Rukun
Islam ada lima perkara. Membaca syahadat, mengerjakan shalat, membayar zakat,
berpuasa dan menunaikan ibadah haji bagi yang mampu. Bila diperhatikan dengan
seksama kelima rukun Islam tersebut bersifat positif (syatrul iktisab), kecuali
puasa. Karena sesungguhnya perintah puasa adalah bersifat negatif (syatrul
ijtinab), yaitu perintah untuk meninggalkan sesuatu (makan, minum, menahan
nafsu dan lain-lain). Artinya, apabila syahadat harus diucapkan, shalat harus
dikerjakan, zakat harus ditunaikan, haji harus dilaksanakan, maka puasa
harus menahan segala hal yang membatalkannya. Inilah satu keistimewaan ibadah
puasa dibandingkan dengan ibadah lainnya.
Sesungguhnya
ibadah dalam konteks pencegahan jauh lebih berat dibandingkan dengan ibadah
yang bersifat melaksanakan. Menjadi pedagang adalah hal yang gampang, tetapi
berdagang tanpa unsur tipu dan bohong bukan pekerjaan yang gampang. Menjadi
pejabat adalah hal yang sulit, tetapi lebih sulit lagi menjadi pejabat yang
tidak korup. Berkumpul di majlis ta’lim untuk mengaji bukanlah hal yang berat,
tetapi berkumpul tanpa menggunjing adalah sesuatu yang berat.
Ingatkah
bagaimana bahagianya kita ketika melihat anak kita berhasil berjalan sendiri,
setelah beberapa bulan belajar hanya bisa merangkak. Namun, setelah ia lancar
berjalan, alangkah susahnya memperingatkan ia agar tidak lari-larian di rumah
dan di jalanan. Semua itu menunjukkan betapa sulitnya menghindar dari larangan
dibandingkan dengan melaksanakan perintah. Oleh karena itu, Puasa sebagai
bentuk ibadah yang mengandung syatrul ijtinab memiliki kemuliaan dan
keistimewaan dibandingkan dengan ibadah lain. Karena ibadah puasa didominasi
dengan berbagai larangan. Larangan makan, minum, nafsu dan lain sebagainya.
Malah dengan bahasa Imam al-Ghazali puasa dapat digolongkan sebagai ibadah
tingkat tinggi. Hal ini wajar, karena sesungguhnya puasa melatih seorang hamba
mengendalikan musuh bebuyutan yaitu nafsu.
Jika
puasa hanya menahan makan, minum dan tidak bersetubuh dengan pasangan, maka itu
seperti puasanya burung dara. Burung dara yang kita masukkan ke dalam sangkar
sendirian tanpa makan dan minum dari fajar sampai menjelang malam, maka burung
dara itupun telah berpuasa. Apakah kita ingin kualitas puasa kita seperti
burung dara, tentu tidak!. Latihan mengendalikan nafsu adalah latihan
membersihkan hati dari berbagai penyakit. Mulai dari iri, dengki, hasud,
thoma’, ujub, riya’ dan sum’ah. Semua itu adanya dalam hati, dan kita sebagai
seorang hamba harus mebiasakan diri mengendalikan mereka. Dengan bantuan perut
lapar, haus, badan lemas dan mata terkekang. Sungguh berat latihan ini akan
tetapi jika berhasil, Allah telah menjanjikan hadiah besar yang belum pernah
terbayangkan.
Dalam
riwayat Imam Muslim disebutkan: "Setiap amal perbuatan anak Adam - yakni
manusia itu, yang berupa kebaikan akan dilipatgandakan pahalanya dengan sepuluh
kalinya sehingga tujuhratus kali lipatnya. "Allah Ta'ala berfirman:
"Melainkan puasa, karena sesungguhnya puasa itu adalah untukKu dan Aku
akan memberikan balasannya. Orang yang berpuasa itu meninggalkan
kesyahwatannya, juga makanannya semata-mata karena ketaatannya pada perintahKu.
Seseorang yang berpuasa itu mempunyai dua macam kegembiraan, sekali kegembiraan
di waktu berbukanya dan sekali lagi kegembiraan di waktu menemui Tuhannya.
Niscayalah bau bacin mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah
daripada bau minyak kasturi".
Dengan
kata lain, Allah ingin menegaskan bahwa pahala puasa adalah urusan-Ku, jadi
tidak perlu mengkhawatirkannya. Pahala puasa tidak dapat dibayangkan besarnya,
jika shalat jama’ah dilipatkan 27 kali, jika amal lain dilipatkan sekian ratus
kali, khusus untuk puasa Allah hanya akan memberikan sesuatu yang lain, yang
jauh lebih besar dari hitung-hitungan semcam itu. Jika demikian puasa kita,
maka benar apa yang dinyatakan al-Qur’an dalam surat al-Baqarah 183 bahwa
tujuan puasa untuk menjadikan seorang hamba yang bertaqwa (la’allakum
tattaqun).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمْ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ
قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
"Hai
sekalian orang yang beriman! Diwajibkanlah puasa atas engkau semua sebagaimana
yang diwajibkan atas orang-orang yang sebelum engkau semua itu, supaya engkau
menjadi orang yang bertaqwa”.
Barang
siapa yang ingin bertaqwa kepada Allah SWT, maka ia harus merasa takut akan
neraka yang disediakan oleh-Nya untuk para pendosa. Dan barang siapa yang takut
kepada ancaman siksa-Nya, secara otomatis ia akan menjauhi hal-hal yang dapat
menariknya ke neraka. Karena setiap mereka yang takut pasti akan lari menjauh,
dan siapa yang cinta pasti akan datang mendekat. Sebagai mana seorang yang
takut akan ular, pasti akan menghindari ular. Siapa yang takut dengan singa
pasti menjauh dari singa. Dan begitulah sebaliknya barang siapa yang mencintai
keluarganya, ia pasti ingin selalu dekat dengan keluarganya. Barang siapa
mencintai kekasihnya, tak mau ia jauh sedikitpun darinya. Demikian yang
dikatakan Dzunnun al-Misry
كل خائف هارب وكل راغب طالب
Siapa
yang takut pastilah akan menghindar (menjauh), dan siapa yang cinta pasti akan
mencari (mendekat). Untuk itu, makna bulan Ramadhan adalah melatih diri
mengendalikan nafsu. Semoga Allah mempermudah latihan kita ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar