Oleh:
Muhammadun AS (Pimred Majalah Bangkit
Yogyakarta)
Salah satu persoalan penting dalam
pertarungan politik yang harus dijawab oleh masyarakat agama adalah money
politics. Money politics atau
politik uang adalah semua tindakan yang disengaja memberi atau menjanjikan uang
atau materi lainya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau
memilih peserta pemilu tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara
tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah atau dengan sengaja menerima
atau memberi dana kampanye dari atau kepada pihak-pihak yang dilarang menurut
ketentuan undang-undang nomor 12 tahun 2003 tentang pemilu atau dengan sengaja
memberikan keterangan tidak benar dalam laporan dana kampanye pemilu.
Menurut KH. Said Aqil Siraj (2012), money politics yang dalam prakteknya bisa
berbentuk sedekah dan zakat yang belakangan ini marak terjadi di tengah
masyarakat, maupun pemberian uang secara langsung dan tak langsung, komitmen
pada sebuah janji, ataupun cara-cara lain yang bertujuan mempengaruhi pilihan
dalam sebuah pesta demokrasi, baik pemilihan presiden, kepala daerah,
legislatif sampai tingkat kepala desa.
Kiai Said melihat bahwa risywah dalam politik sama halnya dengan
melakukan korupsi yang merupakan perbuatan keji dan diharamkan oleh agama.
Korupsi masuk dalam kategori perbuatan fasad, perbuatan yang merusak tatanan
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hukuman untuk pelakunya adalah dipotong
kedua tangan dan kakinya, atau dimusnahkan dari muka bumi.
Dalam Munas Alim Ulama’ dan Konbes NU
2012 ditegaskan bahwa money politics
itu haram, sehingga masyarakat harus menjauhinya. Bagi NU, money politics bukan
saja merusak tatanan pemilu, melainkan juga menimbulkan banyak sekali
permusuhan dan perpecahan antar sesama.
Dalil yang Melarang Money
Politics
Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah
kalian memakan harta-harta diantara kalian dengan cara yang bathil” [QS.
Al-Baqarah: 188]. Imam al Qurthubi mengatakan, ”Makna ayat ini adalah janganlah
sebagian kalian memakan harta sebagian yang lainnya dengan cara yang tidak
benar.” Dia menambahkan bahwa barangsiapa yang mengambil harta orang lain bukan
dengan cara yang dibenarkan syariat maka sesungguhnya ia telah memakannya
dengan cara yang batil. Diantara bentuk memakan dengan cara yang batil adalah
putusan seorang hakim yang memenangkan kamu sementara kamu tahu bahwa kamu
sebenarnya salah. Sesuatu yang haram tidaklah berubah menjadi halal dengan
putusan hakim.” (al Jami’ Li Ahkamil Qur’an juz II hal 711).
Diakui atau tidak, praktik suap-menyuap
merupakan cara-cara bathil memakan harta sesama manusia.Dalam hadits juga
dijelaskan yang sama. Dari Abdullah bin Umar, ia berkata: “Rasulullah SAW melaknat orang yang menyuap
dan yang menerima suap.” [HR. Abu Daud no. hadits 3580].
Akan tetapi, setelah jelasnya hukum akan
perkara ini, masih saja ada orang-orang yang coba memalingkan dan mengkaburkan
hukum keharaman suap-menyuap ini dengan berdalih bahwa yang diberikannya itu
adalah hadiah atas bantuannya, atau uang lelah, dan ungkapan lainnya.
Dengan alasan-alasan seperti itu juga
telah terbantahkan oleh hadits yang banyak yang telah diriwayatkan dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, diantaranya: “Siapa saja yang menolong
saudaranya kemudian dia dihadiahkan sesuatu maka ia telah masuk ke dalam pintu
besar dari Riba.” [HR. Ahmad dalam Musnadnya]
Tidak cukup dengan hadits tersebut,
bahkan penyusun kitab Shahih Bukhari, Abu Ismail al-Bukhari membuat bab khusus
tentang siapa saja yang tidak menerima hadiah karena pekerjaan. Dalam bab
tersebut, Imam Bukhari menukil perkataan ‘Umar bin Abdul Aziz: Pada zaman
Rasulullah pemberian itu dinamakan Hadiah, maka zaman sekarang ini dinamakan
risywah (suap)”. [Shahih Bukhari]
Suap-menyuap bukanlah hal baru dalam
Islam, karenanya banyak hadits dan atsar para sahabat RA yang mencela bahkan mengutuk
praktik suap-menyuap tersebut. Bahkan para ulama juga memberikan perhatian yang
besar terhadap permasalahan ini, diantaranya adalah Ibnu Qudamah dalam kitabnya
al-Mughniy, ia berkata: “Adapun suap-menyuap dalam masalah hukum dan pekerjaan
(apa saja) maka hukumnya haram –tidak diragukan lagi-.”
Menghadang Laju Money Politics
Politik uang memang sudah menggejala, ini
harus dilawan semua kalangan. Terlebih even Pilkades di 214
desa di Kabupaten Pati sudah di depan mata. Jangan sampai kita berdiam
diri melihat ini semua. Ada beberapa hal yang bisa
dilakukan kaum agamawan bersama masyarakat untuk mengahadang laju politik uang
ini. Pertama, semua aparatur pemerintah harus memberikan contoh.
Jangan sampai bersuara haram politik uang, ternyata justru menjadi dalang
lahirnya politik uang. Aparatur pemerintah harus menjadi contoh
pertama.
Kedua, dimulai dari diri sendiri
dan keluarga masing-masing. Kalau setiap individu dan keluarga bisa melakukan,
maka politik uang akan musnah di tengah perjalanan waktu. Ketiga, membuat regulasi yang jelas
dan tegas soal pendanaan politik. Keempat, pemerintah harus siap
mendidik rakyat agar tidak mudah ditipu dengan politik uang. Kelima,
membuat
gerakan kampanye secara
bersama-sama antara pemerintah dengan masyarakat
dan ormas untuk melawan politik uang. Keenam, aparat
penegak hokum untuk menghukum secara tegas mereka yang terbukti
melakukan praktek politik uang.
Sumber: Majalah NUANSA LTN NU Pati Edisi Januari 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar