dipahami sebagai kemampuan maka potensi adalah kekuatan atau kesanggupan yang masih terpendam dalam diri seseorang. Sedangkan "berbahasa " itu sendiri, menurut Chaer (2003: 30) adalah proses penyampaian informasi dalam berkomunikasi. Jadi, potensi berbahasa individu ialah kemampuan yang masih terpendam yang dimiliki oleh setiap orang untuk menyampaikan informasi dalam berkomunikasi.
Chomsky dan Woolflok seperti dikutip Sujanto (1996: 24) mengatakan bahwa anak dilahirkan ke dunia telah memiliki kapasitas berbahasa. Begitu juga dengan binatang. Tetapi, pada manusia kapasitas berbahasa itu mengalami perkembangan. Bahasa bagi manusia memiliki fungsi tertentu yang dibedakan dengan fungsi bahasa pada binatang. Heyster dengan tegas menyebutkan fungsi bahasa bagi manusia. Menurutnya ada tiga fungsi bahasa, bagi manusia, yaitu:
1.   Bahasa sebagai alat pernyataan isi jiwa, seperti kata "aduh", ketika tersandung benda, secara spontan kita ucapkan tanpa ada tujuan ape pun.
2.   Bahasa sebagai perasaan (mempengaruhi orang lain) seperti kali­mat "alangkah bagusnya pemandangan itu", kita ucapkan agar orang lain mengerti isi jiwa kita.
3.   Bahasa sebagai alat untuk menyampaikan pendapat seperti kalimat "Nama saya Ana dan rumah saya di sana", kita ucapkan untuk memberi tabu dengan sengaja kepada orang lain.
Meskipun anak memiliki potensi untuk berbahasa, tetapi potensi itu tidak akan dapat tumbuh dan berkembang bila tidak didukung oleh lingkungan. Di sini lingkungan memiliki nilai strategic untuk menumbuh­kembangkan potensi berbahasa anak. Ketika seorang anak dilahirkan, kemudian dia dibesarkan di dalam lingkungan sosial, berinteraksi dengan banyak orang maka potensi berbahasa anak akan tumbuh dan berkembang dengan baik sejalan dengan bertambahnya usia anak. Tetapi, dalam kasuistik tertentu, bila seorang anak dilahirkan, kemudian dibesarkan. oleh binatang tertentu dalam waktu cukup lama dan tidak pernah berinteraksi dengan manusia maka dapat dipastikan potensi berbahasa anak akan hilang. Kasus penculikan bagi oleh orang utan yang pernah terjadi di negara Uganda yang diberitakan oleh Majalah Intisari adalah data otentik dalam hal ini. Oleh karma itu, lingkungan secara signifikan mempengaruhi perkembangan potensi berbahasa anak.

B.  Perolehan Bahasa Anak
Berdasarkan tahap pemerolehannya, Cheer dan Agustina (2004: 81) membagi perolehan bahasa anak menjadi due macam, yaitu bahasa Ibu (bahasa pertama) dan bahasa kedua, (ketiga dan seterusnya).
Penamaan bahasa ibu/bahasa pertama adalah mengacu pada satu sistem linguistik yang sama. Yang dimaksud bahasa, ibu adalah satu sistem linguistik yang pertama kali dipelajari secara alamiah dari ibu atau keluarga yang memelihara seorang anak. Umpamanya, bahasa ibu penduduk asli penduduk di Lereng Gunung Merapi adalah bahasa Jawa dan bahasa ibu penduduk asli di tepi Danau Batur adalah bahasa Bali. Bahasa ibu tidak mengacu pada bahasa yang dikuasai dan digunakan oleh seorang ibu, tetapi mengacu pada bahasa yang dipelajari seorang anak dalam keluarga yang mengasuhnya.
Di kota-kota besar di Indonesia banyak terjadi di mane ibu dan ayah menggunakan bahasa daerah jika bercakap-cakap berduaan, tetapi menggunakan bahasa Indonesia bila bercakap-cakap dengan anak mereka. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahasa ibu si anak adalah bahasa Indo­nesia karena bahasa itulah yang dipelajari si anak dari ibunya atau keluarganya.
Bahasa ibu lazim juga disebut bahasa pertama (disingkat B 1) karena bahasa itulah yang pertama-tama dipelajari seorang anak. Kalau kemudian si anak mempelajari bahasa lain, yang bukan bahasa ibunya maka bahasa lain yang dipelajarinya itu disebut bahasa kedua (disingkat B2). Andaikan kemudian si anak mempelajari bahasa lainnya lagi maka bahasa yang dipelajari terakhir ini disebut bahasa ketiga (disingkat B3). Begitu pula selanjutnya, ada kemungkinan seorang anak mempelajari bahasa keempat, kelima dan seterusnya. pada umumnya, bahasa pertama seorang anak Indonesia adalah bahasa daerahnya masing-masing. Sedangkan bahasa Indonesia adalah bahasa kedua karena anak bare mempelajarinya ketika di sekolah, setelah anak mempelajari dan menguasai bahasa ibunya. Lain hal jika anak sejak bagi sudah mempelajari bahasa Indonesia dari ibunya maka bahasa itulah yang menjadi bahasa pertama (B 1) bagi anak.
Yang disebut bahasa asing yaitu, bahasa yang akan selalu merupakan bahasa kedua (B2) bagi seorang anak. Di samping itu penamaan bahasa asing itu juga bersifat politis, yaitu bahasa yang digunakan oleh bangsa lain. Maka bahasa Malaysia, bahasa Arab, bahasa Inggris, dan bahasa Cina adalah bahasa asing bagi bangsa Indonesia. Sebuah bahasa asing, bahasa yang bukan milik suatu bangsa (dalam arti kenegaraan) dapat menjadi bahasa kedua. Kalau dipelajari setelah menguasai bahasa ibu seperti pada kebanyakan penutur di India, di Ma­laysia, dan Filipina. Bisa juga menjadi bahasa negara kalau bahasa itu digunakan untuk menjalankan administrasi kenegaraan dan kegiatan kenegaraan lainnya. Sebuah bahasa asing dapat juga menjadi bahasa pertama bagi seorang anak kalau anak itu tercerabut dari bumi negaranya dan menggunakan bahasa itu sejak bagi.

C.  Tugas-Tugas Perkembangan Bahasa
Menurut Gunarsa (1995: 11) masa kanak-kanak awal disebut juga masa anak prasekolah, terbentang antara usia 2-6 tahun. Beberapa ciri perkembangan pada masa ini salah satunya adalah perkembangan bahasa dan berpikir. Sebagai alas komunikasi dan mengerti dunianya, kemampuan berbahasa lisan pada anak akan berkembang karena selain terjadi oleh pematangan dari organ-organ bicara dan fungsi berpikir juga karena lingkungan ikut membantu mengembangkannya. Pada masa ini tampak seakan-akan anak "haus nama", di mana segala hal akan ditanyakan.
Di dalam segi berpikir, anak berada pada tahap pra operasional rasional dan egosentris. Dengan bertambahnya usia, egosentrisme akan berkurang dan ditambah dengan kefasihan berbicara, anak makin lama makin mampu menggunakan simbol-simbol.
Perkembangan pikiran itu dimulai pada usia 1,6-2,0 tahun yaitu pada saat anak dapat menyusun kalimat dua atau tiga kata. Laju perkembangan itu sebagai berikut.
a.   Usia 1,6 tahun, anak dapat menyusun pendapat positif, seperti: "bapak makan."
b.   Usia 2,6 tahun, anak dapat menyusun pendapat negatif (menyangkal), seperti : "Bapak tidak makan."
c.   Pada usia selanjutnya, anak dapat menyusun pendapat:
1)   Kritikati: "Ini tidak boleh, ini tidak baik."
2)   Keragu-raguan: barangkali, mungkin, bisa jadi, ini terjadi apabila anak sudah menyadari akan kemungkinan, kekhilafannya.
3)   Menarik kesimpulan analogi, seperti: anak melihat ibunya tidur karena sakit, pada waktu lain anak melihat ibunya tidur, dia mengatakan bahwa ibu tidur karena sakit.
Dalam konteks ini, menurut Gunarsa, ada empat tugas yang perlu diperhatikan dalam perkembangan bahasa anak, yaitu (1) anak dapat mengerti pembicaraan orang lain; (2) anak dapat menyusun dan menambah perbendaharaan kata; (3) anak dapat menggabungkan kata menjadi kalimat; (4) anak dapat mengucapkan dengan baik dan benar. Pendapat Gunarsa tersebut diperkuat oleh Yusuf (2001: 119) dengan memberikan penjelasan tambahan bahwa dalam berbahasa, anak dituntut untuk menuntaskan atau menguasai empat tugas pokok yang satu sama lainnya Baling berkaitan. Apabila anak berhasil menuntaskan tugas yang satu maka berarti juga is dapat menuntaskan tugas-tugas yang lainnya. Penjelasan terhadap keempat tugas perkembangan bahasa anak tersebut, sebagai berikut:
1.   Pemahaman, yaitu kemampuan memahami makna ucapan orang lain. Bayi memahami bahasa orang lain, bukan memahami kata-kata yang diucapkannya, tetapi dengan memahami kegiatan/gerakan atau gesturnya (bahasa tubuhnya).
2.   Pengembangan perbendaharaan kata. Perbendaharaan kata-kata anak berkembang dimulai secara lambat pada usia dua tahun pertama, kemudian mengalami tempo yang cepat pada usia pra­sekolah dan terus meningkat setelah anak masuk sekolah.
3.   Penyusunan kata-kata menjadi kalimat. Kemampuan menyusun kata-kata menjadi kalimat pada umumnya berkembang sebelum usia dua tahun. Bentuk kalimat pertama adalah kalimat tunggal (kalimat satu kata) dengan disertai : "gesture" untuk melengkapi cara berpikirnya. Contohnya, anak menyebut "Bola” sambil menunjuk bola itu dengan jarinya. Kalimat tunggal itu berarti "tolong ambilkan bola untuk saya." Seiring dengan meningkatnya usia anak dan keluasan pergaulannya, tipe kalimat yang diucapkannya pun semakin panjang dan kompleks. Menurut Davis, Grrison dan McCarthy (Hurlock, 1956) anak yang cerdas, anak wanita dan anak yang berasal dari keluarga berada, bentuk kalimat yang diucapkannya itu lebih panjang dan kompleks dibandingkan dengan anak yang kurang cerdas, anak pria dan anak yang berasal dari keluarga miskin.
4.   Ucapan. Kemampuan mengucapkan kata-kata merupakan hasil belajar melalui imitasi (peniruan) terhadap suara-suara yang didengar anak dari orang lain (terutama orang tuanya). Pada usia bayi, antara 11-18 bulan, pada umumnya mereka belum dapat berbicara atau mengucapkan kata-kata secara jelas sehingga wring tidak dimengerti maksudnya. Kejelasan ucapan itu baru tercapai pada usia sekitar tiga tahun. Hasil studi tentang suara dan kombinasi suara menunjukkan bahwa anak mengalami kemudahan dan kesulitan dalam huruf-huruf tertentu. Huruf yang mullah diucapkan, yaitu huruf vokal: i, a, e dan u dan huruf konsonan: t, p, b, m, dan n. Sedangkan huruf yang sulit diucapkan adalah huruf mati tunggal: z, w, s, dan g, dan huruf mati rangkap (diftong) ; st, str, sk, dan dr.

D.  Perkembangan Kemampuan Berbahasa Anak
Yusuf (2001: 120) membagi tipe perkembangan bahasa anak menjadi dua, yaitu egocentric speech dan socialized speech. Egocen­tric speech, terjadi ketika anak berbicara kepada dirinya sendiri (mono­log). socialized speech, terjadi ketika berlangsung kontak antara anak dengan temannya atau dengan lingkungannya.
Perkembangan bahasa pada masa socialized speech dibagi ke dalam lima bentuk : (a) adapted information, di sini terjadi saling tukar gagasan atau adanya tujuan bersama yang dicari; (b) critism, yang gagasan penilaian anak terhadap ucapan atau tingkah lake orang lain; (c) command (perintah), request (permintaan), dan threat (ancaman); (d) questions (pertanyaan); dan (e) answer (jawaban).
Berbicara monolog (egocentric speech) berfungsi untuk mengembangkan kemampuan berpikir anak yang pada umumnya dilakukan oleh anak berusia 2-3 tahun. Sementara yang socialized speech mengembangkan kemampuan penyesuaian sosial (social adjustment).
Kemampuan berbahasa seorang anak selalu mengalami perkembangan seiring dengan perkembangannya pada masa-masa tertentu. Dilihat dari segi pembagian fase perkembangan berbahasa yang disusun oleh Clara dan W. Stern maka perkembangan dalam masa bayi termasuk pada fase pertama yang meliputi stadium purwaka (meraban/ mengoceh), meniru sumu atau bunyi yang didengar, tetapi tidak sempurna; dan stadium kalimat sepatah (pada akhir masa bayi, die mengucapkan hanya satu kata saja tetapi maksudnya adalah satu kalimat yang mengandung permintaan) seperti: is mengucapkan kata "mama " padahal maksudnya adalah "mama saga mau digendong, " dan sebagainya.
Perkembangan kemampuan berbahasa anak bisa dilihat dari berbagai aspek. Salah satunya bisa dilihat dari aspek usia. Dalam konteks ini Mubin membagi perkembangan bahasa bayi dalam rentangan minggu ke bulan. Hal ini lebih jelas dapat dilihat pada label berikut:
Usia
Pencapaian Vocal
4 minggu
Tangisan ketidaksenangan
12 minggu
Mendengar pulas, memekik mendeguk, kadang-kadang
bunyi vokal.
20 minggu
Menyatakan ocehan pertama, bunyi vokal lebih banyak, tetapi kadang-kadang hanya huruf mati.
6 bulan
Memperlihatkan ocehan yang lebih baik, bunyi vokal mulai penuh dan banyak huruf mati.
12 bulan
Ocehan meliputi nyanyian atau intonasi bahasa, mengungkapkan isyarat emosi, memproduksi kata-kata pertama, anak memahami beberapa kata dan perintah sederhana.
18 bulan
Mengucapkan kosa kata antara 3-50 kata, ocehan diselingi dengan kata-kata yang riil, kadang-kadang kalimat yang terdiri dari 2 dan 3 kata.
24 bulan
Mengucapkan kosakata antara 50-300 kata, walaupun tidak semua digunakan dengan teliti, ocehan menghilang, banyak kalimat yang terdiri dari 2 kata atau lebih panjang, tata bahasa belum benar, anak memahami secara sangat sederhana bahasa yang dibutuhkannya.

Agus Sujanto (1996: 26) membagi perkembangan kemampuan berbahasa anak yang dibedakannya atas empat masa, yaitu:
1.   Masa Pertama (Umur 1,0–1,6)
Kata-kata pertama yang diucapkan anak adalah kelanjutan dari meraban. Ini dapat kita lihat dengan jelas, jika kita perhatikan bahwa di antara kata.-kata itu terdapat beberapa kata yang diucapkan juga oleh anak dari bahasa apa pun di dunia ini. Misalnya kata-kata yang diucapkan anak terhadap ayah atau ibunya. Kata "ma" untuk ibu dan kata "pa” untuk bapak.
Bila setiap kali anggota keluarga menyebut sesuatu kata pada waktu mereka mendekat kepadanya, maka secara wajar, ia mengerti bahwa kata itu adalah tertuju kepadanya. Oleh karena itu, anak pun menirukan kata itu untuk menggantikan akunya, meskipun belum diucapkan dengan benar. Misalnya kata Siti, dikatakannya "Titi " atau "Iti ". Demikian juga halnya bila ia melihat sesuatu, maka disebutnya benda itu sesuai dengan suara yang ditimbulkannya, Kucing disebutnya eong, anjing disebutnya hung, bola disebutnya bug-bug, dan sebagainya. Kecuali bila orang mengatakan dengan suara lain untuk suatu benda atau suatu perbuatan. Misalnya, mimik yang maksudnya adalah minum, bobo yang maksudnya adalah tidur pipis yang maksudnya adalah kencing dan sebagainya.
Karena dengan kata-kata itu sebenarnya anak ingin mengatakan keinginannya, padahal semestinya merupakan satu kalimat. Ucapan anak seperti itu dinamakan kalimat satu kata. Penggunaan kata mimik, bobo, atau pipis oleh anak bisa bermakna satu kalimat. Mimik, maksudnya adalah: ibu, saya mau minum susu pakai botol. Tetapi, bila anak mengatakan bobo, maka sebenarnya anak ingin mengatakan bahwa: Ia mau tidur. Penggunaan kata pipis dapat dipahami untuk mewakili kalimat bahwa anak mau kencing.
2.   Masa Kedua (Umur 1,6 – 2,0)
Pada masa ini, dengan kemampuannya berjalan, anak makin banyak melihat segala sesuatu dan ingin mengetahui namanya. Oleh karena itu, ia selalu menanyakan nama di antara benda-benda yang kebetulan ditemuinya. Karena itu masa ini disebut "apa itu". Rasa ingin tahu anak itu harus disikapi dengan arif dan bijaksana. Orang tua (ayah atau ibu), kakak atau slaps pun juga harus menjawabnya dengan semestinya, dan dengan ucapan yang benar, meskipun disadari anak belum mampu menirukan dengan tepat dan benar apa yang diucapkan itu. Tetapi, dengan pertanyaan-pertanyaan yang anak ajukan dan dijawab dengan benar maka makin banyaklah ia mengenal benda-benda dengan nama yang sebenarnya. Dengan demikian, keingintahuan anak akan nama-nama benda atau sesuatu berpotensi menambah perbendaharaan bahasa anak.
Adanya kesukaran berkata pada anak yang terjadi pada masa ini diyakini ada faktor penyebabnya. Ada kesenjangan antara perkembangan kemauan dan kekayaan bahasa. Karena perkembangan kemauan atau keinginan anak lebih cepat daripada kekayaan bahasanya sehingga apa yang inginkan tidak terwakili lewat kata-kata. Sebenarnya anak ingin bercerita, tetapi karena perbendaharaan kata-katanya belum mencukupi maka ia melengkapinya dengan gerakan-gerakan tangan dan kakinya.
3.   Masa Ketiga (Umur 2,0 – 2,6)
Pada masa ini, anak telah mulai tampak makin sempurna dalam menyusun kata-kata. la sudah menggunakan awalan dan akhiran, sekalipun belum sesempurna seperti yang dikatakan orang dewasa. Karena itu orang yang arif, akan membenarkannya dengan hati-hati. Tetapi kadang-kadang anak itu tidak begitu senang bila kata-katanya itu selalu dibenarkan. Acapkali kita dengar kesalahan yang lucu dan kerapkali ia membuat kata-kata baru menurut caranya sendiri. Hal ini mungkin disebabkan karena kata yang dahulu dipergunakannya untuk menamakan sesuatu tidak memuaskan lagi baginya.
4.   Masa Keempat (Umur 2,6 – Seterusnya)
Pada masa ini keinginan anak untuk mengetahui segala sesuatu semakin bertambah. Rasa ingin tahu anak terhadap segala sesuatu membuat anak sering bertanya. Setiap jawaban singkat yang diberikan terkadang tidak memberikan kepuasan kepada anak. Setiap jawaban yang diberikan akan menimbulkan pertanyaan yang bare bagi anak. Begitulah perkembangan kreativitas bertanya anak pada masa ini. Banyaknya pertanyaan yang diajukan anak dipandang sebagai anak yang cerewet bagi orangtua tertentu. Apalagi pertanyaan yang itu ditanyakan kepada orangtua yang sedang sibuk bekerja. Rasa jengkel atau marsh terkadang tidak terbendung terhadap anak yang suka bertanya.
Kreativitas bertanya anak ini tidak boleh disikapi dengan sinis. Apalagi memarahinya, karena hal itu bisa mematikan rasa ingin tahu anak terhadap sesuatu. Orangtua yang baik tentu saja harus menanggapi kreativitas bertanya ini dengan arif dan bijaksana. Setiap pertanyaan yang diajukan anak harus dijawab dengan baik dan benar. Sebab hanya dengan sikap yang aril dan bijaksana itulah yang dapat melahirkan sikap dan perilaku untuk selalu menghargai kreativitas bertanya anak. Semua itu tidak lain adalah demi perkembangan pikiran dan memperkaya perbendaharaan bahasa anak.
Oleh karena itu, seyogianyalah bila pada masa ini anak sering dibawa bepergian dan melayani dengan baik segala yang ditanyakannya. Dengan cara semacam ini anak akan makin cakap menggunakan bahasanya, makin banyak pengetahuannya, makin maju berpikirnya, perasaannya dan sebagainya sehingga perkembangannya tidak mengalami hambatan.
Dengan sudut pandangan yang berbeda, misalnya berdasarkan pendekatan linguistik, ada juga ahli yang mengklasifikasikan perkembangan bahasa anak seperti berikut:
1.   Permulaan Bicara : Meraban (Mengoceh)
Suara pertama yang dilakukan anak adalah jerit tangis pada waktu dilahirkan. Tangis pertama ini berguna, untuk memungkinkan anak dapat bernapas karena mulai saat itu anak harus bernapas sendiri.
Suara-suara yang dikeluarkan anak dapat dibedakan antara suara tangis dan ocehan. Tangis menunjukkan keadaan tidak senang sedangkan ocehan menunjukkan rasa senang dan kepuasan. Tangis bukan suatu gejala yang berdiri sendiri, melainkan suatu tingkah lake refleks terhadap sesuatu karena di satu pihak menunjukkan keadaan tidak nyaman, tetapi pada waktu bersamaan juga menginginkan reaksi keliling.
Van Ginneken (1917) dalam bukunya "Roman vann een kleuter mengatakan bahwa suara-suara pertama yang dikeluarkan adalah huruf­huruf vokal. Menurutnya tangis terletak pada dasar vokalisasi, ketawa pada dasar artikulasi. Gregoire (1937) mengemukakan dalam "L'apprrentissage du langage" bahwa suara-suara pertama yang dikeluarkan adalah a, e, i, o, u. Baik Van Ginneken maupun Gregoire berpendapat bahwa bahasa mempunyai dasar fisiologis. Menurut Buhler huruf-huruf mati atau konsonan-konsonan pertama yang diucapkan adalah b, p, n, k, g, r. Sering pula kita dengar bahwa anak dalam meraban mencoba-coba mengucapkan macam-macam rrr.
Suara-suara pertama yang oleh Van Ginneken dan Gregoire dianggap mempunyai dasar fisiologis tadi merupakan proses emosional, sebab rasa nyaman dan tidak nyaman tadi memang ditentukan oleh faktor­faktor fisiologis, namun mempunyai arti emosional juga. Atas dasar itulah anak mengeluarkan suara-suara. Meraban umumnya dilihat sebagai permulaan perkembangan bahasa yang sesungguhnya. Meraban dimulai sekitar umur 3 bulan. Buhler menyebutnya sebagai monolog ocehan. Tingkah ini berlaku sampai umur 9 atau 12 bulan. Sementara anak dapat mengucapkan kata-kata mulai usia 9 bulan. Matra mulailah stadium kalimat satu kata.
Mulai bulan keenam ocehan mempunyai fungsi komunikatif Anak bukan sekedar mengoceh begitu saja, melainkan sekarang sudah jelas merupakan reaksi terhadap orang lain yang mencari kontak verbal dengan anak tersebut.
Pada umumnya ada persamaan pendapat bahwa anak usia sekitar 10 bulan betul-betul dapat menirukan kata-kata yang didengarnya. Meskipun belum merupakan peniruan yang benar namun sudah mengandung unsur-unsur peniruan yang banyak.
Sekitar tahun pertama anak mengucapkan kata-kata yang pertama, kebanyakan kata "mama"; "mama" lebih dulu dapat diucapkan dari “papa”.
2.   Kalimat Satu Kata dan Kalimat Dua Kata
Satu kata yang diucapkan oleh anak harus dianggap sebagai satu kalimat penuh. Misalnya, kalau anak mengatakan "kursi", maka hal itu dapat berarti: Saya mau duduk di kursi, atau mama harus duduk di kursi. Itulah sebabnya mengapa ucapan satu kata anak ini dipandang sebagai kalimat satu kata. Kata-kata pertama anak tidak bisa dipandang sebagai penyebutan objek yang murni, mereka mempunyai isi psikologis yang bersifat intelektual, emosional; dan sekaligus volisional yaitu anak mau atau tidak mau akan hal sesuatu.
Di antara bulan ke-18 dan 20 (dengan kemungkinan penyimpangan yang banyak) datanglah kalimat dua kata yang pertama. Anak mempunyai kemungkinan yang lebih banyak untuk menyatakan maksudnya dan untuk mengadakan komunikasi.
Dalam bahasa anak ada dua kelompok kata yang spesifik, yaitu: kata pivot dan kata terbuka. Dalam kelompok yang pertama termasuk kata-kata yang sering dipakai oleh anak, sedangkan kata-kata dari kelompok kedua tidak sering dipakai oleh anak. Seringkali kata-kata pivot juga mempunyai tempat yang tetap dalam kalimat dua kata. Jumlah kata-kata yang termasuk kelompok pivot tidak banyak, sedangkan kelompok terbuka selalu ditambah dengan kata-kata baru.
Yang perlu diperhatikan di sini ialah bahwa kata pivot yang sama dapat berbeda-beda artinya dalam kombinasi dengan kata terbuka yang berlainan. "Gi susu" dapat berarti bahwa anak tidak mau minuet susu lagi. "Gi mama" berarti anak ingin bepergian dengan mamanya, sedangkan "Gi oto" berarti otonya baru saja pergi.
Jadi yang penting di sini adalah intensitas semantiknya, yaitu arti dari apa yang dimaksudkan. Hal ini berarti bahwa anak dalam kalimat dua kata sudah mampu untuk menyatakan berbagai maksudnya Meskipun dengan alai sintaktis yang masih terbatas. Anak sudah dapat menyatakan bentuk hubungan yang bermacam-macam.
3.   Kalimat Tiga Kata
Dari kalimat dua kata berkembanglah lambat lawn kalimat tiga kata yang dalam arti struktural mula-mula masih mirip dengan kalimat dua kata. Perubahan ini terjadi kurang lebih antara bulan ke-24 dan bulan ke­30. Meskipun mula-mula masih mirip dengan bentuk kalimat dua kata secara struktural, namun segera terjadi suatu diferensiasi dalam kelompok kata-kata yang dimasukkan dalam klasifikasi baru. Dengan kata lain, anak mengatur kembali kata-kata dalam bahasanya.
Mengenai proses pengaturan baru dalam kata-kata ini belum dapat diperoleh hasil-hasil penelitian secara meluas mengenai waktu timbulnya kalimat satu kata, dua kata dan tiga kata dan juga mengenai apa yang dikatakan oleh anak. Tetapi arti yang langsung mengenai apa yang dikatakan oleh anak atau arti yang langsung mengenai pengaturan baru dalam kata-kata ini dan kata-kata apa yank mendapatkan tempat baru, belum banyak dapat diketahui.
Struktur sintaksis bahasa anak sekarang mendapatkan arti yang makin besar, yaitu rangkaian kata-kata dalam kalimat serfs berubahnya kata-kata. Bagi anak yang berbahasa Inggris, urutan kata-kata yang lebih penting, sedangkan bagi anak yang berbahasa Rusia lebih penting berubahnya kata-kata, karena urutan kata-kata dalam bahasa Rusia lebih luwes.
Meskipun dalam bahasa yang berbeda-beds ada banyak perbedaan dalam meletakkan titik beret mane yang penting, rangkaian kata-kata atau berubahnya kata-kata, dalam kenyataannya anak belajar menggunakan urutan kata-kata yang relatif konstan. Hal ini mungkin dapat diterangkan dari sikap orang di sekeliling anak yang pertama-tama mencoba untuk memudahkan struktur bahasa bagi anak. Dengan begitu anak terdorong untuk selalu memakai urutan kata-kata yang sama. Tetapi meskipun begitu, tidak merupakan pedoman umum bahwa ketika anak berbahasa akan menitikberatkan pada urutan kata-katanya. Dale (1972) menemukan bahwa ada anak yang memakai urutan kata-kata yang sangat bebas, tetapi di samping itu juga belum menggunakan perubahan kata-kata.
Pada umumnya dapat dikemukakan bahwa dalam belajar bahasa anak memperhatikan kedudukan kata dalam kalimat serta penerapan aturan tats bahasanya. Tetapi di samping itu perlu pula diingat bahwa kreativitas anak juga memegang peranan penting dalam konstruksi kalimat-kalimat. Hal ini tidak ditemukan dalam bahasa orang dewasa. Kreativitas dalam bahasa anak ini mungkin dapat diterangkan dengan adanya beberapa proses seperti dikemukakan oleh Piaget, yaitu proses asimilasi dan akomodasi. Misalnya anak selalu mencoba untuk mengubah pengertiannya sendiri guns memberikan dimensi baru pada realitas.
Menurut Schaerlaekens (1977) periode kalimat satu kata disebut pralingual, kemudian datang periode lingual awal dari 1 sampai kurang lebih 2Y2tahun (periode kalimat dua kata) dan akhirnya mulai kurang lebih 21/2 tahun datanglah periode differensiasi (periode kalimat tiga kata dengan bertambahnya diferensiasi pada kelompok kata dan kecakapan verbal). Tinjauan secara sistematis yang pertama ini sangat penting dan sangat berguna bagi siapa yang ingin memperdalam pengertiannya dalam perkembangan bahasa.
Menurut Istiwidyanti, dkk. (1980: 82) berbahasa merupakan sarana berkomunikasi. Untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain, semua individu harus dapat menguasai dua fungsi yang berbeda; kemampuan menangkap maksud yang ingin dikomunikasikan orang lain dan kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang lain sedemikian rupa sehingga dapat dimengerti. Komunikasi dapat dilakukan dalam setiap bentuk bahasa tertulis, lisan, isyarat tangan, ungkapan musik, artistik dan sebagainya. Tetapi dalam banyak hal, bahasa lisan merupakan bahasa yang paling efisien karena kemungkinan terjadinya salah paham sangat kecil sekali.
Kedua aspek komunikasi, yaitu mengerti apa yang dimaksud oleh orang lain dan kemampuan mengomunikasikan pikiran dan perasaan diri sendiri kepada orang lain sehingga dapat dimengerti, terasa sulit dan tidak cepat dapat dikuasai. Tetapi dasar-dasar kedua aspek itu telah diletakkan selama masa bayi, meskipun kemampuan untuk mengerti lebih besar daripada berbicara pada menjelang berakhirnya masa bayi.
Tugas pertama dalam berkomunikasi dengan orang lain berupa pemahaman akan perkataan orang lain tersebut. Dalam setiap tahapan usia, anak-anak lebih dapat mengerti apa yang dikatakan orang lain daripada mengutarakan pikiran dan perasaan-perasaan mereka sendiri dalam kata-kata. Hal ini tampak lebih jelas pada masa bayi daripada tahun-tahun masa kanak-kanak. Ekspresi muka pembicara, nada suara dan isyarat-isyarat tangan membantu bayi untuk mengerti apa yang dikatakan kepadanya. Rasa senang, marah, dan takut sudah dapat dimengerti sejak usia tiga bulan.
Sampai bayi berusia delapan belas bulan, kata-kata harus diperkuat dengan isyarat, seperti menunjuk benda. Pada usia dua tahun, menurut Tes Inteligensi Skala Terman-Merrill, rata-rata bayi harus cukup dapat mengerti dan bereaksi terhadap dua dari enam perintah sederhana, seperti "Berikan kucing itu pada saya" dan "Masukkan sendok ke dalam cangkir", kalau benda-benda itu mudah diraih. Tetapi besarnya pengertian tergantung sebagian pada rangsangan dan dorongan orang lain agar bayi berusaha mengerti apa yang mereka katakan.
Tugas kedua dalam berkomunikasi dengan orang lain adalah belajar berbahasa. Karena belajar berbahasa adalah tugas yang lama dan sul it, dan karena bayi-bayi belum cukup matang untuk belajar hal yang sulit dan ruwet ini selama tahun pertama. Banyak bayi selama tahun pertama dan kedua, mencoba memberitahukan kebutuhan dan keinginannya dengan cara menangis, berceloteh, isyarat, dan pengungkapan emosi. Bentuk-bentuk komunikasi ini dikenal sebagai "bentuk-bentuk prabahasa".
Yang menarik dari perkembangan kemampuan berbahasa anak ini adalah hal-hal berikut:
1.   Bahasa tangis dipakai anak untuk menyampaikan isi kehidupan batinnya. Tangis anak bisa ditafsirkan untuk mewakili rasa lapar, sakit, haws, kepanasan, atau kedinginan;
2.   Anak melakukan onomatopee (onoma = nama, poicin = membuat, menirukan bunyi), yaitu memberikan nama pada benda-benda/hewan dengan menyebutkan bunyinya. Misalnya anak memberi nama "tut-tut" untuk kereta api, "meong" untuk kucing;
3.   Penguasaan bahasa anak berkembang menurut hukum alami (karena bakat, kodrat, dan ritme perkembangan yang alami) dan sangat dipengaruhi oleh lingkungan;
4.   Perkembangan bahasa anak yang sesuai dengan norms tats bahasa belum bisa selesai pada usia 12 – 18 tahun. Oleh karena itu, anak harus banyak belajar "bicara baik" dengan menggunakan bahasa yang halus;
5.   Kemajuan penguasaan bahasa oleh anak berlangsung sedikit demi sedikit dan lama atau perlahan-lahan sekali, disebabkan banyak bunyi huruf mati yang sulit di lafalkan dengan tepat dan baik;
6.   Karena didorong oleh hasrat ingin berkomunikasi dengan orang lain dan untuk memahami dunia sekitar, anak bercakap-cakap sambil melatih fungsi bicaranya;
7.   Dalam proses belajar menguasai bahasa, terdapat peristiwa stagnasi, di mana anak dihadapkan pada banyak kesulitan dalam penguasaan bahasanya, dan kemajuan anak berlangsung sangat lambat;
8.   Pemakaian bahasa pada mulanya hanya untuk mengungkapkan perasaan dan keinginan anak sendiri, namun pada akhirnya anak mampu menyatakan pikiran dan perasaannya mengenai suatu benda atau sesuatu di luar dirinya;
9.   Besar kecilnya perbendaharaan bahasa anak sangat bergantung pada lingkungan budaya, yaitu faktor orang tua, sekolah, dan milieu (bahasa ibu, bahasa asing, bahasa baku);
10. Periode gagap dilalui anak dalam belajar bahasa, disebabkan anak terburu-buru sekali dalam menyatakan perasaan dan pikirannya, dan ditopang dengan sangat kurangnya penguasaan bahasa.


KEMAMPUANANAK DALAM BELAJAR BAHASA

A.  Anak dalam Proses Belajar Bahasa
Menurut Chaer (2003: 243) anak-anak yang masih berada dalam masa pekanya mudah untuk belajar bahasa. Berbeda dengan orang dewasa atau orang yang masa pekanya sudah lewat tidak akan mudah belajar bahasa lain. Apalagi mengganti bahasa yang sudah dinuranikannya dengan bahasa lain.
Penfield yang telah mempelajari anak-anak Kanada yang menggunakan dua bahasa pernah mengatakan bahwa: "Otak anak kecil mempunyai kemampuan khusus untuk belajar bahasa, suatu kemampuan yang akan menurun dengan berjalannya waktu. Otak anak sifatnya kenyal dalam mempelajari bahasa, otak orang dewasa biasanya jauh di bawah kemampuan otak anak." Misalnya: Suatu ketika kita beserta anak-anak mendapat kesempatan tinggal di Inggris beberapa tahun lamanya. Kita segera melihat bahwa anak-anak dengan cepat bisa berbicara dengan bahasa Inggris tanpa banyak kesulitan. Sedangkan kita sendiri, walaupun sangat cerdas dan mengikuti kursus bahasa Inggris, namun dengan susah payah bare bisa berbicara bahasa itu setelah sekian lama dan logat asli tetap kedengaran.
Menurut Penfield selama tahun-tahun pertama dari kehidupan anak, otaknya membentuk "unit-unit bahasa" yang mencatat segala sesuatu yang didengarnya. Unit-unit ini saling berhubungan dengan sel-sel syaraf lain yang mengatur kegiatan motorik, berpikir, dan fungsi intelek lain. Setelah umur enam tahun dan lebih-lebih lagi Setelah Sembilan tahun, anak menggunakan unit-unit bahasa ini sebagai dasar untuk memper­kaya perbendaharaan kata-kata. Kata-kata baru ini diperoleh etas dasar unit-unit bahasa dan bunyi yang pernah dicatat di otaknya. Setelah umur sepuluh atau dua bolas tahun, anak baru belajar bahasa kedua, is harus menggunakan unit-unit bahasa yang sama yang telah dipelajari­nya itu.
Penfield menambahkan bahwa anak tidak lagi meniru bunyi bahasa yang baru itu, tetapi la menggunakan unit-unit yang dimilikinya -unit bahasa ibu- dan dengan demikian dia berbicara bahasa baru itu dengan logat aslinya. Selain itu, dia juga menyusun kata-kata baru itu dalam konstruksi yang salah.
Anak-anak remaja dan orang dewasa yang belajar bahasa asing, menggunakan unit-unit bahasa yang telah terbentuk dalam otaknya sejak kecil. Mereka harus melakukan, proses terjemahan dalam otaknya, suatu proses Neurofisiologis yang oleh Penfield disebut "belajar secara tidak langsung". Anak-anak kecil yang belajar dengan cara ini, misalnya: belajar bahasa Inggris dari guru yang berbahasa Indonesia juga harus melalui proses terjemahan ini. Tetapi anak-anak yang belajar bahasa kedua atau ketiga dari guru yang hanya berbicara bahasa tersebut, dalam konteks ini metode langsung atau "metode ibu" dapat membentuk unit-unit bahasa kedua dalam otaknya.
Anak yang belajar dua atau tiga bahasa selama masa peka akan mengucapkan bahasa itu seperti logat gurunya. Bila dia belajar satu bahasa di sekolah, mendengar bahasa kedua di rumah mungkin bahasa ketiga didengar dari pengasuhnya, dengan tidak disadari dia telah belajar tiga bahasa sekaligus. Ia mengetahui bahwa dengan gurunya dia harus berbicara, menggunakan bahasa pertama, sedangkan dengan orang tuanya dia berbicara, menggunakan bahasa kedua.
Seringkali orang menganggap tidak ada gunanya anak kecil belajar bahasa asing bila tidak digunakan baik di rumah maupun di antara teman‑temannya. Penfield sependapat. Tetapi, walaupun demikian, ia mengatakan, memang benar anak kecil itu akan lupa kata-kata asing yang pernah dipelajarinya, akan tetapi setelah remaja atau dewasa ia belajar lagi bahasa itu atau mengunjungi negara yang berbahasa itu maka pelajaran bahasa asing yang pernah diterimanya dan masih tersimpan dalam otaknya akan menolong menguasai bahasa asing itu dengan cepat.
Pada usia tiga dan enam tahun, (waktu terbaik untuk belajar bahasa kedua) anak hanya butch mendengarkan bahasa atau suatu bahasa diucapkan dengan lancar, wajar, dan baik. Nenek atau kakek, orang tua, guru kelompok bermain, tetangga, atau pembantu rumah tangga bisa menjadi guru yang baik. Asalkan mereka hanya berbicara-bahasa tersebut dengan si anak.
Tujuannya tentu saja bukan untuk membantu anak mempunyai perbendaharaan kata yang kaya dalam bahasa tersebut, melainkan membentuk dasar unit bahasa tersebut dalam otak yang sedang tumbuh. Dengan demikian, ia, bisa menggunakan dasar bahasa tersebut di kemudian hari bila mempelajari bahasa tersebut di sekolah lanjutan.
Menurut Joan Beck (2003: 34) orang tua yang mencoba belajar suatu bahasa (bahasa kedua) bersama-sama dengan anaknya selalu menemukan bahwa anaknya belajar lebih mullah dan cepat daripada mereka. Dalam proses belajar, hampir semua anak kecil mengalami gagap dalam, perkembangan bahasa. Ini mungkin terjadi karena jalan pikirannya mendahului perbendaharaan kata-kata.
Ada juga yang mengatakan bahwa gagap ini ada hubungannya dengan bagian otak yang mengendalikan fungsi bicara. Biasanya pada otak kidal, pusat berbicara terletak di bagian kanan otak. Pada orang yang menggunakan tangan kanan, pusat bicaranya terletak pada bagian otak sebelah kiri. Menurut teori ini, gagap akan hilang sendirinya bila sudah jelas anak menggunakan tangan kiri atau tangan kanan. Gagap ini sering berlangsung lama pada anak yang tidak mengutamakan penggunaan salah satu tangan atau bila mata dan kaki atau kaki yang dominan. Gagap juga timbul bila anak kidal dipaksa menggunakan tangan kanan untuk melakukan tugas-tugasnya.
Tanpa melihat penyebabnya, gagap yang terjadi pada kebanyakan anak antara umur dua setengah sampai empat tahun tidak perlu dipersoalkan karena gagap ini akan hilang bila kemampuan anak menggunakan kata-kata menjadi lebih baik (atau mungkin bila pusat bicara di otak sudah mulai terbentuk).
Tapi bila orang tea terlalu memperhatikan gagap pada anaknya sehingga anak radar akan kekurangannya itu, hal ini justru akan membuat gagapnya menjadi kebiasaan. Misalnya dengan mengatakan agar ia jangan gagap atau menyuruhnya berhenti sebentar dan berpikir atau menarik papas dalam-dalam sebelum mulai bicara.
Terlepas dengan masalah sependapat atau tidak dengan pendapat di atas, yang pasti masalah gagap pada anak ini hares dihentikan. Bagaimana cara mengatasi anak yang gagap ini? Saran dari Joan Beck (2003: 88) patut untuk dipertimbangkan. Menurutnya kita dapat menolong anak dengan cara berikut: dengarkan dengan penuh perhatian bila anak bicara. Bila ia tahu bahwa kita betul-betul memperhatikan, ia tidak akan cepat-cepat berbicara, dan akan lebih sedikit kemungkinan ia gagap dan ia tidak akan terlalu merengek-rengek untuk minta perhatian.
Ellis (1986: 215) menyebutkan adanya dua tipe pembelajaran bahasa yaitu tipe naturalistik dan tipe formal di dalam kolas. Tipe naturalistik bersifat alamiah, tanpa guru dan tanpa kesengajaan. Dalam masyarakat bilingual atau multilingual tipe naturalistik banyak dijumpai. Dalam Cheer dan Agustina (1995) ada dicontohkan kasus, dua orang mahasiswa dari Tapanuli, Togar dan Sahat yang mengikuti kuliah di Malang. Pada awalnya kedatangan mereka, berdua, sedikit pun mereka tidak mengerti bahasa Jawa. Namun, karena orang-orang di sekitarnya seperti teman kuliah, teman sepemondokan, pedagang di pasar dan sebagainya berbahasa Jawa, akhirnya keduanya berusaha belajar bahasa Jawa agar dapat berkomunikasi. Pada awalnya bahasa keduanya beraksen bahasa Tapanuli, tetapi setelah dua tahun berjalan, aksen Tapanulinya sudah berkurang, dan kemudian hilang sama sekali. Jadi, belajar bahasa menurut tipe naturalistik ini sama prosesnya dengan pemerolehan bahasa pertama yang berlangsungnya secara alamiah di dalam lingkungan keluarga atau lingkungan tempat tinggal.
Tentu saja, menurut Chaer (2003: 243), ada perbedaan antara hasil yang diperoleh anak-anak dengan orang dewasa. Anak-anak yang masih berada dalam masa kritis akan memperoleh hasil yang lebih baik dibandingkan dengan orang dewasa yang bahasa pertamanya sudah sangat ternuranikan sehingga mau tidak mau unsur bahasa pertamanya itu cukup mempengaruhi usahanya dalam belajar bahasa kedua. Yang kedua, tipe formal. Tipe ini berlangsung di dalam kelas dengan guru, materi, dan alat-alat bantu belajar yang sudah dipersiapkan.

B.  Prinsip-prinsip Belajar Bahasa
Dalam proses belajar bahasa, ada sejumlah prinsip belajar yang dapat melicinkan jalan menuju keberhasilan belajar bahasa. Berdasarkan pendekatan tertentu maka prinsip-prinsip belajar dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu prinsip-prinsip belajar yang bersifat psikologis dan prinsip-prinsip belajar yang bersifat linguistik (materi dan metodik). Prinsip­prinsip belajar yang bersifat psikologis, adalah:
1.   Motivasi, lazim diartikan sebagai hal yang mendorong seseorang untuk berbuat sesuatu. Maka untuk berhasilnya pengajaran bahasa, murid-murid sudah seharusnya dibimbing agar mempunyai dorongan untuk belajar. Tanpa adanya kemauan tidak mungkin tujuan belajar dapat dicapai. Jadi, seorang anak yang belajar bahasa dengan adanya motivasi akan mengalami kemajuan yang sangat pesat.
2.   Pengalaman sendiri, atau apa yang dialami sendiri akan lebih menarik dan berkesan dari pada mengetahui dari kata orang lain.
3. Keingintahuan, merupakan kodrat manusia yang dapat menyebab­kan manusia itu menjadi maju. Hubungan dengan belajar bahasa, keingintahuan seorang anak terhadap bahasa lain akan menyebabkan dia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mempelajari bahasa tersebut.
4.   Pemecahan masalah, seorang yang belajar, misalnya belajar bahasa tidak dapat dipisahkan dengan berbagai macam masalah. Jadi diperlukan kekritisan seseorang tersebut dalam menghadapi masalah itu dalam mengembangkan pengetahuan, pengalaman, dan sikap.
5.   Berpikir analitis-sintesis, dalam memecahkan masalah akibat memiliki sifat dan sikap kritis maka perlu dikembangkan cara berpikir analitis dan sintesis. Berpikir secara analitis adalah berusaha mengenal sesuatu dengan cara mengenali ciri-ciri atau unsur-unsur yang ada pada sesuatu itu. Umpamanya, kalau kita bertanya kepada seseorang "Apakah ikan itu?", mungkin ada yang menjawab Ikan adalah binatang air", bisa juga ada jawaban Ikan adalah binatang air yang bisa dimakan", mungkin juga ada jawaban "Ikan adalah binatang laut yang berbentuk pipih dan berekor". Yang lain lagi menjawab "Ikan adalah binatang yang bernapas dengan insang". Lalu di dalam berpikir sintesis adalah proses berpikir untuk menemukan hubungan ciri-ciri yang disebutkan dalam jawaban-jawaban di atas disintesiskan maka akan terjadilah rumusan misalnya, "Ikan adalah binatang air (terdapat di laut, danau, atau sungai) berbentuk pipih, bernapas dengan insang dan bisa dimakan orang Jadi, untuk mengembangkan pengetahuan anak-anak didik itu maka perlu dibimbing secara analitis, dan kemudian secara sintesis. Dalam pengajaran bahasa mereka bukan hanya dilatih menguraikan atau menganalisis kalimat, melainkan juga menata paragraf menjadi sebuah wacana.
6.   Perbedaan individual, keberhasilan pengajaran bahasa juga harus memperhatikan adanya perbedaan-perbedaan individual. Sudah menjadi kodratnya bahwa anak didik yang kita hadapi tidak mempunyai kematangan berpikir, kemampuan berbahasa dan tingkat intelegensi yang sama. Perbedaan individual meskipun sedikit pasti terdapat antara seorang anak dengan anak yang lain. Jadi, dapat diperkirakan kemampuan berbicara, mendengarkan, membaca, dan menulis setiap anak didik tidaklah sama.
Sedangkan prinsip-prinsip belajar yang bersifat linguistik, seperti yang telah dirumuskan oleh Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004: 206), sebagai berikut:
a.   Mudah menuju sukar, maksudnya pemberian materi harus dimulai dari yang mudah kemudian diikuti dengan yang sukar atau yang lebih sukar. Umpamanya, sebelum mengajarkan kalimat lugs maka terlebih dahulu harus diajarkan kalimat yang sederhana atau dasar. Asas ini merupakan prinsip yang harus diikuti pada semua jenjang pendidikan. Jadi, asas ini mengajarkan bahwa pemberian mated harus diberikan secara bertahap menurut tingkat kesukarannya.
b.   Sederhana menuju kompleks, maksudnya bahan pelajaran harus dimulai dari yang sederhana, baru kemudian diikuti dengan yang kompleks. Menurut prinsip ini dalam mengajarkan bentuk-bentuk kata. Misalnya, dimulai dari kata yang berbentuk dasar, disusul dengan kata yang berimbuhan yang sederhana seperti bentuk berlaku dan ke tengah, baru kemudian disusul lagi dengan bentuk kata yang kompleks, seperti memberlakukan dan mengetengahkan, atau bentuk kata yang lebih kompleks dan ruwet lagi seperti pemertahan­an dan pemberlakuan.
c.   Dekat menuju jauh, maksudnya pemberian materi pelajaran harus dimulai dari yang ada di dekat anak didik, baru kemudian secara berangsur-angsur menuju yang agak jauh atau yang jauh. Umpamanya, dalam mengajarkan kosakata harus dimulai dari yang ada di dalam kelas, (kalau siswa ada di kelas) baru kemudian yang ada di luar kelas, di halaman sekolah, kemudian yang ada di luar halaman dan seterusnya. Jadi, kosakata meja, guru, buku, dan pencil lebih dahulu diperkenalkan daripada kata batu, tiang, pagar, dan tembok. Kemudian baru kosakata seperti jalan, simpangan, pasar, dan toko. Lingkungan hidup yang mula-mula dikenal (yang paling dekat dengan siswa) adalah lingkungan rumah dan keluarga, sesudah itu baru lingkungan tetangga dan lingkungan yang paling jauh lagi. Jadi, kosakata kamar, dapur, ayah, ibu, dan makan harus lebih dahulu diberikan daripada kosakata yang berada di luar rumah.
d.   Pola menuju unsur, maksudnya materi bahan yang diberikan mula-mula harus yang berupa satu kebulatan, sesudah itu baru diberikan unsur-unsur dari kebulatan itu. Jadi, mula-mula misalnya diberikan bentuk-bentuk kalimat utuh, baru kemudian bagian-bagian atau unsur yang membentuk kalimat itu.
e.   Penggunaan menuju pengetahuan, maksudnya materi pelajaran bahasa yang mula-mula harus diberikan adalah penggunaan bentuk-bentuk atau satuan-satuan bahasa itu. Asas penggunaan ini dapat diberikan dalam bentuk latihan-latihan yang berulang-ulang dan terus-menerus sehingga siswa terampil menggunakannya. Sesudah mereka dapat menggunakannya, baru dijelaskan pengetahuan yang berkenaan dengan satuan-satuan bahasa itu, mengapa asas ini perlu diikuti? Sebab, apa pun dan bagaimana pun rumusan tujuan pengajaran bahasa yang ada dan pernah dibuat orang maka kemampuan menggunakan bahasa itu, baik lisan maupun tulisan adalah yang paling utama yaitu sebagai alat interaksi atau alat komunikasi.
f.    Masalah bukan kebiasaan, hampir semua anak Indonesia tidak berbahasa ibu bahasa Indonesia, Oleh karena itu, meskipun bahasa-bahasa daerah di Indonesia masih serumpun dengan bahasa Indo­nesia, tetapi perbedaan tentunya ada antara bahasa-bahasa daerah dengan bahasa Indonesia. Perbedaan ini terjadi pada tataran fonologi, morfologi, sintaksis, dan juga kosa kata. Perbedaan inilah yang pertama-tama harus diperhatikan agar siswa dapat berbahasa Indo­nesia dalam bentuk dan struktur yang benar. Kalau hasil evaluasi terhadap anak-anak yang berbahasa ibu bahasa jawa belum dapat memisahkan bunyi sengau dan bunyi konsonan yang homogran dengan bunyi sengau itu maka latihan harus banyak di lakukan dalam hal itu. Jelasnya begini, banyak anak yang berbahasa pertama bahasa jawa sukar mengucapkan seperti kata-kata [lom-pat] dan [ten-dang], mereka selalu mengucapkan [lo-mpat] dan [te-ndang]. Ini merupakan masalah maka perlu diberikan porsi yang lebih banyak.
Kenyataan bukan buatan, kenyataan menunj ukkan bahwa bahasa itu (termasuk bahasa Indonesia) mempunyai variasi, baik bersifat regional, sosial, maupun fungsional. Kenyataan ini tidak dapat diabaikan dalam pengajaran bahasa. Memang yang diajarkan hanya ragam bahasa baku, yaitu ragam bahasa yang biasa, digunakan dalam situasi-situasi resmi. Kenyataan adanya ragam bahasa tersebut perlu "diberi tahu" kepada anak, sebab penggunaan bahasa itu sesuai dengan situasi dan keperluannya. Untuk berkomunikasi dengan pedagang di pasar tidak perlu menggunakan bahasa baku, tetapi untuk menulis karangan ilmiah harus menggunakan ragam baku.

C.  Perbedaan Kemampuan Anak dalam Belajar Bahasa
Setiap anak mempunyai perbedaan baik dari segi kematangan berpikir, kemampuan berbahasa, maupun tingkat inteligensi. Oleh karena itu, kemampuan anak tidak sama dalam berbicara, mendengarkan, membaca, atau pun menulis. Bisa jadi seorang anak pandai berbicara, tetapi belum tentu ia mampu menuangkannya dalam bentuk tulisan. Atau seorang anak pandai menuliskan ide, gagasan atau pikirannya, tetapi belum tentu ia sanggup menyampaikannya dengan kata-kata. Dari sekian banyak orator-orator ulung, ada di antaranya, yang mempunyai seorang asisten (juru tulis) yang selalu mendampinginya, untuk membantu menuliskan ide, gagasan, atau pikirannya.
Meskipun setup anak memiliki kemampuan untuk belajar bahasa, tetapi kemampuan anak dalam belajar bahasa berbeda-beda. Ada sejumlah faktor yang menyebabkan perbedaan itu. Jika dilakukan analisis terhadap sejumlah faktor penyebab perbedaan kemampuan anak dalam belajar bahasa itu maka secara umum ada dua faktor yang menjadi penyebabnya, yaitu faktor internal dan faktor eksternal anak. Faktor internal anak adalah umur anak, kondisi fisik anak, kesehatan anak, dan inteligensi. Faktor eksternal anak adalah status sosial ekonomi keluarga, hubungan keluarga, lingkungan masyarakat, dan bahasa pertama. Untuk memudahkan pemahaman, semua faktor-faktor tersebut akan diuraikan satu demi satu di bawah ini.
1.   Umur Anak.
Semakin bertambah umur anak semakin matang pertumbuhan fisiknya, bertambah pengalaman, dan meningkat kebutuhannya. Kemampuan berbahasa anak akan berkembang sejalan dengan pertambahan pengalaman dan kebutuhannya. Kematangan fisik dengan semakin sempurnanya pertumbuhan organ bicara, kerja otot-otot untuk melakukan gerakan-gerakan dan isyarat berpotensi bagi anak untuk berbicara.
Bertambahnya kemampuan berbahasa anak sejalan dengan bertambahnya umur anak. Setiap stadium dari perkembangan yang dilalui anak, terutama sejak anak mampu berbicara, memberikan kekayaan bahasa yang bervariasi. Kekayaan bahasa itu akan selalu bertambah sejalan dengan meluasnya interaksi sosial anak. Berbeda dengan keadaan biologis bagi yang bare dilahirkan, pada masa remaja perkembangan biologis yang menunjang kemampuan berbahasa telah mencapai tingkat kesempurnaan, dengan dibarengi oleh perkembangan tingkat intelektual anak akan mampu menunjukkan cara berkomunikasi dengan baik.
2.   Kondisi Fisik
Kondisi fisik dimaksudkan di sini adalah suatu keadaan, di mane fungsi-fungsi biologis pendukung seperti telinga, meta, dan organ suara dalam keadaan baik. Baik tidak-riya keadaan biologis anak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan bahasa anak. Seorang yang tuli, bisu, atau ada di antara organ suaranya yang tidak sempurna, akan mengalami gangguan yang serius dalam perkembangan bahasanya. Kemungkinan besar potensi berbahasa anak menjadi hilang. Karena selama gangguan itu bersifat permanen dan tidak mampu disembuhkan, anak tidak dapat berkomunikasi dengan orang lain.
3.   Kesehatan
Anak yang sehat, gizinya cukup, kemampuan perkembangan bahasanya lebih baik daripada anak pada usia awal kehidupannya mengalami gangguan dalam hal kesehatan. Apabila pada usia due tahun pertama, anak mengalami sakit terus-menerus maka anak tersebut cenderung akan mengalami kelambatan atau kesulitan dalam hal perkembangan bahasanya. Selama sakit biasanya anak lebih banyak diam, sulit diajak bicara. Apalagi bila sakit yang diderita anak itu cukup lama dan tidak dapat disembuhkan.
4.   Inteligensi
Seorang anak dengan anak yang lain tentu saja mempunyai tingkat inteligensi yang berbeda. Anak yang perkembangannya bahasanya cepat, pada umumnya memiliki inteligensi normal atau di atas normal. Namun begitu, tidak semua anak yang mengalami kelambatan perkembangan bahasanya pada usia awal dikategorikan sebagai anak yang bodoh. Berdasarkan hasil studinya mengenai anak-anak yang mengalami kelambatan metal, Hurlock menemukan bahwa sepertiga di antara anak­anak yang dapat berbicara secara normal, dan anak-anak yang berada pada tingkat intelektual yang paling rendah, sangat miskin dalam penguasaan bahasa.
Soal kecerdasan ini tidak diragukan pengaruhnya terhadap perkembangan potensi berbahasa seseorang. Untuk meniru lingkungan tentang bunyi atau suara, gerakan, dan mengenai tanda-tanda, memerlukan kemampuan motorik yang baik. Kemampuan motorik seseorang berkorelasi positif dengan kemampuan intelektual atau tingkat berpikirnya. Ketepatan meniru, memproduksi perbendaharaan kata-kata yang diingat, kemampuan menyusun kalimat dengan baik, dan memahami atau menangkap maksud suatu pertanyaan pihak lain, amat dipengaruhi oleh kerja pikir atau kecerdasan seorang anak. Seseorang yang rendah kemampuan berpikirnya akan mengalami kesulitan dalam menyusun kalimat yang baik, logis, dan sistematis.
5.   Status Sosial Ekonomi Keluarga
Beberapa studi tentang hubungan antara perkembangan bahasa dengan status sosial beberapa keluarga, menunjukkan bahwa anak yang berasal dari keluarga miskin mengalami kelambatan dalam perkembangan bahasanya dibandingkan dengan anak yang berasal dari keluarga yang lebih baik. Kondisi ini terjadi mungkin disebabkan oleh perbedaan kecerdasan atau kesempatan belajar (keluarga miskin diduga kurang memperhatikan perkembangan bahasa anaknya) atau kedua-duanya.
Menurut Sunarto dan Hartono (2002: 140) keluarga yang berstatus sosial ekonomi baik akan mampu menyediakan situasi yang baik bagi perkembangan berbahasa anak. Begitu juga perkembangan kemampuan berbahasa di lingkungan keluarga yang terdidik. Dengan kata lain, pendidikan keluarga berpengaruh pula terhadap potensi berbahasa seseorang.
6.   Hubungan Keluarga
Hubungan di sini dimaknai sebagai proses pengalaman berinteraksi dan berkomunikasi dengan lingkungan keluarga, terutama dengan orang tua yang mengajar, melatih, dan memberikan contoh berbahasa kepada anak. Menurut Yusuf (2001: 121) hubungan yang sehat antara orang tua dengan anak (penuh perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya) memberikan pengaruh yang besar terhadap kemampuan berbahasa anak. Sebaliknya, hubungan yang kurang baik antara orang tua dan anak menjadi penghalang terwujudnya komunikasi yang baik. Sikap kasar orang tua, sering memarahi anak, kurang memberikan kasih sayang, kurang perhatian untuk memberikan latihan atau contoh berbahasa yang baik kepada anak, bisa menjadi penyebab kurang berkembangnya kemampuan berbahasa anak. Banyak contoh dalam hal ini, salah satunya adalah akibat orang tua sering memarahi anak maka anak merasa takut untuk mengungkapkan pendapat, gagap berbicara dan lain-lain.
7.   Kondisi Lingkungan
Perkembangan potensi berbahasa anak dipengaruhi oleh faktor lingkungan karena kekayaan lingkungan merupakan pendukung bagi perkembangan peristilahan yang sebagian besar dicapai dengan meniru sesuai dengan apa yang anak dengar, lihat, dan yang anak hayati dalam kehidupannya sehari-hari. Oleh karena itu, siapa pun sependapat bahwa lingkungan sangat menentukan perkembangan potensi berbahasa anak. Meski begitu, ada perbedaan peran lingkungan dalam mempengaruhi perkembangan berbahasa anak. Perkembangan bahasa di lingkungan perkotaan akan berbeda dengan lingkungan pedesaan. Begitu pula perkembangan bahasa di daerah pantai, pegunungan, dan daerah-daerah terpencil dan di kelompok sosial yang lain. Lingkungan yang kritis sangat berpengaruh terhadap kemampuan berbahasa anak daripada lingkungan yang kaku. Oleh karena itu, perbedaan perkembangan bahasa karena lingkungan yang berbeda menyebabkan perkembangan bahasa anak berbeda-beda.
8.   Bahasa Pertama
Menurut Chaer (2003: 256) pars pakar pembelajaran bahasa kedua pada umumnya percaya bahwa bahasa pertama (bahasa ibu atau bahasa yang lebih dahulu diperoleh) mempunyai pengaruh terhadap penguasaan bahasa kedua (Ellis, 1986:19). Jadi, setiap anak mungkin saja berbeda berkemampuan berbahasanya, terutama belajar bahasa kedua karena dipengaruhi oleh bahasa pertamanya.

D.  Hubungan Kemampuan Berbahasa dengan Kemampuan Berpikir dan Belajar
Bahasa, menurut Purwanto (1989: 43) adalah alat terpenting dalam berpikir. Karena memiliki bahasa dan mampu berbahasa, manusia dapat berpikir. Tanpa bahasa, manusia tidak dapat berpikir. Karena eratnya hubungan antara bahasa dan berpikir, Plato pernah mengatakan bahwa berbicara adalah berpikir keras (terdengar) dan berpikir itu adalah berbicara. Jika begitu, maka dapat dipastikan bahwa seseorang yang rendah kemampuan berpikirnya akan mengalami kesulitan dalam menyusun kalimat yang baik, logis, dan sistematis.
Sampai sekarang orang masih berkeyakinan bahwa berpikir adalah days yang paling utama dan merupakan ciri yang khas membedakan manusia dengan hewan. Manusia dapat berpikir karena mempunyai bahasa, sedangkan hewan tidak. Bahasa hewan bukanlah bahasa seperti bahasa yang dimiliki manusia. Bahasa hewan adalah bahasa "insting" yang tidak perlu dipelajari dan diajarkan. Bahasa manusia adalah hasil kebudayaan yang harus dipelajari dan diajarkan.
Dalam berbahasa seseorang pasti melakukan suatu proses yaitu proses sosialisasi, dalam arti melakukan konteks dengan yang lain. Seseorang menyampaikan ide dan gagasannya dengan berbahasa dan menangkap, ide dan gagasan orang lain melalui bahasa. Menyampaikan dan mengambil makna ide dan gagasan itu merupakan proses berpikir yang abstrak. Ketidaktepatan menangkap arti bahasa akan berakibat ketidaktepatan dan kekaburan persepsi yang diperolehnya. Akibat lebih lanjut adalah hasil proses berpikir menjadi tidak tepat benar. Ketidaktepatan hasil pemrosesan pikir ini diakibatkan kekurangmampuan dalam berbahasa.
Pengaruh kemampuan berbahasa terhadap kerja pikir memang tidak diragukan sehingga pada akhirnya sampai pada suatu simpul. Jika ingin memiliki kemampuan berpikir dengan baik maka kuasailah bahasa dengan baik. Dalam konteks realitas, ternyata setiap orang memiliki kemampuan berbahasa yang bervariasi. Oleh karena itulah, wajar saja kemampuan berpikir anak berbeda-beda. Pendapat yang hingga sekarang tidak pernah terbantah adalah ada korelasi yang tinggi antara kemampuan berpikir dan kemampuan berbahasa. Anak dengan IQ tinggi berpotensi memiliki kemampuan bahasa yang tinggi. Hal ini disebabkan mereka dengan mudah menyerap dan menguasai perbendaharaan kosakata yang dimiliki suatu bahasa. Bervariasinya Nilai IQ menggambarkan adanya perbedaan individual anak. Dengan demikian, siapa pun tidak akan dapat membantah bahwa terbatasnya kemampuan anak dalam penguasaan bahasa berimplikasi terhadap kemampuan anak berpikir.
Persoalannya sekarang adalah adakah hubungan antara kemampuan berpikir dan kemampuan belajar anak? Jawabnya tentu saja ada. Hubungan antara berpikir dan kemampuan belajar anak ini telah banyak dibicarakan pada pembahasan terdahulu, yaitu pada pembahasan tentang Belajar Berpikir (halaman 34). Di situ telah dibahas tentang taraf berpikir yang bermacam-macam yang dihubungkan dengan macam-macam bentuk pelajaran. Simpul kata, bahwa ada hubungan yang signifikan antara taraf berpikir dan kemampuan belajar. Semakin tinggi taraf belajar seseorang semakin tinggi ked a pikir yang diperlukan. Lebih jelas, silakan dibaca kembali pembahasan tersebut.
Bagaimana dengan kemampuan berbahasa, adakah pengaruhnya terhadap kemampuan belajar anak? Kemampuan anak dalam berbahasa mempengaruhi kemampuan anak dalam belajar. Dalam realitas sosial wring ditemukan anak yang mengalami kesulitan belajar karena miskinnya penguasaan perbendaharaan kosakata. Kurangnya penguasaan kosakata menjadi penyebab sukarnya anak memahami kata-kata dan kalimat yang terdapat dalam berbagai buku bacaan, koran, majalah dan sebagainya. Tidak sedikit anak yang mengeluh hanya karena sukarnya mengerti apa yang diucapkan oleh guru dalam kegiatan pembelajaran di sekolah. Perbedaan bahasa karena perbedaan suku bisa menjadi sebab sukarnya anak membangun komunikasi yang baik dengan orang lain. Oleh karena itu, kemampuan berbahasa mempenga­ruhi kemampuan anak dalam belajar. (Sumber: Buku Psikologi Pembelajaran)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar