Senin, 08 Juli 2013

Dua Sisi Ibadah dan Keistimewaan Puasa



Rukun Islam ada lima perkara. Membaca syahadat, mengerjakan shalat, membayar zakat, berpuasa dan menunaikan ibadah haji bagi yang mampu. Bila diperhatikan dengan seksama kelima rukun Islam tersebut bersifat positif (syatrul iktisab), kecuali puasa. Karena sesungguhnya perintah puasa adalah bersifat negatif (syatrul ijtinab), yaitu perintah untuk meninggalkan sesuatu (makan, minum, menahan nafsu dan lain-lain). Artinya, apabila syahadat harus diucapkan, shalat harus dikerjakan, zakat harus ditunaikan, haji harus dilaksanakan, maka  puasa harus menahan segala hal yang membatalkannya. Inilah satu keistimewaan ibadah puasa dibandingkan dengan ibadah lainnya.

Sesungguhnya ibadah dalam konteks pencegahan jauh lebih berat dibandingkan dengan ibadah yang bersifat melaksanakan. Menjadi pedagang adalah hal yang gampang, tetapi berdagang tanpa unsur tipu dan bohong bukan pekerjaan yang gampang. Menjadi pejabat adalah hal yang sulit, tetapi lebih sulit lagi menjadi pejabat yang tidak korup. Berkumpul di majlis ta’lim untuk mengaji bukanlah hal yang berat, tetapi berkumpul tanpa menggunjing adalah sesuatu yang berat.

Ingatkah bagaimana bahagianya kita ketika melihat anak kita berhasil berjalan sendiri, setelah beberapa bulan belajar hanya bisa merangkak. Namun, setelah ia lancar berjalan, alangkah susahnya memperingatkan ia agar tidak lari-larian di rumah dan di jalanan. Semua itu menunjukkan betapa sulitnya menghindar dari larangan dibandingkan dengan melaksanakan perintah. Oleh karena itu, Puasa sebagai bentuk ibadah yang mengandung syatrul ijtinab memiliki kemuliaan dan keistimewaan dibandingkan dengan ibadah lain. Karena ibadah puasa didominasi dengan berbagai larangan. Larangan makan, minum, nafsu dan lain sebagainya. Malah dengan bahasa Imam al-Ghazali puasa dapat digolongkan sebagai ibadah tingkat tinggi. Hal ini wajar, karena sesungguhnya puasa melatih seorang hamba mengendalikan musuh bebuyutan yaitu nafsu.

Jika puasa hanya menahan makan, minum dan tidak bersetubuh dengan pasangan, maka itu seperti puasanya burung dara. Burung dara yang kita masukkan ke dalam sangkar sendirian tanpa makan dan minum dari fajar sampai menjelang malam, maka burung dara itupun telah berpuasa. Apakah kita ingin kualitas puasa kita seperti burung dara, tentu tidak!. Latihan mengendalikan nafsu adalah latihan membersihkan hati dari berbagai penyakit. Mulai dari iri, dengki, hasud, thoma’, ujub, riya’ dan sum’ah. Semua itu adanya dalam hati, dan kita sebagai seorang hamba harus mebiasakan diri mengendalikan mereka. Dengan bantuan perut lapar, haus, badan lemas dan mata terkekang. Sungguh berat latihan ini akan tetapi jika berhasil, Allah telah menjanjikan hadiah besar yang belum pernah terbayangkan.

Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan: "Setiap amal perbuatan anak Adam - yakni manusia itu, yang berupa kebaikan akan dilipatgandakan pahalanya dengan sepuluh kalinya sehingga tujuhratus kali lipatnya. "Allah Ta'ala berfirman: "Melainkan puasa, karena sesungguhnya puasa itu adalah untukKu dan Aku akan memberikan balasannya. Orang yang berpuasa itu meninggalkan kesyahwatannya, juga makanannya semata-mata karena ketaatannya pada perintahKu. Seseorang yang berpuasa itu mempunyai dua macam kegembiraan, sekali kegembiraan di waktu berbukanya dan sekali lagi kegembiraan di waktu menemui Tuhannya. Niscayalah bau bacin mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi".

Dengan kata lain, Allah ingin menegaskan bahwa pahala puasa adalah urusan-Ku, jadi tidak perlu mengkhawatirkannya. Pahala puasa tidak dapat dibayangkan besarnya, jika shalat jama’ah dilipatkan 27 kali, jika amal lain dilipatkan sekian ratus kali, khusus untuk puasa Allah hanya akan memberikan sesuatu yang lain, yang jauh lebih besar dari hitung-hitungan semcam itu. Jika demikian puasa kita, maka benar apa yang dinyatakan al-Qur’an dalam surat al-Baqarah 183 bahwa tujuan puasa untuk menjadikan seorang hamba yang bertaqwa (la’allakum tattaqun).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمْ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
"Hai sekalian orang yang beriman! Diwajibkanlah puasa atas engkau semua sebagaimana yang diwajibkan atas orang-orang yang sebelum engkau semua itu, supaya engkau menjadi orang yang bertaqwa”.

Barang siapa yang ingin bertaqwa kepada Allah SWT, maka ia harus merasa takut akan neraka yang disediakan oleh-Nya untuk para pendosa. Dan barang siapa yang takut kepada ancaman siksa-Nya, secara otomatis ia akan menjauhi hal-hal yang dapat menariknya ke neraka. Karena setiap mereka yang takut pasti akan lari menjauh, dan siapa yang cinta pasti akan datang mendekat. Sebagai mana seorang yang takut akan ular, pasti akan menghindari ular. Siapa yang takut dengan singa pasti menjauh dari singa. Dan begitulah sebaliknya barang siapa yang mencintai keluarganya, ia pasti ingin selalu dekat dengan keluarganya. Barang siapa mencintai kekasihnya, tak mau ia jauh sedikitpun darinya. Demikian yang dikatakan Dzunnun al-Misry
كل خائف هارب وكل راغب طالب
Siapa yang takut pastilah akan menghindar (menjauh), dan siapa yang cinta pasti akan mencari (mendekat). Untuk itu, makna bulan Ramadhan adalah melatih diri mengendalikan nafsu. Semoga Allah mempermudah latihan kita ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar