Sabtu, 24 Januari 2015

MENGGUGAT MONEY POLITICS

Oleh: Muhammadun AS (Pimred Majalah Bangkit Yogyakarta)

Salah satu persoalan penting dalam pertarungan politik yang harus dijawab oleh masyarakat agama adalah money politics. Money politics atau politik uang adalah semua tindakan yang disengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah atau dengan sengaja menerima atau memberi dana kampanye dari atau kepada pihak-pihak yang dilarang menurut ketentuan undang-undang nomor 12 tahun 2003 tentang pemilu atau dengan sengaja memberikan keterangan tidak benar dalam laporan dana kampanye pemilu.

Menurut KH. Said Aqil Siraj (2012), money politics yang dalam prakteknya bisa berbentuk sedekah dan zakat yang belakangan ini marak terjadi di tengah masyarakat, maupun pemberian uang secara langsung dan tak langsung, komitmen pada sebuah janji, ataupun cara-cara lain yang bertujuan mempengaruhi pilihan dalam sebuah pesta demokrasi, baik pemilihan presiden, kepala daerah, legislatif sampai tingkat kepala desa.
Kiai Said melihat bahwa risywah dalam politik sama halnya dengan melakukan korupsi yang merupakan perbuatan keji dan diharamkan oleh agama. Korupsi masuk dalam kategori perbuatan fasad, perbuatan yang merusak tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hukuman untuk pelakunya adalah dipotong kedua tangan dan kakinya, atau dimusnahkan dari muka bumi.

Dalam Munas Alim Ulama’ dan Konbes NU 2012 ditegaskan bahwa money politics itu haram, sehingga masyarakat harus menjauhinya. Bagi NU, money politics bukan saja merusak tatanan pemilu, melainkan juga menimbulkan banyak sekali permusuhan dan perpecahan antar sesama.

Dalil yang Melarang Money Politics
Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah kalian memakan harta-harta diantara kalian dengan cara yang bathil” [QS. Al-Baqarah: 188]. Imam al Qurthubi mengatakan, ”Makna ayat ini adalah janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lainnya dengan cara yang tidak benar.” Dia menambahkan bahwa barangsiapa yang mengambil harta orang lain bukan dengan cara yang dibenarkan syariat maka sesungguhnya ia telah memakannya dengan cara yang batil. Diantara bentuk memakan dengan cara yang batil adalah putusan seorang hakim yang memenangkan kamu sementara kamu tahu bahwa kamu sebenarnya salah. Sesuatu yang haram tidaklah berubah menjadi halal dengan putusan hakim.” (al Jami’ Li Ahkamil Qur’an juz II hal 711).

Diakui atau tidak, praktik suap-menyuap merupakan cara-cara bathil memakan harta sesama manusia.Dalam hadits juga dijelaskan yang sama. Dari Abdullah bin Umar, ia berkata: “Rasulullah SAW melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap.” [HR. Abu Daud no. hadits 3580].

Akan tetapi, setelah jelasnya hukum akan perkara ini, masih saja ada orang-orang yang coba memalingkan dan mengkaburkan hukum keharaman suap-menyuap ini dengan berdalih bahwa yang diberikannya itu adalah hadiah atas bantuannya, atau uang lelah, dan ungkapan lainnya.

Dengan alasan-alasan seperti itu juga telah terbantahkan oleh hadits yang banyak yang telah diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, diantaranya: “Siapa saja yang menolong saudaranya kemudian dia dihadiahkan sesuatu maka ia telah masuk ke dalam pintu besar dari Riba.” [HR. Ahmad dalam Musnadnya]

Tidak cukup dengan hadits tersebut, bahkan penyusun kitab Shahih Bukhari, Abu Ismail al-Bukhari membuat bab khusus tentang siapa saja yang tidak menerima hadiah karena pekerjaan. Dalam bab tersebut, Imam Bukhari menukil perkataan ‘Umar bin Abdul Aziz: Pada zaman Rasulullah pemberian itu dinamakan Hadiah, maka zaman sekarang ini dinamakan risywah (suap)”. [Shahih Bukhari]

Suap-menyuap bukanlah hal baru dalam Islam, karenanya banyak hadits dan atsar para sahabat RA yang mencela bahkan mengutuk praktik suap-menyuap tersebut. Bahkan para ulama juga memberikan perhatian yang besar terhadap permasalahan ini, diantaranya adalah Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Mughniy, ia berkata: “Adapun suap-menyuap dalam masalah hukum dan pekerjaan (apa saja) maka hukumnya haram –tidak diragukan lagi-.”

Menghadang Laju Money Politics
Politik uang memang sudah menggejala, ini harus dilawan semua kalangan. Terlebih even Pilkades di 214 desa di Kabupaten Pati sudah di depan mata. Jangan sampai kita berdiam diri melihat ini semua. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan kaum agamawan bersama masyarakat untuk mengahadang laju politik uang ini. Pertama, semua aparatur pemerintah harus memberikan contoh. Jangan sampai bersuara haram politik uang, ternyata justru menjadi dalang lahirnya politik uang. Aparatur pemerintah harus menjadi contoh pertama. 

Kedua, dimulai dari diri sendiri dan keluarga masing-masing. Kalau setiap individu dan keluarga bisa melakukan, maka politik uang akan musnah di tengah perjalanan waktu. Ketiga, membuat regulasi yang jelas dan tegas soal pendanaan politik. Keempat, pemerintah harus siap mendidik rakyat agar tidak mudah ditipu dengan politik uang. Kelima, membuat gerakan kampanye secara bersama-sama antara pemerintah dengan masyarakat dan ormas untuk melawan politik uang. Keenam, aparat penegak hokum untuk menghukum secara tegas mereka yang terbukti melakukan praktek politik uang.

Sumber: Majalah NUANSA LTN NU Pati Edisi Januari 2015. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar