Sabtu, 24 Januari 2015

POLITIK HARI SANTRI OLEH MUNAWIR AZIZ


Tampilnya Joko Widodo–Jusuf Kalla (JK) sebagai nahkoda baru pemerintahan Indonesia merupakan sejarah penting dalam dekade kedua reformasi. Selama ini Jokowi dikenal sebagai sosok pemimpin yang dekat dengan rakyat, sementara JK merupakan politisi dan pengusaha yang telah kenyang pengalaman. Pelantikan Jokowi-JK pada 20 Oktober 2014 lalu, tidak hanya memberi harapan namun juga menebar semangat kerja.

Pada masa kampanye menjelang pemilihan presiden-wakil presiden, Jokowi pernah berjanji tentang hari santri. Ia mengungkapkan tentang penetapan hari santri sebagai wujud keberpihakan terhadap kearifan lokal, tradisi Islam dan legitimasi politik terhadap komunitas pesantren. Menurut Jokowi, “Santri adalah kearifan lokal. Jadi kalau kita buat penetapan Hari Santri nasional, berarti itu menunjukkan bahwa kita telah memberikan penghargaan yang lebih tinggi terhadap santri, yakni menjadikan kearifan  nasional” ungkap Jokowi. “Alasan lain, saya berani menetapkan Hari Santri Nasional itu karena jatuhnya pada 1 Muharram, bukan tanggal lain, sehingga tidak akan mengundang pro dan kontra. Kalau tanggal lain, takutnya nanti ada yang tidak setuju,” terang Jokowi.

Setelah Jokowi dilantik sebagai presiden, apa urgensi hari santri? Tentu saja, bukan perkara formal maupun ideal dalam politik hari santri. Yang paling penting, adalah bagaimana Jokowi mampu menjadikan santri dan komunitas pesantren sebagai gerbong terdepan dalam mengelola muslim cinta damai dalam platform Islam rahmatan lil’ alamin.
Dalam pemerintahan Jokowi-JK mendatang, gesekan ideologi dalam internal maupun lintas agama dapat menjadi hambatan. Gesekan ideologi inilah, yang berpotensi menjadi kerusuhan maupun teror. Problem yang terkait dengan Ahmadiyah dan Syiah di Indonesia masih belum tuntas. Pada titik inilah, penting untuk menghadirkan santri sebagai garda depan dalam mengelola isu-isu keagamaan, agar menjadi lebih segar dan damai. 

Nasionalisme Santri
Sejarah nusantara dan Indonesia tidak bisa lepas dari peran santri dan pesantren. Dalam sejarahnya, santri dan pesantren menjadi instrumen penting dalam penyebaran agama, khususnya Islam. Catatan-catatan sejarah, semisal Ma Huan dan inskripsi makam-makam di Jawa, menyebut bahwa penyebaran Islam di Indonesia pada kisaran abad XI-XIV. Pada titik inilah, Islam mulai menjadi bagian dari dinamika agama di Nusantara, yang terkait dengan gerak misi Buddha dan Hindu di Jawa dan Sumatra.

Santri mulai mencatatkan sejarahnya ketika Walisongo menjadi juru dakwah dengan strategi damai. Wali Songo yang merupakan misi keagamaan dan politik Ottoman kemudian berjejaring dengan ulama-ulama dari Campa dan India. Inilah yang menjadi model transformasi Islam ke seluruh area Nusantara. Silang koneksi Ottoman, Arab, Tiongkok, India dan Nusantara menjadi bagian dari sejarah politik keagamaan di negeri ini. Hingga, proses lahirnya Islam Indonesia yang bertahan hingga kini, dengan segenap variannya.

Jaringan santri bergerak dalam dua misi: transmisi keilmuan-pegetahuan keagamaan dan strategi politik untuk mengukuhnya ide-ide Nusantara. Cendekiawan muslim Nurcholis Madjid (1939-2005) mengungkap, bahwa kata santri secara semantik dapat dimaknai dalam dua tafsir: sastri dan cantrik. Sastri dalam bahasa Sanskrit dimaknai ‘melek huruf’. Sedangkan, cantrik dapat ditafsirkan sebagai seseorang yang mengikuti seorang kiai atau ‘alim untuk memperdalam keilmuan dan keahlian tertentu.

Historiografi Nusantara mencatat peran santri dalam dinamika politik dan keagamaan. Pada abad XIX, santri menjadi barisan terdepan dalam Perang Jawa (1825-1830), yang dikomando Pangeran Diponegaro. Laskar pimpinan Kiai Maja, Kiai Hasan Besari dan Sentot Ali Basya, menyelaraskan gerakan perlawanan Diponegaro selain laskar ksatria yang Pangeran Sastradilaga. Perjuangan santri tidak banyak ditulis dalam politik ingatan, justru ditenggelamkan sebagai mitos dan ilusi.

Pada masa revolusi, jaringan santri-kiai berperan penting dalam memperjuangkan kemerdekaan dan melawan serdadu kolonial. Seruan fatwa Jihad Kiai Hasyim Asy’arie (1871-1947) pada 22 Oktober 1945 menggerakkan ribuan santri untuk  berjuang bersama pada pertempuran 10 November 1945 di Surabaya dan peristiwa Palagan Ambarawa, Semarang (Bizawie, 2013). Lagi-lagi, peran sejarah santri ini tersisih dari naskah sejarah Indonesia modern.

Lalu, bagaimana santri dimaknai dalam kontestasi politik saat ini? Kiprah KH. Abdurrahman Wahid (1940-2009) menjadi penanda penting. Gus Dur meneruskan jejak perjuangan ayahanda (KH. Wahid Hasyim, 1914-1953) dan kakeknya, tampil sebagai santri yang tidak hanya menguasai pengetahuan agama, namun juga berhasil mentransformasikan ilmunya dalam strategi politik kebangsaan. Inilah potret ideal santri masa kini, yang wajib ‘alim dalam bidang ilmu yang digelutinya sebagai akar tradisi, sekaligus mampu mengkomunikasikan dalam publik yang lebih luas dan heterogen. Pada masa kini, santri harus bisa menyandingkan ilmu dan strategi dalam satu tarikan nafas.

Peran sejarah santri sering dipinggirkan dalam wacana pengetahuan maupun politik penguasa. Sejarah pengetahuan versi Orde Baru, juga turut menjadikan santri kehilangan konteknya untuk membantu negara. Pada era Jokowi-JK ini, santri dan komunitas pesantren dapat menjadi bagian penting dari upaya pemerintah menerjemahkan konsep revolusi mental. Dalam tradisi santri, revolusi mental akan bergerak secara dinamis tanpa terjebak pada isu-isu komunis. Revolusi mental sudah menjadi bagian dari tradisi sejarah santri, dengan perlawanan kontinyu terhadap kolonialisme maupun upaya-upaya yang menghancurkan bangsa. Santri juga dapat menjadi agen untuk menebar Islam ramah dan mengkampanyekan Islam yang rahmatan lil-alamin.

Pada titik ini, potensi konflik akibat gesekan ideologi antar kelompok Islam maupun ideologi lintas agama dapat diredam. Janji Jokowi terhadap hari santri bukan hanya pada level formal-ideal, namun juga perlu diterjemahkan dalam ranah substansial. Usulan PBNU tentang Hari Santri pada 22 Oktober, yang berakar pada sejarah ‘Resolusi Jihad’, menjadi penting dan perlu didukung bersama. Santri tidak hanya obyek, ia harus memainkan peran sejarahnya.

*Munawir Aziz. Santri dan Peneliti, Dosen STAIMAFA Pati, penulis beberapa buku.

Sumber: Majalah NUANSA LTN NU PATI Edisi Januari 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar