Tampilnya Joko Widodo–Jusuf Kalla (JK) sebagai nahkoda baru
pemerintahan Indonesia merupakan sejarah penting dalam dekade kedua reformasi. Selama
ini Jokowi dikenal sebagai sosok pemimpin yang dekat dengan rakyat, sementara
JK merupakan politisi dan pengusaha yang telah kenyang pengalaman. Pelantikan
Jokowi-JK pada 20 Oktober 2014 lalu, tidak hanya memberi harapan namun juga
menebar semangat kerja.
Pada masa kampanye menjelang pemilihan presiden-wakil presiden,
Jokowi pernah berjanji tentang hari santri. Ia mengungkapkan tentang penetapan
hari santri sebagai wujud keberpihakan terhadap kearifan lokal, tradisi Islam
dan legitimasi politik terhadap komunitas pesantren. Menurut Jokowi, “Santri
adalah kearifan lokal. Jadi kalau kita buat penetapan Hari Santri nasional,
berarti itu menunjukkan bahwa kita telah memberikan penghargaan yang lebih
tinggi terhadap santri, yakni menjadikan kearifan nasional” ungkap Jokowi. “Alasan lain, saya
berani menetapkan Hari Santri Nasional itu karena jatuhnya pada 1 Muharram,
bukan tanggal lain, sehingga tidak akan mengundang pro dan kontra. Kalau
tanggal lain, takutnya nanti ada yang tidak setuju,” terang Jokowi.
Setelah Jokowi dilantik sebagai presiden, apa urgensi hari santri?
Tentu saja, bukan perkara formal maupun ideal dalam politik hari santri. Yang
paling penting, adalah bagaimana Jokowi mampu menjadikan santri dan komunitas
pesantren sebagai gerbong terdepan dalam mengelola muslim cinta damai dalam
platform Islam rahmatan lil’ alamin.
Dalam
pemerintahan Jokowi-JK mendatang, gesekan ideologi dalam internal maupun lintas
agama dapat menjadi hambatan. Gesekan ideologi inilah, yang berpotensi menjadi
kerusuhan maupun teror. Problem yang terkait dengan Ahmadiyah dan Syiah di
Indonesia masih belum tuntas. Pada titik inilah, penting untuk menghadirkan
santri sebagai garda depan dalam mengelola isu-isu keagamaan, agar menjadi
lebih segar dan damai.
Nasionalisme Santri
Sejarah nusantara dan Indonesia tidak bisa lepas dari peran santri
dan pesantren. Dalam sejarahnya, santri dan pesantren menjadi instrumen penting
dalam penyebaran agama, khususnya Islam. Catatan-catatan sejarah, semisal Ma
Huan dan inskripsi makam-makam di Jawa, menyebut bahwa penyebaran Islam di
Indonesia pada kisaran abad XI-XIV. Pada titik inilah, Islam mulai menjadi
bagian dari dinamika agama di Nusantara, yang terkait dengan gerak misi Buddha
dan Hindu di Jawa dan Sumatra.
Santri mulai mencatatkan sejarahnya ketika Walisongo menjadi juru
dakwah dengan strategi damai. Wali Songo yang merupakan misi keagamaan dan
politik Ottoman kemudian berjejaring dengan ulama-ulama dari Campa dan India.
Inilah yang menjadi model transformasi Islam ke seluruh area Nusantara. Silang
koneksi Ottoman, Arab, Tiongkok, India dan Nusantara menjadi bagian dari
sejarah politik keagamaan di negeri ini. Hingga, proses lahirnya Islam
Indonesia yang bertahan hingga kini, dengan segenap variannya.
Jaringan santri bergerak dalam dua misi: transmisi
keilmuan-pegetahuan keagamaan dan strategi politik untuk mengukuhnya ide-ide
Nusantara. Cendekiawan muslim Nurcholis Madjid (1939-2005) mengungkap, bahwa
kata santri secara semantik dapat dimaknai dalam dua tafsir: sastri dan
cantrik. Sastri dalam bahasa Sanskrit dimaknai ‘melek huruf’. Sedangkan,
cantrik dapat ditafsirkan sebagai seseorang yang mengikuti seorang kiai atau
‘alim untuk memperdalam keilmuan dan keahlian tertentu.
Historiografi Nusantara mencatat peran santri dalam dinamika
politik dan keagamaan. Pada abad XIX, santri menjadi barisan terdepan dalam
Perang Jawa (1825-1830), yang dikomando Pangeran Diponegaro. Laskar pimpinan
Kiai Maja, Kiai Hasan Besari dan Sentot Ali Basya, menyelaraskan gerakan
perlawanan Diponegaro selain laskar ksatria yang Pangeran Sastradilaga.
Perjuangan santri tidak banyak ditulis dalam politik ingatan, justru
ditenggelamkan sebagai mitos dan ilusi.
Pada masa revolusi, jaringan santri-kiai berperan penting dalam
memperjuangkan kemerdekaan dan melawan serdadu kolonial. Seruan fatwa Jihad
Kiai Hasyim Asy’arie (1871-1947) pada 22 Oktober 1945 menggerakkan ribuan
santri untuk berjuang bersama pada pertempuran
10 November 1945 di Surabaya dan peristiwa Palagan Ambarawa, Semarang (Bizawie,
2013). Lagi-lagi, peran sejarah santri ini tersisih dari naskah sejarah
Indonesia modern.
Lalu, bagaimana santri dimaknai dalam kontestasi politik saat ini?
Kiprah KH. Abdurrahman Wahid (1940-2009) menjadi penanda penting. Gus Dur
meneruskan jejak perjuangan ayahanda (KH. Wahid Hasyim, 1914-1953) dan
kakeknya, tampil sebagai santri yang tidak hanya menguasai pengetahuan agama,
namun juga berhasil mentransformasikan ilmunya dalam strategi politik
kebangsaan. Inilah potret ideal santri masa kini, yang wajib ‘alim dalam bidang
ilmu yang digelutinya sebagai akar tradisi, sekaligus mampu mengkomunikasikan
dalam publik yang lebih luas dan heterogen. Pada masa kini, santri harus bisa
menyandingkan ilmu dan strategi dalam satu tarikan nafas.
Peran sejarah santri sering dipinggirkan dalam wacana pengetahuan
maupun politik penguasa. Sejarah pengetahuan versi Orde Baru, juga turut
menjadikan santri kehilangan konteknya untuk membantu negara. Pada era
Jokowi-JK ini, santri dan komunitas pesantren dapat menjadi bagian penting dari
upaya pemerintah menerjemahkan konsep revolusi mental. Dalam tradisi santri, revolusi
mental akan bergerak secara dinamis tanpa terjebak pada isu-isu komunis.
Revolusi mental sudah menjadi bagian dari tradisi sejarah santri, dengan
perlawanan kontinyu terhadap kolonialisme maupun upaya-upaya yang menghancurkan
bangsa. Santri juga dapat menjadi agen untuk menebar Islam ramah dan
mengkampanyekan Islam yang rahmatan
lil-alamin.
Pada titik ini, potensi konflik akibat gesekan ideologi antar
kelompok Islam maupun ideologi lintas agama dapat diredam. Janji Jokowi
terhadap hari santri bukan hanya pada level formal-ideal, namun juga perlu
diterjemahkan dalam ranah substansial. Usulan PBNU tentang Hari Santri pada 22
Oktober, yang berakar pada sejarah ‘Resolusi Jihad’, menjadi penting dan perlu
didukung bersama. Santri tidak hanya obyek, ia harus memainkan peran
sejarahnya.
*Munawir Aziz.
Santri dan
Peneliti, Dosen STAIMAFA Pati, penulis beberapa buku.
Sumber: Majalah NUANSA
LTN NU PATI Edisi Januari 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar