Oleh: H. Moh. Ansori Ali, Lc., MHI
Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah dalam bahasa Arab terdiri dari
tiga kata, pertama kata ahlu, yang
berarti pemeluk. Jika di kaitkan dengan aliran maka mempunyai arti pengikut
aliran. Kedua kata sunnah, dengan
nama lainnya adalah hadits yang
artinya jalan. Bila kedua kata diatas digabungkan akan mempunyai arti pengikut
jalan Nabi, Shahabat, dan Tabi’in. Ketiga adalah kata jama’ah, yang mempunyai arti sekumpulan orang yang mempunyai satu
maksud. Jadi secara kebahasaan kata ahlus
sunnah wal jama’ah artinya adalah sekumpulan orang yang mengikuti jalan
Nabi, Shahabat, dan Tabi’in.
Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah (Aswaja) lahir dari pergulatan
intens antara doktrin dengan sejarah. Di wilayah doktrin, debat meliputi soal
kalam mengenai status Al-Qur’an apakah ia makhluk atau bukan, kemudian debat
antara sifat-sifat Allah antara ulama Salafiyyun dengan
golongan Mu’tazilah, dan seterusnya.
Di wilayah sejarah, proses pembentukan Aswaja terentang
hingga zaman al-Khulafa’ ar-Rasyidun, yakni dimulai sejak terjadi
Perang Shiffin yang melibatkan Khalifah Ali bin Abi Thalib RA dengan Muawiyah.
Bersama kekalahan Khalifah ke-empat tersebut, setelah dikelabui melalui taktik
arbitrase (tahkim) oleh kubu Muawiyah, ummat Islam makin
terpecah ke dalam berbagai golongan. Di antara mereka terdapat Syi’ah yang
secara umum dinisbatkan kepada pengikut Khalifah Ali bin Abi Thalib,
golongan Khawarij yakni pendukung Ali yang membelot karena
tidak setuju dengan tahkim, dan ada pula kelompok Jabariyah yang
melegitimasi kepemimpinan Muawiyah.
Selain tiga golongan tersebut di atas masih
ada golongan Murjiah dan Qadariah,
yang mempunyai faham bahwa segala sesuatu yang terjadi karena perbuatan manusia
dan Allah tidak turut campur (af’al al-ibad min al-ibad) .
Faham dari golongan ini berlawanan dengan golongan Jabariyah yang berpendapat bahwa segala
sesuatu yang terjadi pada manusia itu adalah dari Allah, manusia tidak
mempunyai kekuatan atau kekuasaan sama sekali.
Di antara golongan di atas, terdapat
sebuah komunitas yang dipelopori oleh Imam Abu Sa’id Hasan Ibn Hasan Yasar
al-Bashri (21-110 H/639-728 M) yang kemudian lebih dikenal dengan nama Imam
Hasan al-Bashri, yang cenderung mengembangkan aktivitas keagamaan yang bersifat
kultural (tsaqafiyah), ilmiah dan berusaha mencari jalan kebenaran
secara jernih. Komunitas ini menghindari pertikaian politik antara berbagai
faksi politik (firqah) yang berkembang ketika itu. Sebaliknya
mereka mengembangkan sistem keberagamaan dan pemikiran yang sejuk, moderat dan
tidak ekstrim. Dengan sistem keberagamaan semacam itu, mereka tidak mudah untuk
mengkafirkan golongan atau kelompok lain yang terlibat dalam pertikaian politik
ketika itu.
Seiring waktu, sikap dan pandangan
tersebut diteruskan dari generasi ke generasi Ulama setelah beliau, di
antaranya Imam Abu Hanifah al-Nu’man (w. 150 H), Imam Malik Ibn Anas (w. 179
H), Imam Syafi’i (w. 204 H), Ibn Kullab (w. 204 H), Ahmad Ibn Hanbal (w. 241
H), hingga tiba pada generasi Abu Hasan al-Asy’ari (w 324 H) dan Abu Mansur
al-Maturidi (w. 333 H). Kepada dua ulama terakhir inilah permulaan faham Aswaja
sering dinisbatkan, meskipun bila ditelusuri secara teliti benih-benihnya telah
tumbuh sejak dua abad sebelumnya.
Nahdlatul ‘Ulama merupakan ormas Islam
pertama di Indonesia yang menegaskan diri berfaham Aswaja. Dalam Qanun
Asasi (konstitusi dasar) yang
dirumuskan oleh Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari juga tidak
disebutkan definisi Aswaja. Namun tertulis di dalam Qanun tersebut
bahwa Aswaja merupakan sebuah faham keagamaan di mana dalam bidang akidah
menganut pendapat Abu Hasan Al-Asy’ari dan Al-Maturidi, dalam bidang fiqh
menganut pendapat dari salah satu madzhab empat (madzahibul arba’ah – Imam
Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali), dan dalam bidang
tasawuf/akhlak menganut Imam Junaid al-Baghdadi dan Abu Hamid Al-Ghazali.
Aswaja sebagai madzhab artinya seluruh
penganut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah menggunakan produk hukum atau pandangan para
Ulama dimaksud. Pengertian ini dipandang sudah tidak lagi relevan lagi dengan
perkembangan zaman mengingat perkembangan situasi yang berjalan dengan sangat
cepat dan membutuhkan inovasi baru untuk menghadapinya. Selain itu, pertanyaan
epistimologis terhadap pengertian itu adalah, bagaimana mungkin terdapat
madzhab di dalam madzhab?
Dua gugatan tersebut dan banyak lagi
yang lain, baik dari tinjauan sejarah, doktrin maupun metodologi yang
menghasilkan kesimpulan bahwa Aswaja tidak lagi dapat diikuti sebagai madzhab.
Lebih dari itu, Aswaja harus diperlakukan sebagai manhaj al-fikr atau
metode berpikir.
ASWAJA SEBAGAI MANHAJ AL-FIKR
Ahlus
Sunnah Wal Jama’ah adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir
keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan dengan berlandaskan atas dasar
moderasi, menjaga keseimbangan dan toleran. Aswaja bukan sebuah madzhab,
melainkan sebuah metode dan prinsip berpikir dalam menghadapi
persoalan-persoalan agama sekaligus urusan sosial-kemasyarakatan; inilah makna
Aswaja sebagai manhaj al-fikr.
Sebagai manhajal-fikr,
aswaja berpegang pada prinsip tawasuth (moderat), tawazun
(netral), ta’adul (keseimbangan), dan tasamuh (toleran).
Moderat tercermin dalam pengambilan hukum (istinbath) yaitu
memperhatikan posisi akal di samping memperhatikan nash. Aswaja
memberi titik porsi yang seimbang antara rujukan nash (Al-Qur’an
dan al-Hadist) dengan penggunaan akal. Prinsip ini merujuk pada debat awal-awal
Masehi antara golongan yang sangat menekankan akal (mu’tazilah) dan golongan fatalis.
Sikap netral (tawazun) berkaitan
sikap dalam politik. Aswaja memandang kehidupan sosial-politik atau pemerintahan
dari kriteria dan pra-syarat yang dapat dipenuhi oleh sebuah rezim. Oleh sebab
itu, dalam sikap tawazun, pandangan Aswaja tidak terkotak dalam
kubu mendukung atau menolak sebuah rezim. Aswaja, oleh karena itu tidak
membenarkan kelompok ekstrim yang hendak merongrong kewibawaan sebuah
pemerintahan yang disepakati bersama, namun tidak juga berarti mendukung sebuah
pemerintahan. Apa yang dikandung dalam sikap tawazun tersebut
adalah memperhatikan bagaimana sebuah kehidupan sosial-politik berjalan, apakah
memenuhi kaidah atau tidak.
Keseimbangan (ta’adul) dan toleran (tasamuh) terefleksikan
dalam kehidupan sosial, cara bergaul dalam kondisi sosial budaya mereka.
Keseimbangan dan toleransi mengacu pada cara bergaul kita sebagai Muslim dengan
golongan Muslim atau pemeluk agama yang lain. Realitas masyarakat Indonesia
yang plural, dalam budaya, etnis, ideologi politik dan agama dipandang
bukan semata-mata realitas sosiologis, melainkan juga realitas teologis.
Artinya bahwa Allah SWT memang dengan sengaja menciptakan manusia berbeda-beda
dalam berbagai sisinya. Oleh sebab itu, tidak ada pilihan sikap yang lebih
tepat kecuali ta’adul dan tasamuh.
PRINSIP ASWAJA SEBAGAI MANHAJ
Berikut ini adalah prinsip-prinsip
Aswaja dalam kehidupan sehari-hari. Prinsip-prinsip tersebut meliputi Aqidah,
pengambilan hukum, tasawuf/akhlak dan bidang sosial-politik.
AQIDAH
Dalam bidang Aqidah, pilar-pilar yang
menjadi penyangga aqidah Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah diantaranya
yang pertama adalah aqidah Uluhiyyah (Ketuhanan), berkait
dengan ikhwal eksistensi Allah SWT. Apakah Asma Allah tergolong dzat atau
bukan. Abu Hasan Al-Asy’ari (w. 324 H) secara filosofis berpendapat bahwa nama
(ism) bukanlan yang dinamai (musamma). Sifat bukanlah yang
disifati (mausuf), sifat bukanlah dzat.
Sifat-sifat Allah adalah nama-nama (Asma’) Nya. Tetapi nama-nama itu
bukanlah Allah dan bukan pula selain-Nya.
Pilar yang kedua
adalah Nubuwwat, yaitu dengan meyakini bahwa Allah telah menurunkan
wahyu kepada para Nabi dan Rosul sebagai utusannya. Sebuah wahyu yang dijadikan
sebagai petunjuk dan juga acuan ummat manusia dalam menjalani kehidupan menuju
jalan kebahagiaan dunia dan akhirat, serta jalan yang diridhai oleh Allah SWT.
Dalam doktrin Nubuwwat ini, umat manusia harus meyakini dengan
sepenuhnya bahwa Muhammad SAW adalah utusan Allah SWT, yang membawa risalah (wahyu) untuk umat
manusia. Dia adalah Rasul terakhir yang harus diikuti oleh setiap manusia.
Pilar yang ketiga adalah Al-Ma’ad,
sebuah keyakinan bahwa nantinya manusia akan dibangkitkan dari kubur pada hari
kiamat, dan setiap manusia akan mendapat imbalan sesuai amal serta perbuatannya
(yaumul jaza’). Mereka semua akan dihitung (hisab) amalnya selama
hidup di dunia, bagi yang banyak beramal sholeh akan masuk surga dan mereka
yang banyak beramal buruk akan masuk neraka.
BIDANG SOSIAL POLITIK
Berbeda dengan golongan Syi’ah yang
memiliki sebuah konsep negara dan mewajibkan berdirinya negara (imamah),
Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah dan golongan
sunni umumnya memandang negara sebagai kewajiban fakultatif (fardhu kifayah). Pandangan Syi’ah tersebut
juga berbeda dengan golongan Khawarij yang membolehkan komunitas
berdiri tanpa imamah apabila dia telah mampu mengatur dirinya
sendiri. Bagi Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, negara merupakan alat untuk
mengayomi kehidupan manusia untuk menciptakan dan menjaga kemashlahatan bersama (mashlahah
musytarakah).
Ahlussunnah wal-Jama’ah tidak memiliki konsep bentuk negara yang baku. Sebuah
negara boleh berdiri atas dasar teokrasi, aristokrasi (kerajaan) atau negara
modern/demokrasi, asalkan mampu memenuhi syarat-syarat atau kriteria yang harus
dipenuhi oleh sebuah negara. Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi
maka gugurlah otoritas (wewenang) pemimpin negara tersebut. Syarat-syarat itu
adalah:
- Prinsip Syura
(musyawarah)
Negara harus mengedepankan musyawarah
dalam mengambil segala keputusan dan setiap keputusan, kebijakan dan peraturan.
Salah satu ayat yang menegaskan musyawarah adalah sebagai berikut:
“Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu itu adalah
kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih
kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka
bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan
perbuatan- perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf. Dan
(bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan
shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan
mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Dan (
bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim mereka membela
diri. (QS Al-Syura, 42: 36-39)
-
Prinsip Al-‘Adl (Keadilan)
Keadilan adalah salah satu perintah yang paling banyak
ditemukan dalam Al-Qur’an. Prinsip ini tidak boleh dilanggar oleh sebuah
pemerintahan, apapun bentuk pemerintahan itu. Berikut ini adalah salah satu
ayat yang memerintahkan keadilan.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
mendengar lagi Maha melihat.” (QS An-Nisa, 4: 58)
- Prinsip
Al-Hurriyyah (kebebasan)
Negara wajib menciptakan dan menjaga
kebebasan bagi warganya. Kebebasan tersebut wajib hukumnya karena merupakan
kodrat asasi setiap manusia. Prinsip kebebasan manusia dalam Syari’ah dikenal
dengan Al-Ushulul-Khams (prinsip yang lima), yaitu:
·
Hifzhu al-Nafs (menjaga jiwa); adalah kewajiban setiap kepemimpinan
(negara) untuk menjamin kehidupan setiap warga negara; bahwa setiap warga negara
berhak dan bebas untuk hidup dan berkembang dalam wilayahnya.
·
Hifzhu al-Din (menjaga agama); adalah kewajiban setiap kepemimpinan
untuk menjamin kebebasan setiap orang memeluk, meyakini dan menjalankan Agama
dan Kepercayaannya. Negara tidak berhak memaksakan atau melarang sebuah agama
atau kepercayaan kepada warga negara.
·
Hifzhu al-Mal (menjaga harta benda); adalah kewajiban setiap
kepemimpinan untuk menjamin keamanan harta benda yang dimiliki oleh warga
negaranya. Negara wajib memberikan jaminan keamanan dan menjamin rakyatnya
hidup sesuai dengan martabat rakyat sebagai manusia.
·
Hifzhu al-Nasl; bahwa negara wajib memberikan jaminan terhadap asal-usul,
identitas, garis keturunan setiap warga negara. Negara harus menjaga kekayaan
budaya (etnis), tidak boleh mangunggulkan dan memprioritaskan sebuah etnis
tertentu. Hifzhu al-Nasl berarti negara harus memperlakukan setiap
etnis dengan sama yang hidup di wilayah negaranya.
·
Hifzh al-‘Irdh; jaminan terhadap harga diri,
kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga negara. Negara
tidak boleh merendahkan warga negaranya karena profesi dan pekerjaannya. Negara
justru harus menjunjung tinggi dan memberikan tempat yang layak bagi setiap
warga negara.
Al-Ushulul Khams identik dengan konsep Hak Azazi Manusia yang lebih
dikenal dalam dunia modern. Lima pokok atau prinsip di atas menjadi ukuran baku
bagi legitimasi sebuah kepemerintahan sekaligus menjadi acuan bagi setiap orang
yang menjadi pemimpin di kelak kemudian hari.
- Prinsip
Al-Musawah (Kesetaraan Derajat)
Bahwa manusia diciptakan sama oleh
Allah SWT. Antara satu manusia dengan mausia lain, bangsa dengan bangsa yang
lain tidak ada pembeda yang menjadikan satu manusia atau bangsa lebih tinggi
dari yang lain. Manusia diciptakan berbeda-beda adalah untuk mengenal antara
satu dengan yang lain. Sehingga tidak dibenarkan satu manusia dan sebuah bangsa
menindas manusia dan bangsa yang lain. Dalam surat Al-Hujuraat disebutkan:“Hai
manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Al-Hujuraat, 49: 13)
Perbedaan bukanlah semata-mata fakta
sosiologis, yakni fakta yang timbul akibat dari relasi dan proses sosial.
Perbedaan merupakan keniscayaan teologis yang dikehendaki oleh Allah SWT.
Demikian disebutkan dalam surat Al-Ma’idah: “Untuk tiap-tiap umat di antara
kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki,
niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu
terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.
Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu
apa yang telah kamu perselisihkan itu”. (Al-Maidah; 5: 48)
Dalam sebuah negara kedudukan warga
negara adalah sama. Orang-orang yang menjabat di tubuh pemerintahan memiliki
kewajiban yang sama sebagai warga negara. Mereka memiliki jabatan semata-mata
adalah untuk mengayomi, melayani dan menjamin kemashlahatan bersama, dan tidak
ada keistimewaan khususnya di mata hukum. Negara justru harus mampu
mewujudkan kesetaraan derajat antar manusia di dalam wilayahnya, yang biasanya
terlanggar oleh perbedaan status sosial, kelas ekonomi dan jabatan politik.
Dengan prinsip-prinsip di atas, maka
tidak ada doktrin Negara Islam, Formalisasi Syari’at Islam dan Khilafah Islamiyah bagi Ahlussunnah wal-Jama’ah. Sebagaimana pun
tidak didapati perintah dalam Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas untuk
mendirikan salah satu di antara ketiganya. Islam hanya diharuskan untuk
menjamin agar sebuah pemerintahan – baik negara maupun kerajaan – harus mampu
memenuhi 4 (empat) kriteria di atas.
Sebagai manhaj, Ahlus Sunnah Wal Jama’ah akan menjadi
lebih fleksibel dan memungkinkan bagi pengamalnya untuk menciptakan ruang
kreatifitas dan menelorkan ikhtiar-ikhtiar baru untuk menjawab perkembangan
zaman.
SUMBER: Majalah NUANSA
LTN NU PATI Edisi Januari 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar