PERKEMBANGAN
BAHASA ANAK
Bahasa merupakan
sarana yang efektif untuk menjalin komunikasi sosial. Tanpa bahasa, komunikasi
tidak dapat dilakukan dengan baik dan interaksi sosial pun tidak akan pernah
terjadi. Karma tanpa bahasa, siapa pun tidak akan dapat mengekspresikan diri
untuk menyampaikan kepada orang lain. Oleh karma itu, benar apa yang dikatakan
oleh Crow dan Crow (1987) bahwa bahasa adalah alat ekspresi bagi manusia. Via
bahasalah manusia dapat mengorganisasikan bentuk-bentuk ekspresinya dalam
kehidupan sosial di masyarakat.
Sebagai alat
yang sangat panting, bahasa memiliki fungsi yang signifikan bagi manusia.
Paling tidak, ada due fungsi bahasa, yaitu: (1) bahasa sebagai sarana
pembangkit dan pembangun perhubungan yang memperluas pikiran seseorang sehingga
kehidupan mental seorang individu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
kehidupan mental kelompok; {2) bahasa sebagai sarana yang mempengaruhi
kepribadian. Dengan menggunakan bahasa dapat diubah cara berpikir seseorang.
Bila anak manusia
mempelajari bahasa berarti mereka mempelajari reaksi-reaksi tertentu, menyerap
dan melahirkan pikiran-pikiran, dan menjadikan pengalaman orang lain sebagai
bagian dari kehidupan mental mereka. Ketika bahasa digunakan oleh anak sebagai
alat komunikasi maka ada maksud-maksud tertentu yang ingin disampaikannya.
Bahasa tidak hanya dimanfaatkan anak untuk mengungkapkan pikiran-pikiran dan
maksud tertentu, tetapi juga untuk membuka lapangan rohaniah ke taraf yang
lebih tinggi, dan untuk mengembangkan fungsi-fungsi tanggapan, perasaan,
fantasi, intelek, dan kemauan.
Bertolak dari
uraian di atas, siapa pun tidak dapat membantah, bahwa bahasa binatang berbeda
dengan bahasa manusia meskipun keduanya sama-sama memiliki bahasa dengan fungsi
utamanya sebagai alas ekspresi. Binatang mengekspresikan diri mereka dengan cara-cara
tertentu. Teriakan binatang sewaktu menjumpai bahaya atau mangsa pada hakikatnya
merupakan pengungkapan ucapan dan bahasa, yang dinyatakan dalam bentuk
bunyi-bunyian, dan bahasa bau seperti pada lebah, bahasa ketukan dan sentuhan
pada semut. Berbeda dengan binatang, bahasa bagi manusia memiliki "nilai
budaya". Perbedaan itu disebabkan dalam bahasa manusia disadari ada
"kesadaran nama" yaitu bahwa setiap "bunyi-bunyi" akan
selalu menunjuk pada satu objek tertentu: peristiwa, orang, benda, atau
presentasi lainnya.
Setiap anak
memiliki potensi untuk berbahasa. Potensi kebahasaan itu akan tumbuh dan
berkembang jika fungsi lingkungan diperankan dengan baik. Jika tidak, maka
potensi itu akan bersifat "laten" (terpendam) selamanya. Oleh karena
itu, peranan lingkungan, terutama lingkungan keluarga memiliki peran strategis
dalam hal ini. Perolehan bahasa pertama kali akan terjadi, manakala seorang
anak mengenal bahasa di lingkungan keluarga. Bahasa yang dikenal dan dikuasai
oleh anak yang berasal dari keluarga inilah yang menjadi titik awal dalam
perkembangan bahasa. anak.
Tingkat
perkembangan bahasa anak ini berbeda-beds sesuai dengan apa yang didengar dan
dikenalnya. Akan tetapi, kebanyakan pada tingkat awal anak-anak mengenal
istilah kata benda dan kata kerja yang sederhana seperti mama, ayah, rumah,
tidur, menangis, makan, minum dan sebagainya. Penguasaan bahasa ini akan
berkembang sejalan dengan perkembangan usia anak.
Sejalan dengan
perkembangan hubungan sosial maka perkembangan bahasa seseorang (bayi-anak)
dimulai dengan meraban (suara atau bunyi tanpa arti) dan diikuti dengan bahasa
satu suku kata, dua suku kata, menyusun kalimat sederhana, dan seterusnya
melakukan sosialisasi dengan menggunakan bahasa yang kompleks sesuai dengan
tingkat perilaku sosial anak.
Perkembangan bahasa
ini diakui terkait dengan perkembangan kognitif, yang berarti faktor intelek
sangat mempengaruhi perkembangan kemampuan berbahasa. Bayi misalnya, pada
awalnya tingkat intelektualnya belum berkembang dan masih sangat sederhana.
Semakin bayi itu tumbuh dan berkembang serta mulai mampu memahami lingkungan
maka bahasanya mulai berkembang dari tingkat yang paling sederhana ke yang
kompleks.
Dengan demikian,
menurut Sunarto dan Hartono (2002: 136), perkembangan bahasa anak ialah
meningkatnya kemampuan penguasaan alat berkomunikasi, baik secara lisan,
tertulis, maupun dengan tanda-tanda atau isyarat. Tentu saja mampu menguasai
alat komunikasi di sini diartikan sebagai upaya seseorang untuk dapat memahami
dan dipahami orang lain.
A. Potensi Berbahasa Anak
Bila kita membolak-balik Kamus Besar Bahasa Indonesia, kita akan
menemukan kata "potensi ", yang berarti kekuatan, kesanggupan,
kemampuan. Jika potensi dipahami sebagai kemampuan maka potensi adalah kekuatan
atau kesanggupan yang masih terpendam dalam diri seseorang. Sedangkan
"berbahasa " itu sendiri, menurut Chaer (2003: 30) adalah proses
penyampaian informasi dalam berkomunikasi. Jadi, potensi berbahasa individu
ialah kemampuan yang masih terpendam yang dimiliki oleh setiap orang untuk
menyampaikan informasi dalam berkomunikasi.
Chomsky dan Woolflok seperti dikutip Sujanto (1996: 24) mengatakan
bahwa anak dilahirkan ke dunia telah memiliki kapasitas berbahasa. Begitu juga
dengan binatang. Tetapi, pada manusia kapasitas berbahasa itu mengalami
perkembangan. Bahasa bagi manusia memiliki fungsi tertentu yang dibedakan
dengan fungsi bahasa pada binatang. Heyster dengan tegas menyebutkan fungsi
bahasa bagi manusia. Menurutnya ada tiga fungsi bahasa, bagi manusia, yaitu:
1. Bahasa sebagai alat
pernyataan isi jiwa, seperti kata "aduh", ketika tersandung benda,
secara spontan kita ucapkan tanpa ada tujuan ape pun.
2. Bahasa sebagai perasaan
(mempengaruhi orang lain) seperti kalimat "alangkah bagusnya pemandangan
itu", kita ucapkan agar orang lain mengerti isi jiwa kita.
3. Bahasa sebagai alat untuk
menyampaikan pendapat seperti kalimat "Nama saya Ana dan rumah saya di sana", kita ucapkan
untuk memberi tabu dengan sengaja kepada orang lain.
Meskipun anak memiliki potensi untuk berbahasa, tetapi potensi itu
tidak akan dapat tumbuh dan berkembang bila tidak didukung oleh lingkungan. Di
sini lingkungan memiliki nilai strategic untuk menumbuhkembangkan potensi
berbahasa anak. Ketika seorang anak dilahirkan, kemudian dia dibesarkan di
dalam lingkungan sosial, berinteraksi dengan banyak orang maka potensi
berbahasa anak akan tumbuh dan berkembang dengan baik sejalan dengan
bertambahnya usia anak. Tetapi, dalam kasuistik tertentu, bila seorang anak
dilahirkan, kemudian dibesarkan. oleh binatang tertentu dalam waktu cukup lama dan
tidak pernah berinteraksi dengan manusia maka dapat dipastikan potensi
berbahasa anak akan hilang. Kasus penculikan bagi oleh orang utan yang pernah
terjadi di negara Uganda
yang diberitakan oleh Majalah Intisari adalah data otentik dalam hal ini. Oleh
karma itu, lingkungan secara signifikan mempengaruhi perkembangan potensi
berbahasa anak.
B. Perolehan Bahasa Anak
Berdasarkan tahap pemerolehannya, Cheer dan Agustina (2004: 81) membagi
perolehan bahasa anak menjadi due macam, yaitu bahasa Ibu (bahasa pertama) dan
bahasa kedua, (ketiga dan seterusnya).
Penamaan bahasa ibu/bahasa pertama adalah mengacu pada satu sistem
linguistik yang sama. Yang dimaksud bahasa, ibu adalah satu sistem linguistik
yang pertama kali dipelajari secara alamiah dari ibu atau keluarga yang
memelihara seorang anak. Umpamanya, bahasa ibu penduduk asli penduduk di Lereng
Gunung Merapi adalah bahasa Jawa dan bahasa ibu penduduk asli di tepi Danau
Batur adalah bahasa Bali. Bahasa ibu tidak
mengacu pada bahasa yang dikuasai dan digunakan oleh seorang ibu, tetapi
mengacu pada bahasa yang dipelajari seorang anak dalam keluarga yang
mengasuhnya.
Di kota-kota besar di Indonesia banyak terjadi di mane
ibu dan ayah menggunakan bahasa daerah jika bercakap-cakap berduaan, tetapi
menggunakan bahasa Indonesia bila bercakap-cakap dengan anak mereka. Oleh
karena itu, bisa dikatakan bahasa ibu si anak adalah bahasa Indonesia karena
bahasa itulah yang dipelajari si anak dari ibunya atau keluarganya.
Bahasa ibu lazim juga disebut bahasa pertama (disingkat B 1) karena
bahasa itulah yang pertama-tama dipelajari seorang anak. Kalau kemudian si anak
mempelajari bahasa lain, yang bukan bahasa ibunya maka bahasa lain yang
dipelajarinya itu disebut bahasa kedua (disingkat B2). Andaikan kemudian si
anak mempelajari bahasa lainnya lagi maka bahasa yang dipelajari terakhir ini
disebut bahasa ketiga (disingkat B3). Begitu pula selanjutnya, ada kemungkinan
seorang anak mempelajari bahasa keempat, kelima dan seterusnya. pada umumnya,
bahasa pertama seorang anak Indonesia
adalah bahasa daerahnya masing-masing. Sedangkan bahasa Indonesia
adalah bahasa kedua karena anak bare mempelajarinya ketika di sekolah, setelah
anak mempelajari dan menguasai bahasa ibunya. Lain hal jika anak sejak bagi
sudah mempelajari bahasa Indonesia dari ibunya maka bahasa itulah yang menjadi
bahasa pertama (B 1) bagi anak.
Yang disebut bahasa asing yaitu, bahasa yang akan selalu merupakan
bahasa kedua (B2) bagi seorang anak. Di samping itu penamaan bahasa asing itu juga
bersifat politis, yaitu bahasa yang digunakan oleh bangsa lain. Maka bahasa Malaysia,
bahasa Arab, bahasa Inggris, dan bahasa Cina adalah bahasa asing bagi bangsa Indonesia.
Sebuah bahasa asing, bahasa yang bukan milik suatu bangsa (dalam arti kenegaraan)
dapat menjadi bahasa kedua. Kalau dipelajari setelah menguasai bahasa ibu
seperti pada kebanyakan penutur di India, di Malaysia, dan Filipina.
Bisa juga menjadi bahasa negara kalau bahasa itu digunakan untuk menjalankan
administrasi kenegaraan dan kegiatan kenegaraan lainnya. Sebuah bahasa asing
dapat juga menjadi bahasa pertama bagi seorang anak kalau anak itu tercerabut
dari bumi negaranya dan menggunakan bahasa itu sejak bagi.
C. Tugas-Tugas Perkembangan Bahasa
Menurut Gunarsa (1995: 11) masa kanak-kanak awal disebut juga masa
anak prasekolah, terbentang antara usia 2-6 tahun. Beberapa ciri perkembangan
pada masa ini salah satunya adalah perkembangan bahasa dan berpikir. Sebagai
alas komunikasi dan mengerti dunianya, kemampuan berbahasa lisan pada anak akan
berkembang karena selain terjadi oleh pematangan dari organ-organ bicara dan
fungsi berpikir juga karena lingkungan ikut membantu mengembangkannya. Pada
masa ini tampak seakan-akan anak "haus nama", di mana segala hal akan
ditanyakan.
Di dalam segi berpikir, anak berada pada tahap pra operasional
rasional dan egosentris. Dengan bertambahnya usia, egosentrisme akan berkurang
dan ditambah dengan kefasihan berbicara, anak makin lama makin mampu
menggunakan simbol-simbol.
Perkembangan pikiran itu dimulai pada usia 1,6-2,0 tahun yaitu pada
saat anak dapat menyusun kalimat dua atau tiga kata. Laju perkembangan itu
sebagai berikut.
a. Usia 1,6 tahun, anak dapat
menyusun pendapat positif, seperti: "bapak makan."
b. Usia 2,6 tahun, anak dapat
menyusun pendapat negatif (menyangkal), seperti : "Bapak tidak
makan."
c. Pada usia selanjutnya,
anak dapat menyusun pendapat:
1) Kritikati: "Ini tidak
boleh, ini tidak baik."
2) Keragu-raguan: barangkali,
mungkin, bisa jadi, ini terjadi apabila anak sudah menyadari akan kemungkinan,
kekhilafannya.
3) Menarik kesimpulan
analogi, seperti: anak melihat ibunya tidur karena sakit, pada waktu lain anak
melihat ibunya tidur, dia mengatakan bahwa ibu tidur karena sakit.
Dalam konteks ini, menurut Gunarsa, ada empat tugas yang perlu
diperhatikan dalam perkembangan bahasa anak, yaitu (1) anak dapat mengerti
pembicaraan orang lain; (2) anak dapat menyusun dan menambah perbendaharaan
kata; (3) anak dapat menggabungkan kata menjadi kalimat; (4) anak dapat
mengucapkan dengan baik dan benar. Pendapat Gunarsa tersebut diperkuat oleh
Yusuf (2001: 119) dengan memberikan penjelasan tambahan bahwa dalam berbahasa,
anak dituntut untuk menuntaskan atau menguasai empat tugas pokok yang satu sama
lainnya Baling berkaitan. Apabila anak berhasil menuntaskan tugas yang satu
maka berarti juga is dapat menuntaskan tugas-tugas yang lainnya. Penjelasan
terhadap keempat tugas perkembangan bahasa anak tersebut, sebagai berikut:
1. Pemahaman, yaitu kemampuan
memahami makna ucapan orang lain. Bayi memahami bahasa orang lain, bukan
memahami kata-kata yang diucapkannya, tetapi dengan memahami kegiatan/gerakan
atau gesturnya (bahasa tubuhnya).
2. Pengembangan
perbendaharaan kata. Perbendaharaan kata-kata anak berkembang dimulai secara
lambat pada usia dua tahun pertama, kemudian mengalami tempo yang cepat pada
usia prasekolah dan terus meningkat setelah anak masuk sekolah.
3. Penyusunan kata-kata
menjadi kalimat. Kemampuan menyusun kata-kata menjadi kalimat pada umumnya
berkembang sebelum usia dua tahun. Bentuk kalimat pertama adalah kalimat
tunggal (kalimat satu kata) dengan disertai : "gesture" untuk
melengkapi cara berpikirnya. Contohnya, anak menyebut "Bola” sambil
menunjuk bola itu dengan jarinya. Kalimat tunggal itu berarti "tolong
ambilkan bola untuk saya." Seiring dengan meningkatnya usia anak dan
keluasan pergaulannya, tipe kalimat yang diucapkannya pun semakin panjang dan
kompleks. Menurut Davis, Grrison dan McCarthy (Hurlock, 1956) anak yang cerdas,
anak wanita dan anak yang berasal dari keluarga berada, bentuk kalimat yang
diucapkannya itu lebih panjang dan kompleks dibandingkan dengan anak yang
kurang cerdas, anak pria dan anak yang berasal dari keluarga miskin.
4. Ucapan. Kemampuan
mengucapkan kata-kata merupakan hasil belajar melalui imitasi (peniruan)
terhadap suara-suara yang didengar anak dari orang lain (terutama orang
tuanya). Pada usia bayi, antara 11-18 bulan, pada umumnya mereka belum dapat
berbicara atau mengucapkan kata-kata secara jelas sehingga wring tidak
dimengerti maksudnya. Kejelasan ucapan itu baru tercapai pada usia sekitar tiga
tahun. Hasil studi tentang suara dan kombinasi suara menunjukkan bahwa anak
mengalami kemudahan dan kesulitan dalam huruf-huruf tertentu. Huruf yang mullah
diucapkan, yaitu huruf vokal: i, a, e dan u dan huruf konsonan: t, p, b, m, dan
n. Sedangkan huruf yang sulit diucapkan adalah huruf mati tunggal: z, w, s, dan
g, dan huruf mati rangkap (diftong) ; st, str, sk, dan dr.
D. Perkembangan Kemampuan
Berbahasa Anak
Yusuf (2001: 120) membagi tipe perkembangan bahasa anak menjadi dua,
yaitu egocentric speech dan socialized speech. Egocentric speech, terjadi
ketika anak berbicara kepada dirinya sendiri (monolog). socialized speech,
terjadi ketika berlangsung kontak antara anak dengan temannya atau dengan lingkungannya.
Perkembangan bahasa pada masa socialized speech dibagi ke dalam lima
bentuk : (a) adapted information, di sini terjadi saling tukar gagasan atau
adanya tujuan bersama yang dicari; (b) critism, yang gagasan penilaian anak
terhadap ucapan atau tingkah lake orang lain; (c) command (perintah), request
(permintaan), dan threat (ancaman); (d) questions (pertanyaan); dan (e) answer (jawaban).
Berbicara monolog (egocentric speech) berfungsi untuk mengembangkan
kemampuan berpikir anak yang pada umumnya dilakukan oleh anak berusia 2-3
tahun. Sementara yang socialized speech mengembangkan kemampuan penyesuaian
sosial (social adjustment).
Kemampuan berbahasa seorang anak selalu mengalami perkembangan
seiring dengan perkembangannya pada masa-masa tertentu. Dilihat dari segi
pembagian fase perkembangan berbahasa yang disusun oleh Clara dan W. Stern maka
perkembangan dalam masa bayi termasuk pada fase pertama yang meliputi stadium
purwaka (meraban/ mengoceh), meniru sumu atau bunyi yang didengar, tetapi tidak
sempurna; dan stadium kalimat sepatah (pada akhir masa bayi, die mengucapkan
hanya satu kata saja tetapi maksudnya adalah satu kalimat yang mengandung permintaan)
seperti: is mengucapkan kata "mama " padahal maksudnya adalah
"mama saga mau digendong, " dan sebagainya.
Perkembangan kemampuan berbahasa anak bisa dilihat dari berbagai
aspek. Salah satunya bisa dilihat dari aspek usia. Dalam konteks ini Mubin
membagi perkembangan bahasa bayi dalam rentangan minggu ke bulan. Hal ini lebih
jelas dapat dilihat pada label berikut:
Usia
|
Pencapaian Vocal
|
4
minggu
|
Tangisan
ketidaksenangan
|
12
minggu
|
Mendengar pulas,
memekik mendeguk, kadang-kadang
bunyi vokal.
|
20
minggu
|
Menyatakan
ocehan pertama, bunyi vokal lebih banyak, tetapi kadang-kadang hanya huruf
mati.
|
6
bulan
|
Memperlihatkan
ocehan yang lebih baik, bunyi vokal mulai penuh dan banyak huruf mati.
|
12
bulan
|
Ocehan
meliputi nyanyian atau intonasi bahasa, mengungkapkan isyarat emosi, memproduksi
kata-kata pertama, anak memahami beberapa kata dan perintah sederhana.
|
18
bulan
|
Mengucapkan kosa
kata antara 3-50 kata, ocehan diselingi dengan kata-kata yang riil,
kadang-kadang kalimat yang terdiri dari 2 dan 3 kata.
|
24
bulan
|
Mengucapkan
kosakata antara 50-300 kata, walaupun tidak semua digunakan dengan teliti,
ocehan menghilang, banyak kalimat yang terdiri dari 2 kata atau lebih
panjang, tata bahasa belum benar, anak memahami secara sangat sederhana bahasa
yang dibutuhkannya.
|
Agus Sujanto (1996: 26) membagi perkembangan kemampuan berbahasa
anak yang dibedakannya atas empat masa, yaitu:
1. Masa Pertama (Umur 1,0–1,6)
Kata-kata pertama yang diucapkan anak adalah kelanjutan dari
meraban. Ini dapat kita lihat dengan jelas, jika kita perhatikan bahwa di
antara kata.-kata itu terdapat beberapa kata yang diucapkan juga oleh anak dari
bahasa apa pun di dunia ini. Misalnya kata-kata yang diucapkan anak terhadap
ayah atau ibunya. Kata "ma" untuk ibu dan kata "pa” untuk bapak.
Bila setiap kali anggota keluarga menyebut sesuatu kata pada waktu
mereka mendekat kepadanya, maka secara wajar, ia mengerti bahwa kata itu adalah
tertuju kepadanya. Oleh karena itu, anak pun menirukan kata itu untuk
menggantikan akunya, meskipun belum diucapkan dengan benar. Misalnya kata Siti,
dikatakannya "Titi " atau "Iti ". Demikian juga halnya bila
ia melihat sesuatu, maka disebutnya benda itu sesuai dengan suara yang
ditimbulkannya, Kucing disebutnya eong, anjing disebutnya hung, bola disebutnya
bug-bug, dan sebagainya. Kecuali bila orang mengatakan dengan suara lain untuk
suatu benda atau suatu perbuatan. Misalnya, mimik yang maksudnya adalah minum,
bobo yang maksudnya adalah tidur pipis yang maksudnya adalah kencing dan
sebagainya.
Karena dengan kata-kata itu sebenarnya anak ingin mengatakan
keinginannya, padahal semestinya merupakan satu kalimat. Ucapan anak seperti
itu dinamakan kalimat satu kata. Penggunaan kata mimik, bobo, atau pipis oleh
anak bisa bermakna satu kalimat. Mimik, maksudnya adalah: ibu, saya mau minum
susu pakai botol. Tetapi, bila anak mengatakan bobo, maka sebenarnya anak ingin
mengatakan bahwa: Ia mau tidur. Penggunaan kata pipis dapat dipahami untuk
mewakili kalimat bahwa anak mau kencing.
2. Masa Kedua (Umur 1,6 –
2,0)
Pada masa ini, dengan kemampuannya berjalan, anak makin banyak
melihat segala sesuatu dan ingin mengetahui namanya. Oleh karena itu, ia selalu
menanyakan nama di antara benda-benda yang kebetulan ditemuinya. Karena itu
masa ini disebut "apa itu". Rasa ingin tahu anak itu harus disikapi
dengan arif dan bijaksana. Orang tua (ayah atau ibu), kakak atau slaps pun juga
harus menjawabnya dengan semestinya, dan dengan ucapan yang benar, meskipun
disadari anak belum mampu menirukan dengan tepat dan benar apa yang diucapkan
itu. Tetapi, dengan pertanyaan-pertanyaan yang anak ajukan dan dijawab dengan
benar maka makin banyaklah ia mengenal benda-benda dengan nama yang sebenarnya.
Dengan demikian, keingintahuan anak akan nama-nama benda atau sesuatu
berpotensi menambah perbendaharaan bahasa anak.
Adanya kesukaran berkata pada anak yang terjadi pada masa ini
diyakini ada faktor penyebabnya. Ada
kesenjangan antara perkembangan kemauan dan kekayaan bahasa. Karena
perkembangan kemauan atau keinginan anak lebih cepat daripada kekayaan
bahasanya sehingga apa yang inginkan tidak terwakili lewat kata-kata.
Sebenarnya anak ingin bercerita, tetapi karena perbendaharaan kata-katanya
belum mencukupi maka ia melengkapinya dengan gerakan-gerakan tangan dan
kakinya.
3. Masa Ketiga (Umur 2,0 –
2,6)
Pada masa ini, anak telah mulai tampak makin sempurna dalam menyusun
kata-kata. la sudah menggunakan awalan dan akhiran, sekalipun belum sesempurna
seperti yang dikatakan orang dewasa. Karena itu orang yang arif, akan
membenarkannya dengan hati-hati. Tetapi kadang-kadang anak itu tidak begitu
senang bila kata-katanya itu selalu dibenarkan. Acapkali kita dengar kesalahan
yang lucu dan kerapkali ia membuat kata-kata baru menurut caranya sendiri. Hal
ini mungkin disebabkan karena kata yang dahulu dipergunakannya untuk menamakan
sesuatu tidak memuaskan lagi baginya.
4. Masa Keempat (Umur 2,6 –
Seterusnya)
Pada masa ini keinginan anak untuk mengetahui segala sesuatu semakin
bertambah. Rasa ingin tahu anak terhadap segala sesuatu membuat anak sering
bertanya. Setiap jawaban singkat yang diberikan terkadang tidak memberikan kepuasan
kepada anak. Setiap jawaban yang diberikan akan menimbulkan pertanyaan yang
bare bagi anak. Begitulah perkembangan kreativitas bertanya anak pada masa ini.
Banyaknya pertanyaan yang diajukan anak dipandang sebagai anak yang cerewet
bagi orangtua tertentu. Apalagi pertanyaan yang itu ditanyakan kepada orangtua
yang sedang sibuk bekerja. Rasa jengkel atau marsh terkadang tidak terbendung
terhadap anak yang suka bertanya.
Kreativitas bertanya anak ini tidak boleh disikapi dengan sinis.
Apalagi memarahinya, karena hal itu bisa mematikan rasa ingin tahu anak
terhadap sesuatu. Orangtua yang baik tentu saja harus menanggapi kreativitas
bertanya ini dengan arif dan bijaksana. Setiap pertanyaan yang diajukan anak
harus dijawab dengan baik dan benar. Sebab hanya dengan sikap yang aril dan
bijaksana itulah yang dapat melahirkan sikap dan perilaku untuk selalu
menghargai kreativitas bertanya anak. Semua itu tidak lain adalah demi
perkembangan pikiran dan memperkaya perbendaharaan bahasa anak.
Oleh karena itu, seyogianyalah bila pada masa ini anak sering dibawa
bepergian dan melayani dengan baik segala yang ditanyakannya. Dengan cara
semacam ini anak akan makin cakap menggunakan bahasanya, makin banyak
pengetahuannya, makin maju berpikirnya, perasaannya dan sebagainya sehingga
perkembangannya tidak mengalami hambatan.
Dengan sudut pandangan yang berbeda, misalnya berdasarkan pendekatan
linguistik, ada juga ahli yang mengklasifikasikan perkembangan bahasa anak
seperti berikut:
1. Permulaan Bicara : Meraban (Mengoceh)
Suara pertama yang dilakukan anak adalah jerit tangis pada waktu
dilahirkan. Tangis pertama ini berguna, untuk memungkinkan anak dapat bernapas
karena mulai saat itu anak harus bernapas sendiri.
Suara-suara yang dikeluarkan anak dapat dibedakan antara suara
tangis dan ocehan. Tangis menunjukkan keadaan tidak senang sedangkan ocehan
menunjukkan rasa senang dan kepuasan. Tangis bukan suatu gejala yang berdiri
sendiri, melainkan suatu tingkah lake
refleks terhadap sesuatu
karena di satu pihak menunjukkan keadaan tidak nyaman, tetapi pada waktu
bersamaan juga menginginkan reaksi keliling.
Van Ginneken (1917) dalam bukunya "Roman vann een kleuter
mengatakan bahwa suara-suara pertama yang dikeluarkan adalah hurufhuruf vokal.
Menurutnya tangis terletak pada dasar vokalisasi, ketawa pada dasar artikulasi.
Gregoire (1937) mengemukakan dalam "L'apprrentissage du langage"
bahwa suara-suara pertama yang dikeluarkan adalah a, e, i, o, u. Baik Van
Ginneken maupun Gregoire berpendapat bahwa bahasa mempunyai dasar fisiologis.
Menurut Buhler huruf-huruf mati atau konsonan-konsonan pertama yang diucapkan
adalah b, p, n, k, g, r. Sering pula kita dengar bahwa anak dalam meraban
mencoba-coba mengucapkan macam-macam rrr.
Suara-suara pertama yang oleh Van Ginneken dan Gregoire dianggap
mempunyai dasar fisiologis tadi merupakan proses emosional, sebab rasa nyaman
dan tidak nyaman tadi memang ditentukan oleh faktorfaktor fisiologis, namun
mempunyai arti emosional juga. Atas dasar itulah anak mengeluarkan suara-suara.
Meraban umumnya dilihat sebagai permulaan perkembangan bahasa yang
sesungguhnya. Meraban dimulai sekitar umur 3 bulan. Buhler menyebutnya sebagai
monolog ocehan. Tingkah ini berlaku sampai umur 9 atau 12 bulan. Sementara anak
dapat mengucapkan kata-kata mulai usia 9 bulan. Matra mulailah stadium kalimat
satu kata.
Mulai bulan keenam ocehan mempunyai fungsi komunikatif Anak bukan
sekedar mengoceh begitu saja, melainkan sekarang sudah jelas merupakan reaksi
terhadap orang lain yang mencari kontak verbal dengan anak tersebut.
Pada umumnya ada persamaan pendapat bahwa anak usia sekitar 10 bulan
betul-betul dapat menirukan kata-kata yang didengarnya. Meskipun belum
merupakan peniruan yang benar namun sudah mengandung unsur-unsur peniruan yang
banyak.
Sekitar tahun pertama anak mengucapkan kata-kata yang pertama,
kebanyakan kata "mama"; "mama" lebih dulu dapat diucapkan
dari “papa”.
2. Kalimat Satu Kata dan Kalimat Dua Kata
Satu kata yang diucapkan oleh anak harus dianggap sebagai satu
kalimat penuh. Misalnya, kalau anak mengatakan "kursi", maka hal itu
dapat berarti: Saya mau duduk di kursi, atau mama harus duduk di kursi. Itulah
sebabnya mengapa ucapan satu kata anak ini dipandang sebagai kalimat satu kata.
Kata-kata pertama anak tidak bisa dipandang sebagai penyebutan objek yang
murni, mereka mempunyai isi psikologis yang bersifat intelektual, emosional;
dan sekaligus volisional yaitu anak mau atau tidak mau akan hal sesuatu.
Di antara bulan ke-18 dan 20 (dengan kemungkinan penyimpangan yang
banyak) datanglah kalimat dua kata yang pertama. Anak mempunyai kemungkinan
yang lebih banyak untuk menyatakan maksudnya dan untuk mengadakan komunikasi.
Dalam bahasa anak ada dua kelompok kata yang spesifik, yaitu: kata
pivot dan kata terbuka. Dalam kelompok yang pertama termasuk kata-kata yang
sering dipakai oleh anak, sedangkan kata-kata dari kelompok kedua tidak sering
dipakai oleh anak. Seringkali kata-kata pivot juga mempunyai tempat yang tetap
dalam kalimat dua kata. Jumlah kata-kata yang termasuk kelompok pivot tidak
banyak, sedangkan kelompok terbuka selalu ditambah dengan kata-kata baru.
Yang perlu diperhatikan di sini ialah bahwa kata pivot yang sama
dapat berbeda-beda artinya dalam kombinasi dengan kata terbuka yang berlainan.
"Gi susu" dapat berarti bahwa anak tidak mau minuet susu lagi.
"Gi mama" berarti anak ingin bepergian dengan mamanya, sedangkan
"Gi oto" berarti otonya baru saja pergi.
Jadi yang penting di sini adalah intensitas semantiknya, yaitu arti
dari apa yang dimaksudkan. Hal ini berarti bahwa anak dalam kalimat dua kata
sudah mampu untuk menyatakan berbagai maksudnya Meskipun dengan alai sintaktis
yang masih terbatas. Anak sudah dapat menyatakan bentuk hubungan yang
bermacam-macam.
3. Kalimat Tiga Kata
Dari kalimat dua kata berkembanglah lambat lawn kalimat tiga kata yang
dalam arti struktural mula-mula masih mirip dengan kalimat dua kata. Perubahan
ini terjadi kurang lebih antara bulan ke-24 dan bulan ke30. Meskipun mula-mula
masih mirip dengan bentuk kalimat dua kata secara struktural, namun segera terjadi
suatu diferensiasi dalam kelompok kata-kata yang dimasukkan dalam klasifikasi
baru. Dengan kata lain, anak mengatur kembali kata-kata dalam bahasanya.
Mengenai proses pengaturan baru dalam kata-kata ini belum dapat
diperoleh hasil-hasil penelitian secara meluas mengenai waktu timbulnya kalimat
satu kata, dua kata dan tiga kata dan juga mengenai apa yang dikatakan oleh
anak. Tetapi arti yang langsung mengenai apa yang dikatakan oleh anak atau arti
yang langsung mengenai pengaturan baru dalam kata-kata ini dan kata-kata apa
yank mendapatkan tempat baru, belum banyak dapat diketahui.
Struktur sintaksis bahasa anak sekarang mendapatkan arti yang makin
besar, yaitu rangkaian kata-kata dalam kalimat serfs berubahnya kata-kata. Bagi
anak yang berbahasa Inggris, urutan kata-kata yang lebih penting, sedangkan
bagi anak yang berbahasa Rusia lebih penting berubahnya kata-kata, karena
urutan kata-kata dalam bahasa Rusia lebih luwes.
Meskipun dalam bahasa yang berbeda-beds ada banyak perbedaan dalam
meletakkan titik beret mane yang penting, rangkaian kata-kata atau berubahnya
kata-kata, dalam kenyataannya anak belajar menggunakan urutan kata-kata yang
relatif konstan. Hal ini mungkin dapat diterangkan dari sikap orang di
sekeliling anak yang pertama-tama mencoba untuk memudahkan struktur bahasa bagi
anak. Dengan begitu anak terdorong untuk selalu memakai urutan kata-kata yang
sama. Tetapi meskipun begitu, tidak merupakan pedoman umum bahwa ketika anak
berbahasa akan menitikberatkan pada urutan kata-katanya. Dale (1972) menemukan
bahwa ada anak yang memakai urutan kata-kata yang sangat bebas, tetapi di
samping itu juga belum menggunakan perubahan kata-kata.
Pada umumnya dapat dikemukakan bahwa dalam belajar bahasa anak
memperhatikan kedudukan kata dalam kalimat serta penerapan aturan tats
bahasanya. Tetapi di samping itu perlu pula diingat bahwa kreativitas anak juga
memegang peranan penting dalam konstruksi kalimat-kalimat. Hal ini tidak
ditemukan dalam bahasa orang dewasa. Kreativitas dalam bahasa anak ini mungkin
dapat diterangkan dengan adanya beberapa proses seperti dikemukakan oleh
Piaget, yaitu proses asimilasi dan akomodasi. Misalnya anak selalu mencoba
untuk mengubah pengertiannya sendiri guns memberikan dimensi baru pada realitas.
Menurut Schaerlaekens (1977) periode kalimat satu kata disebut
pralingual, kemudian datang periode lingual awal dari 1 sampai kurang lebih
2Y2tahun (periode kalimat dua kata) dan akhirnya mulai kurang lebih 21/2 tahun
datanglah periode differensiasi (periode kalimat tiga kata dengan bertambahnya
diferensiasi pada kelompok kata dan kecakapan verbal). Tinjauan secara
sistematis yang pertama ini sangat penting dan sangat berguna bagi siapa yang
ingin memperdalam pengertiannya dalam perkembangan bahasa.
Menurut Istiwidyanti, dkk. (1980: 82) berbahasa merupakan sarana
berkomunikasi. Untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain, semua individu
harus dapat menguasai dua fungsi yang berbeda; kemampuan menangkap maksud yang
ingin dikomunikasikan orang lain dan kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang
lain sedemikian rupa sehingga dapat dimengerti. Komunikasi dapat dilakukan
dalam setiap bentuk bahasa tertulis, lisan, isyarat tangan, ungkapan musik,
artistik dan sebagainya. Tetapi dalam banyak hal, bahasa lisan merupakan bahasa
yang paling efisien karena kemungkinan terjadinya salah paham sangat kecil
sekali.
Kedua aspek komunikasi, yaitu mengerti apa yang dimaksud oleh orang
lain dan kemampuan mengomunikasikan pikiran dan perasaan diri sendiri kepada
orang lain sehingga dapat dimengerti, terasa sulit dan tidak cepat dapat
dikuasai. Tetapi dasar-dasar kedua aspek itu telah diletakkan selama masa bayi,
meskipun kemampuan untuk mengerti lebih besar daripada berbicara pada menjelang
berakhirnya masa bayi.
Tugas pertama dalam berkomunikasi dengan orang lain berupa pemahaman
akan perkataan orang lain tersebut. Dalam setiap tahapan usia, anak-anak lebih
dapat mengerti apa yang dikatakan orang lain daripada mengutarakan pikiran dan
perasaan-perasaan mereka sendiri dalam kata-kata. Hal ini tampak lebih jelas
pada masa bayi daripada tahun-tahun masa kanak-kanak. Ekspresi muka pembicara,
nada suara dan isyarat-isyarat tangan membantu bayi untuk mengerti apa yang
dikatakan kepadanya. Rasa senang, marah, dan takut sudah dapat dimengerti sejak
usia tiga bulan.
Sampai bayi berusia delapan belas bulan, kata-kata harus diperkuat
dengan isyarat, seperti menunjuk benda. Pada usia dua tahun, menurut Tes
Inteligensi Skala Terman-Merrill, rata-rata bayi harus cukup dapat mengerti dan
bereaksi terhadap dua dari enam perintah sederhana, seperti "Berikan
kucing itu pada saya" dan "Masukkan sendok ke dalam cangkir",
kalau benda-benda itu mudah diraih. Tetapi besarnya pengertian tergantung
sebagian pada rangsangan dan dorongan orang lain agar bayi berusaha mengerti
apa yang mereka katakan.
Tugas kedua dalam berkomunikasi dengan orang lain adalah belajar
berbahasa. Karena belajar berbahasa adalah tugas yang lama dan sul it, dan
karena bayi-bayi belum cukup matang untuk belajar hal yang sulit dan ruwet ini
selama tahun pertama. Banyak bayi selama tahun pertama dan kedua, mencoba memberitahukan
kebutuhan dan keinginannya dengan cara menangis, berceloteh, isyarat, dan
pengungkapan emosi. Bentuk-bentuk komunikasi ini dikenal sebagai
"bentuk-bentuk prabahasa".
Yang menarik dari perkembangan kemampuan berbahasa anak ini adalah
hal-hal berikut:
1. Bahasa tangis dipakai anak
untuk menyampaikan isi kehidupan batinnya. Tangis anak bisa ditafsirkan untuk
mewakili rasa lapar, sakit, haws, kepanasan, atau kedinginan;
2. Anak melakukan onomatopee
(onoma = nama, poicin = membuat, menirukan bunyi), yaitu memberikan nama pada benda-benda/hewan
dengan menyebutkan bunyinya. Misalnya anak memberi nama "tut-tut"
untuk kereta api, "meong" untuk kucing;
3. Penguasaan bahasa anak
berkembang menurut hukum alami (karena bakat, kodrat, dan ritme perkembangan
yang alami) dan sangat dipengaruhi oleh lingkungan;
4. Perkembangan bahasa anak
yang sesuai dengan norms tats bahasa belum bisa selesai pada usia 12 – 18
tahun. Oleh karena itu, anak harus banyak belajar "bicara baik" dengan
menggunakan bahasa yang halus;
5. Kemajuan penguasaan bahasa
oleh anak berlangsung sedikit demi sedikit dan lama atau perlahan-lahan sekali,
disebabkan banyak bunyi huruf mati yang sulit di lafalkan dengan tepat dan
baik;
6. Karena didorong oleh
hasrat ingin berkomunikasi dengan orang lain dan untuk memahami dunia sekitar,
anak bercakap-cakap sambil melatih fungsi bicaranya;
7. Dalam proses belajar
menguasai bahasa, terdapat peristiwa stagnasi, di mana anak dihadapkan pada banyak
kesulitan dalam penguasaan bahasanya, dan kemajuan anak berlangsung sangat
lambat;
8. Pemakaian bahasa pada mulanya
hanya untuk mengungkapkan perasaan dan keinginan anak sendiri, namun pada akhirnya
anak mampu menyatakan pikiran dan perasaannya mengenai suatu benda atau sesuatu
di luar dirinya;
9. Besar kecilnya
perbendaharaan bahasa anak sangat bergantung pada lingkungan budaya, yaitu
faktor orang tua, sekolah, dan milieu (bahasa ibu, bahasa asing, bahasa baku);
10. Periode gagap dilalui anak
dalam belajar bahasa, disebabkan anak terburu-buru sekali dalam menyatakan
perasaan dan pikirannya, dan ditopang dengan sangat kurangnya penguasaan
bahasa.
KEMAMPUANANAK DALAM
BELAJAR BAHASA
A. Anak dalam Proses Belajar Bahasa
Menurut
Chaer (2003: 243) anak-anak yang masih berada dalam masa pekanya mudah untuk
belajar bahasa. Berbeda dengan orang dewasa atau orang yang masa pekanya sudah
lewat tidak akan mudah belajar bahasa lain. Apalagi mengganti bahasa yang sudah
dinuranikannya dengan bahasa lain.
Penfield
yang telah mempelajari anak-anak Kanada yang menggunakan dua bahasa pernah
mengatakan bahwa: "Otak anak kecil mempunyai kemampuan khusus untuk
belajar bahasa, suatu kemampuan yang akan menurun dengan berjalannya waktu.
Otak anak sifatnya kenyal dalam mempelajari bahasa, otak orang dewasa biasanya
jauh di bawah kemampuan otak anak." Misalnya: Suatu ketika kita beserta
anak-anak mendapat kesempatan tinggal di Inggris beberapa tahun lamanya. Kita
segera melihat bahwa anak-anak dengan cepat bisa berbicara dengan bahasa
Inggris tanpa banyak kesulitan. Sedangkan kita sendiri, walaupun sangat cerdas dan
mengikuti kursus bahasa Inggris, namun dengan susah payah bare bisa berbicara
bahasa itu setelah sekian lama dan logat asli tetap kedengaran.
Menurut
Penfield selama tahun-tahun pertama dari kehidupan anak, otaknya membentuk
"unit-unit bahasa" yang mencatat segala sesuatu yang didengarnya.
Unit-unit ini saling berhubungan dengan sel-sel syaraf lain yang mengatur
kegiatan motorik, berpikir, dan fungsi intelek lain. Setelah umur enam tahun dan
lebih-lebih lagi Setelah Sembilan tahun, anak menggunakan unit-unit bahasa ini
sebagai dasar untuk memperkaya perbendaharaan kata-kata. Kata-kata baru ini
diperoleh etas dasar unit-unit bahasa dan bunyi yang pernah dicatat di otaknya.
Setelah umur sepuluh atau dua bolas tahun, anak baru belajar bahasa kedua, is
harus menggunakan unit-unit bahasa yang sama yang telah dipelajarinya itu.
Penfield
menambahkan bahwa anak tidak lagi meniru bunyi bahasa yang baru itu, tetapi la
menggunakan unit-unit yang dimilikinya -unit bahasa ibu- dan dengan demikian
dia berbicara bahasa baru itu dengan logat aslinya. Selain itu, dia juga
menyusun kata-kata baru itu dalam konstruksi yang salah.
Anak-anak
remaja dan orang dewasa yang belajar bahasa asing, menggunakan unit-unit bahasa
yang telah terbentuk dalam otaknya sejak kecil. Mereka harus melakukan, proses
terjemahan dalam otaknya, suatu proses Neurofisiologis yang oleh Penfield
disebut "belajar secara tidak langsung". Anak-anak kecil yang belajar
dengan cara ini, misalnya: belajar bahasa Inggris dari guru yang berbahasa Indonesia juga
harus melalui proses terjemahan ini. Tetapi anak-anak yang belajar bahasa kedua
atau ketiga dari guru yang hanya berbicara bahasa tersebut, dalam konteks ini
metode langsung atau "metode ibu" dapat membentuk unit-unit bahasa
kedua dalam otaknya.
Anak
yang belajar dua atau tiga bahasa selama masa peka akan mengucapkan bahasa itu
seperti logat gurunya. Bila dia belajar satu bahasa di sekolah, mendengar
bahasa kedua di rumah mungkin bahasa ketiga didengar dari pengasuhnya, dengan
tidak disadari dia telah belajar tiga bahasa sekaligus. Ia mengetahui bahwa
dengan gurunya dia harus berbicara, menggunakan bahasa pertama, sedangkan
dengan orang tuanya dia berbicara, menggunakan bahasa kedua.
Seringkali
orang menganggap tidak ada gunanya anak kecil belajar bahasa asing bila tidak
digunakan baik di rumah maupun di antara teman‑temannya. Penfield sependapat.
Tetapi, walaupun demikian, ia mengatakan, memang benar anak kecil itu akan lupa
kata-kata asing yang pernah dipelajarinya, akan tetapi setelah remaja atau
dewasa ia belajar lagi bahasa itu atau mengunjungi negara yang berbahasa itu
maka pelajaran bahasa asing yang pernah diterimanya dan masih tersimpan dalam
otaknya akan menolong menguasai bahasa asing itu dengan cepat.
Pada
usia tiga dan enam tahun, (waktu terbaik untuk belajar bahasa kedua) anak hanya
butch mendengarkan bahasa atau suatu bahasa diucapkan dengan lancar, wajar, dan
baik. Nenek atau kakek, orang tua, guru kelompok bermain, tetangga, atau pembantu
rumah tangga bisa menjadi guru yang baik. Asalkan mereka hanya berbicara-bahasa
tersebut dengan si anak.
Tujuannya
tentu saja bukan untuk membantu anak mempunyai perbendaharaan kata yang kaya
dalam bahasa tersebut, melainkan membentuk dasar unit bahasa tersebut dalam
otak yang sedang tumbuh. Dengan demikian, ia, bisa menggunakan dasar bahasa
tersebut di kemudian hari bila mempelajari bahasa tersebut di sekolah lanjutan.
Menurut
Joan Beck (2003: 34) orang tua yang mencoba belajar suatu bahasa (bahasa kedua)
bersama-sama dengan anaknya selalu menemukan bahwa anaknya belajar lebih mullah
dan cepat daripada mereka. Dalam proses belajar, hampir semua anak kecil
mengalami gagap dalam, perkembangan bahasa. Ini mungkin terjadi karena jalan
pikirannya mendahului perbendaharaan kata-kata.
Ada
juga yang mengatakan bahwa gagap ini ada hubungannya dengan bagian otak yang
mengendalikan fungsi bicara. Biasanya pada otak kidal, pusat berbicara terletak
di bagian kanan otak. Pada orang yang menggunakan tangan kanan, pusat bicaranya
terletak pada bagian otak sebelah kiri. Menurut teori ini, gagap akan hilang
sendirinya bila sudah jelas anak menggunakan tangan kiri atau tangan kanan.
Gagap ini sering berlangsung lama pada anak yang tidak mengutamakan penggunaan
salah satu tangan atau bila mata dan kaki atau kaki yang dominan. Gagap juga
timbul bila anak kidal dipaksa menggunakan tangan kanan untuk melakukan
tugas-tugasnya.
Tanpa
melihat penyebabnya, gagap yang terjadi pada kebanyakan anak antara umur dua
setengah sampai empat tahun tidak perlu dipersoalkan karena gagap ini akan
hilang bila kemampuan anak menggunakan kata-kata menjadi lebih baik (atau mungkin
bila pusat bicara di otak sudah mulai terbentuk).
Tapi
bila orang tea terlalu memperhatikan gagap pada anaknya sehingga anak radar
akan kekurangannya itu, hal ini justru akan membuat gagapnya menjadi kebiasaan.
Misalnya dengan mengatakan agar ia jangan gagap atau menyuruhnya berhenti
sebentar dan berpikir atau menarik papas dalam-dalam sebelum mulai bicara.
Terlepas
dengan masalah sependapat atau tidak dengan pendapat di atas, yang pasti
masalah gagap pada anak ini hares dihentikan. Bagaimana cara mengatasi anak
yang gagap ini? Saran dari Joan Beck (2003: 88) patut untuk dipertimbangkan.
Menurutnya kita dapat menolong anak dengan cara berikut: dengarkan dengan penuh
perhatian bila anak bicara. Bila ia tahu bahwa kita betul-betul memperhatikan,
ia tidak akan cepat-cepat berbicara, dan akan lebih sedikit kemungkinan ia
gagap dan ia tidak akan terlalu merengek-rengek untuk minta perhatian.
Ellis
(1986: 215) menyebutkan adanya dua tipe pembelajaran bahasa yaitu tipe
naturalistik dan tipe formal di dalam kolas. Tipe naturalistik bersifat
alamiah, tanpa guru dan tanpa kesengajaan. Dalam masyarakat bilingual atau
multilingual tipe naturalistik banyak dijumpai. Dalam Cheer dan Agustina (1995)
ada dicontohkan kasus, dua orang mahasiswa dari Tapanuli, Togar dan Sahat yang
mengikuti kuliah di Malang.
Pada awalnya kedatangan mereka, berdua, sedikit pun mereka tidak mengerti
bahasa Jawa. Namun, karena orang-orang di sekitarnya seperti teman kuliah,
teman sepemondokan, pedagang di pasar dan sebagainya berbahasa Jawa, akhirnya
keduanya berusaha belajar bahasa Jawa agar dapat berkomunikasi. Pada awalnya
bahasa keduanya beraksen bahasa Tapanuli, tetapi setelah dua tahun berjalan,
aksen Tapanulinya sudah berkurang, dan kemudian hilang sama sekali. Jadi,
belajar bahasa menurut tipe naturalistik ini sama prosesnya dengan pemerolehan
bahasa pertama yang berlangsungnya secara alamiah di dalam lingkungan keluarga
atau lingkungan tempat tinggal.
Tentu
saja, menurut Chaer (2003: 243), ada perbedaan antara hasil yang diperoleh
anak-anak dengan orang dewasa. Anak-anak yang masih berada dalam masa kritis
akan memperoleh hasil yang lebih baik dibandingkan dengan orang dewasa yang
bahasa pertamanya sudah sangat ternuranikan sehingga mau tidak mau unsur bahasa
pertamanya itu cukup mempengaruhi usahanya dalam belajar bahasa kedua. Yang
kedua, tipe formal. Tipe ini berlangsung di dalam kelas dengan guru, materi,
dan alat-alat bantu belajar yang sudah dipersiapkan.
B. Prinsip-prinsip Belajar Bahasa
Dalam
proses belajar bahasa, ada sejumlah prinsip belajar yang dapat melicinkan jalan
menuju keberhasilan belajar bahasa. Berdasarkan pendekatan tertentu maka prinsip-prinsip
belajar dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu prinsip-prinsip belajar yang
bersifat psikologis dan prinsip-prinsip belajar yang bersifat linguistik
(materi dan metodik). Prinsipprinsip belajar yang bersifat psikologis, adalah:
1. Motivasi, lazim diartikan sebagai hal yang
mendorong seseorang untuk berbuat sesuatu. Maka untuk berhasilnya pengajaran
bahasa, murid-murid sudah seharusnya dibimbing agar mempunyai dorongan untuk
belajar. Tanpa adanya kemauan tidak mungkin tujuan belajar dapat dicapai. Jadi,
seorang anak yang belajar bahasa dengan adanya motivasi akan mengalami kemajuan
yang sangat pesat.
2. Pengalaman sendiri, atau apa yang dialami
sendiri akan lebih menarik dan berkesan dari pada mengetahui dari kata orang
lain.
3.
Keingintahuan, merupakan kodrat manusia yang dapat menyebabkan manusia itu
menjadi maju. Hubungan dengan belajar bahasa, keingintahuan seorang anak
terhadap bahasa lain akan menyebabkan dia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk
mempelajari bahasa tersebut.
4. Pemecahan masalah, seorang yang belajar,
misalnya belajar bahasa tidak dapat dipisahkan dengan berbagai macam masalah.
Jadi diperlukan kekritisan seseorang tersebut dalam menghadapi masalah itu
dalam mengembangkan pengetahuan, pengalaman, dan sikap.
5. Berpikir analitis-sintesis, dalam memecahkan
masalah akibat memiliki sifat dan sikap kritis maka perlu dikembangkan cara
berpikir analitis dan sintesis. Berpikir secara analitis adalah berusaha
mengenal sesuatu dengan cara mengenali ciri-ciri atau unsur-unsur yang ada pada
sesuatu itu. Umpamanya, kalau kita bertanya kepada seseorang "Apakah ikan
itu?", mungkin ada yang menjawab Ikan adalah binatang air", bisa juga
ada jawaban Ikan adalah binatang air yang bisa dimakan", mungkin juga ada
jawaban "Ikan adalah binatang laut yang berbentuk pipih dan berekor".
Yang lain lagi menjawab "Ikan adalah binatang yang bernapas dengan
insang". Lalu di dalam berpikir sintesis adalah proses berpikir untuk
menemukan hubungan ciri-ciri yang disebutkan dalam jawaban-jawaban di atas
disintesiskan maka akan terjadilah rumusan misalnya, "Ikan adalah binatang
air (terdapat di laut, danau, atau sungai) berbentuk pipih, bernapas dengan
insang dan bisa dimakan orang Jadi, untuk mengembangkan pengetahuan anak-anak
didik itu maka perlu dibimbing secara analitis, dan kemudian secara sintesis.
Dalam pengajaran bahasa mereka bukan hanya dilatih menguraikan atau
menganalisis kalimat, melainkan juga menata paragraf menjadi sebuah wacana.
6. Perbedaan individual, keberhasilan pengajaran
bahasa juga harus memperhatikan adanya perbedaan-perbedaan individual. Sudah
menjadi kodratnya bahwa anak didik yang kita hadapi tidak mempunyai kematangan
berpikir, kemampuan berbahasa dan tingkat intelegensi yang sama. Perbedaan
individual meskipun sedikit pasti terdapat antara seorang anak dengan anak yang
lain. Jadi, dapat diperkirakan kemampuan berbicara, mendengarkan, membaca, dan
menulis setiap anak didik tidaklah sama.
Sedangkan
prinsip-prinsip belajar yang bersifat linguistik, seperti yang telah dirumuskan
oleh Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004: 206), sebagai berikut:
a. Mudah menuju sukar, maksudnya pemberian
materi harus dimulai dari yang mudah kemudian diikuti dengan yang sukar atau
yang lebih sukar. Umpamanya, sebelum mengajarkan kalimat lugs maka terlebih
dahulu harus diajarkan kalimat yang sederhana atau dasar. Asas ini merupakan
prinsip yang harus diikuti pada semua jenjang pendidikan. Jadi, asas ini
mengajarkan bahwa pemberian mated harus diberikan secara bertahap menurut
tingkat kesukarannya.
b. Sederhana menuju kompleks, maksudnya bahan
pelajaran harus dimulai dari yang sederhana, baru kemudian diikuti dengan yang
kompleks. Menurut prinsip ini dalam mengajarkan bentuk-bentuk kata. Misalnya,
dimulai dari kata yang berbentuk dasar, disusul dengan kata yang berimbuhan
yang sederhana seperti bentuk berlaku dan ke tengah, baru kemudian disusul lagi
dengan bentuk kata yang kompleks, seperti memberlakukan dan mengetengahkan,
atau bentuk kata yang lebih kompleks dan ruwet lagi seperti pemertahanan dan
pemberlakuan.
c. Dekat menuju jauh, maksudnya pemberian materi
pelajaran harus dimulai dari yang ada di dekat anak didik, baru kemudian secara
berangsur-angsur menuju yang agak jauh atau yang jauh. Umpamanya, dalam
mengajarkan kosakata harus dimulai dari yang ada di dalam kelas, (kalau siswa
ada di kelas) baru kemudian yang ada di luar kelas, di halaman sekolah,
kemudian yang ada di luar halaman dan seterusnya. Jadi, kosakata meja, guru,
buku, dan pencil lebih dahulu diperkenalkan daripada kata batu, tiang, pagar,
dan tembok. Kemudian baru kosakata seperti jalan, simpangan, pasar, dan toko.
Lingkungan hidup yang mula-mula dikenal (yang paling dekat dengan siswa) adalah
lingkungan rumah dan keluarga, sesudah itu baru lingkungan tetangga dan
lingkungan yang paling jauh lagi. Jadi, kosakata kamar, dapur, ayah, ibu, dan
makan harus lebih dahulu diberikan daripada kosakata yang berada di luar rumah.
d. Pola menuju unsur, maksudnya materi bahan
yang diberikan mula-mula harus yang berupa satu kebulatan, sesudah itu baru
diberikan unsur-unsur dari kebulatan itu. Jadi, mula-mula misalnya diberikan
bentuk-bentuk kalimat utuh, baru kemudian bagian-bagian atau unsur yang
membentuk kalimat itu.
e. Penggunaan menuju pengetahuan, maksudnya
materi pelajaran bahasa yang mula-mula harus diberikan adalah penggunaan bentuk-bentuk
atau satuan-satuan bahasa itu. Asas penggunaan ini dapat diberikan dalam bentuk
latihan-latihan yang berulang-ulang dan terus-menerus sehingga siswa terampil
menggunakannya. Sesudah mereka dapat menggunakannya, baru dijelaskan
pengetahuan yang berkenaan dengan satuan-satuan bahasa itu, mengapa asas ini
perlu diikuti? Sebab, apa pun dan bagaimana pun rumusan tujuan pengajaran
bahasa yang ada dan pernah dibuat orang maka kemampuan menggunakan bahasa itu,
baik lisan maupun tulisan adalah yang paling utama yaitu sebagai alat interaksi
atau alat komunikasi.
f. Masalah bukan kebiasaan, hampir semua anak
Indonesia tidak berbahasa ibu bahasa Indonesia, Oleh karena itu, meskipun
bahasa-bahasa daerah di Indonesia masih serumpun dengan bahasa Indonesia,
tetapi perbedaan tentunya ada antara bahasa-bahasa daerah dengan bahasa
Indonesia. Perbedaan ini terjadi pada tataran fonologi, morfologi, sintaksis,
dan juga kosa kata. Perbedaan inilah yang pertama-tama harus diperhatikan agar
siswa dapat berbahasa Indonesia
dalam bentuk dan struktur yang benar. Kalau hasil evaluasi terhadap anak-anak
yang berbahasa ibu bahasa jawa belum dapat memisahkan bunyi sengau dan bunyi
konsonan yang homogran dengan bunyi sengau itu maka latihan harus banyak di
lakukan dalam hal itu. Jelasnya begini, banyak anak yang berbahasa pertama
bahasa jawa sukar mengucapkan seperti kata-kata [lom-pat] dan [ten-dang], mereka
selalu mengucapkan [lo-mpat] dan [te-ndang]. Ini merupakan masalah maka perlu
diberikan porsi yang lebih banyak.
Kenyataan
bukan buatan, kenyataan menunj ukkan bahwa bahasa itu (termasuk bahasa Indonesia)
mempunyai variasi, baik bersifat regional, sosial, maupun fungsional. Kenyataan
ini tidak dapat diabaikan dalam pengajaran bahasa. Memang yang diajarkan hanya
ragam bahasa baku,
yaitu ragam bahasa yang biasa, digunakan dalam situasi-situasi resmi. Kenyataan
adanya ragam bahasa tersebut perlu "diberi tahu" kepada anak, sebab
penggunaan bahasa itu sesuai dengan situasi dan keperluannya. Untuk berkomunikasi
dengan pedagang di pasar tidak perlu menggunakan bahasa baku, tetapi untuk
menulis karangan ilmiah harus menggunakan ragam baku.
C. Perbedaan Kemampuan Anak dalam Belajar Bahasa
Setiap
anak mempunyai perbedaan baik dari segi kematangan berpikir, kemampuan
berbahasa, maupun tingkat inteligensi. Oleh karena itu, kemampuan anak tidak
sama dalam berbicara, mendengarkan, membaca, atau pun menulis. Bisa jadi
seorang anak pandai berbicara, tetapi belum tentu ia mampu menuangkannya dalam
bentuk tulisan. Atau seorang anak pandai menuliskan ide, gagasan atau
pikirannya, tetapi belum tentu ia sanggup menyampaikannya dengan kata-kata.
Dari sekian banyak orator-orator ulung, ada di antaranya, yang mempunyai
seorang asisten (juru tulis) yang selalu mendampinginya, untuk membantu
menuliskan ide, gagasan, atau pikirannya.
Meskipun
setup anak memiliki kemampuan untuk belajar bahasa, tetapi kemampuan anak dalam
belajar bahasa berbeda-beda. Ada sejumlah faktor yang menyebabkan perbedaan
itu. Jika dilakukan analisis terhadap sejumlah faktor penyebab perbedaan
kemampuan anak dalam belajar bahasa itu maka secara umum ada dua faktor yang
menjadi penyebabnya, yaitu faktor internal dan faktor eksternal anak. Faktor
internal anak adalah umur anak, kondisi fisik anak, kesehatan anak, dan
inteligensi. Faktor eksternal anak adalah status sosial ekonomi keluarga,
hubungan keluarga, lingkungan masyarakat, dan bahasa pertama. Untuk memudahkan
pemahaman, semua faktor-faktor tersebut akan diuraikan satu demi satu di bawah
ini.
1. Umur Anak.
Semakin
bertambah umur anak semakin matang pertumbuhan fisiknya, bertambah pengalaman,
dan meningkat kebutuhannya. Kemampuan berbahasa anak akan berkembang sejalan
dengan pertambahan pengalaman dan kebutuhannya. Kematangan fisik dengan semakin
sempurnanya pertumbuhan organ bicara, kerja otot-otot untuk melakukan
gerakan-gerakan dan isyarat berpotensi bagi anak untuk berbicara.
Bertambahnya
kemampuan berbahasa anak sejalan dengan bertambahnya umur anak. Setiap stadium
dari perkembangan yang dilalui anak, terutama sejak anak mampu berbicara,
memberikan kekayaan bahasa yang bervariasi. Kekayaan bahasa itu akan selalu
bertambah sejalan dengan meluasnya interaksi sosial anak. Berbeda dengan
keadaan biologis bagi yang bare dilahirkan, pada masa remaja perkembangan
biologis yang menunjang kemampuan berbahasa telah mencapai tingkat kesempurnaan,
dengan dibarengi oleh perkembangan tingkat intelektual anak akan mampu
menunjukkan cara berkomunikasi dengan baik.
2. Kondisi Fisik
Kondisi
fisik dimaksudkan di sini adalah suatu keadaan, di mane fungsi-fungsi biologis
pendukung seperti telinga, meta, dan organ suara dalam keadaan baik. Baik
tidak-riya keadaan biologis anak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
perkembangan bahasa anak. Seorang yang tuli, bisu, atau ada di antara organ
suaranya yang tidak sempurna, akan mengalami gangguan yang serius dalam
perkembangan bahasanya. Kemungkinan besar potensi berbahasa anak menjadi
hilang. Karena selama gangguan itu bersifat permanen dan tidak mampu
disembuhkan, anak tidak dapat berkomunikasi dengan orang lain.
3. Kesehatan
Anak
yang sehat, gizinya cukup, kemampuan perkembangan bahasanya lebih baik daripada
anak pada usia awal kehidupannya mengalami gangguan dalam hal kesehatan.
Apabila pada usia due tahun pertama, anak mengalami sakit terus-menerus maka anak
tersebut cenderung akan mengalami kelambatan atau kesulitan dalam hal perkembangan
bahasanya. Selama sakit biasanya anak lebih banyak diam, sulit diajak bicara.
Apalagi bila sakit yang diderita anak itu cukup lama dan tidak dapat
disembuhkan.
4. Inteligensi
Seorang
anak dengan anak yang lain tentu saja mempunyai tingkat inteligensi yang berbeda.
Anak yang perkembangannya bahasanya cepat, pada umumnya memiliki inteligensi
normal atau di atas normal. Namun begitu, tidak semua anak yang mengalami
kelambatan perkembangan bahasanya pada usia awal dikategorikan sebagai anak
yang bodoh. Berdasarkan hasil studinya mengenai anak-anak yang mengalami
kelambatan metal, Hurlock menemukan bahwa sepertiga di antara anakanak yang
dapat berbicara secara normal, dan anak-anak yang berada pada tingkat
intelektual yang paling rendah, sangat miskin dalam penguasaan bahasa.
Soal
kecerdasan ini tidak diragukan pengaruhnya terhadap perkembangan potensi
berbahasa seseorang. Untuk meniru lingkungan tentang bunyi atau suara, gerakan,
dan mengenai tanda-tanda, memerlukan kemampuan motorik yang baik. Kemampuan
motorik seseorang berkorelasi positif dengan kemampuan intelektual atau tingkat
berpikirnya. Ketepatan meniru, memproduksi perbendaharaan kata-kata yang
diingat, kemampuan menyusun kalimat dengan baik, dan memahami atau menangkap
maksud suatu pertanyaan pihak lain, amat dipengaruhi oleh kerja pikir atau
kecerdasan seorang anak. Seseorang yang rendah kemampuan berpikirnya akan
mengalami kesulitan dalam menyusun kalimat yang baik, logis, dan sistematis.
5. Status Sosial Ekonomi Keluarga
Beberapa
studi tentang hubungan antara perkembangan bahasa dengan status sosial beberapa
keluarga, menunjukkan bahwa anak yang berasal dari keluarga miskin mengalami
kelambatan dalam perkembangan bahasanya dibandingkan dengan anak yang berasal
dari keluarga yang lebih baik. Kondisi ini terjadi mungkin disebabkan oleh
perbedaan kecerdasan atau kesempatan belajar (keluarga miskin diduga kurang
memperhatikan perkembangan bahasa anaknya) atau kedua-duanya.
Menurut
Sunarto dan Hartono (2002: 140) keluarga yang berstatus sosial ekonomi baik
akan mampu menyediakan situasi yang baik bagi perkembangan berbahasa anak.
Begitu juga perkembangan kemampuan berbahasa di lingkungan keluarga yang
terdidik. Dengan kata lain, pendidikan keluarga berpengaruh pula terhadap
potensi berbahasa seseorang.
6. Hubungan Keluarga
Hubungan
di sini dimaknai sebagai proses pengalaman berinteraksi dan berkomunikasi
dengan lingkungan keluarga, terutama dengan orang tua yang mengajar, melatih, dan
memberikan contoh berbahasa kepada anak. Menurut Yusuf (2001: 121) hubungan
yang sehat antara orang tua dengan anak (penuh perhatian dan kasih sayang dari
orang tuanya) memberikan pengaruh yang besar terhadap kemampuan berbahasa anak.
Sebaliknya, hubungan yang kurang baik antara orang tua dan anak menjadi
penghalang terwujudnya komunikasi yang baik. Sikap kasar orang tua, sering
memarahi anak, kurang memberikan kasih sayang, kurang perhatian untuk
memberikan latihan atau contoh berbahasa yang baik kepada anak, bisa menjadi
penyebab kurang berkembangnya kemampuan berbahasa anak. Banyak contoh dalam hal
ini, salah satunya adalah akibat orang tua sering memarahi anak maka anak
merasa takut untuk mengungkapkan pendapat, gagap berbicara dan lain-lain.
7. Kondisi Lingkungan
Perkembangan
potensi berbahasa anak dipengaruhi oleh faktor lingkungan karena kekayaan
lingkungan merupakan pendukung bagi perkembangan peristilahan yang sebagian
besar dicapai dengan meniru sesuai dengan apa yang anak dengar, lihat, dan yang
anak hayati dalam kehidupannya sehari-hari. Oleh karena itu, siapa pun sependapat
bahwa lingkungan sangat menentukan perkembangan potensi berbahasa anak. Meski
begitu, ada perbedaan peran lingkungan dalam mempengaruhi perkembangan
berbahasa anak. Perkembangan bahasa di lingkungan perkotaan akan berbeda dengan
lingkungan pedesaan. Begitu pula perkembangan bahasa di daerah pantai,
pegunungan, dan daerah-daerah terpencil dan di kelompok sosial yang lain.
Lingkungan yang kritis sangat berpengaruh terhadap kemampuan berbahasa anak
daripada lingkungan yang kaku. Oleh karena itu, perbedaan perkembangan bahasa
karena lingkungan yang berbeda menyebabkan perkembangan bahasa anak berbeda-beda.
8. Bahasa Pertama
Menurut
Chaer (2003: 256) pars pakar pembelajaran bahasa kedua pada umumnya percaya
bahwa bahasa pertama (bahasa ibu atau bahasa yang lebih dahulu diperoleh)
mempunyai pengaruh terhadap penguasaan bahasa kedua (Ellis, 1986:19). Jadi,
setiap anak mungkin saja berbeda berkemampuan berbahasanya, terutama belajar
bahasa kedua karena dipengaruhi oleh bahasa pertamanya.
D. Hubungan Kemampuan Berbahasa dengan Kemampuan
Berpikir dan Belajar
Bahasa,
menurut Purwanto (1989: 43) adalah alat terpenting dalam berpikir. Karena
memiliki bahasa dan mampu berbahasa, manusia dapat berpikir. Tanpa bahasa,
manusia tidak dapat berpikir. Karena eratnya hubungan antara bahasa dan
berpikir, Plato pernah mengatakan bahwa berbicara adalah berpikir keras
(terdengar) dan berpikir itu adalah berbicara. Jika begitu, maka dapat
dipastikan bahwa seseorang yang rendah kemampuan berpikirnya akan mengalami
kesulitan dalam menyusun kalimat yang baik, logis, dan sistematis.
Sampai
sekarang orang masih berkeyakinan bahwa berpikir adalah days yang paling utama dan
merupakan ciri yang khas membedakan manusia dengan hewan. Manusia dapat
berpikir karena mempunyai bahasa, sedangkan hewan tidak. Bahasa hewan bukanlah
bahasa seperti bahasa yang dimiliki manusia. Bahasa hewan adalah bahasa
"insting" yang tidak perlu dipelajari dan diajarkan. Bahasa manusia
adalah hasil kebudayaan yang harus dipelajari dan diajarkan.
Dalam
berbahasa seseorang pasti melakukan suatu proses yaitu proses sosialisasi,
dalam arti melakukan konteks dengan yang lain. Seseorang menyampaikan ide dan
gagasannya dengan berbahasa dan menangkap, ide dan gagasan orang lain melalui
bahasa. Menyampaikan dan mengambil makna ide dan gagasan itu merupakan proses
berpikir yang abstrak. Ketidaktepatan menangkap arti bahasa akan berakibat
ketidaktepatan dan kekaburan persepsi yang diperolehnya. Akibat lebih lanjut
adalah hasil proses berpikir menjadi tidak tepat benar. Ketidaktepatan hasil
pemrosesan pikir ini diakibatkan kekurangmampuan dalam berbahasa.
Pengaruh
kemampuan berbahasa terhadap kerja pikir memang tidak diragukan sehingga pada akhirnya
sampai pada suatu simpul. Jika ingin memiliki kemampuan berpikir dengan baik
maka kuasailah bahasa dengan baik. Dalam konteks realitas, ternyata setiap
orang memiliki kemampuan berbahasa yang bervariasi. Oleh karena itulah, wajar
saja kemampuan berpikir anak berbeda-beda. Pendapat yang hingga sekarang tidak
pernah terbantah adalah ada korelasi yang tinggi antara kemampuan berpikir dan
kemampuan berbahasa. Anak dengan IQ tinggi berpotensi memiliki kemampuan bahasa
yang tinggi. Hal ini disebabkan mereka dengan mudah menyerap dan menguasai
perbendaharaan kosakata yang dimiliki suatu bahasa. Bervariasinya Nilai IQ
menggambarkan adanya perbedaan individual anak. Dengan demikian, siapa pun
tidak akan dapat membantah bahwa terbatasnya kemampuan anak dalam penguasaan
bahasa berimplikasi terhadap kemampuan anak berpikir.
Persoalannya
sekarang adalah adakah hubungan antara kemampuan berpikir dan kemampuan belajar
anak? Jawabnya tentu saja ada. Hubungan antara berpikir dan kemampuan belajar
anak ini telah banyak dibicarakan pada pembahasan terdahulu, yaitu pada pembahasan
tentang Belajar Berpikir (halaman 34). Di situ telah dibahas tentang taraf
berpikir yang bermacam-macam yang dihubungkan dengan macam-macam bentuk
pelajaran. Simpul kata, bahwa ada hubungan yang signifikan antara taraf
berpikir dan kemampuan belajar. Semakin tinggi taraf belajar seseorang semakin
tinggi ked a pikir yang diperlukan. Lebih jelas, silakan dibaca kembali
pembahasan tersebut.
Bagaimana
dengan kemampuan berbahasa, adakah pengaruhnya terhadap kemampuan belajar anak?
Kemampuan anak dalam berbahasa mempengaruhi kemampuan anak dalam belajar. Dalam
realitas sosial wring ditemukan anak yang mengalami kesulitan belajar karena
miskinnya penguasaan perbendaharaan kosakata. Kurangnya penguasaan kosakata
menjadi penyebab sukarnya anak memahami kata-kata dan kalimat yang terdapat
dalam berbagai buku bacaan, koran, majalah dan sebagainya. Tidak sedikit anak
yang mengeluh hanya karena sukarnya mengerti apa yang diucapkan oleh guru dalam
kegiatan pembelajaran di sekolah. Perbedaan bahasa karena perbedaan suku bisa
menjadi sebab sukarnya anak membangun komunikasi yang baik dengan orang lain.
Oleh karena itu, kemampuan berbahasa mempengaruhi kemampuan anak dalam
belajar. (Sumber: Buku Psikologi Pembelajaran)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar