Oleh: Maulana Lutfi Karim
Kesaksian
seorang utusan, aku hanyalah anak terbuang. Terdampar di pulau tempat tinggal sang
naga. Menjilat dengan lidah api dan menatap dengan pandangan hampa. Seram,
suram, muram dan buram, aku berusaha terlelap.
Semua
sunyi sebelum tiba-tiba teriakannya memekakkan telinga jangkrik di
lobang-lobang yang tertanam di bantaran sungai, semua berhenti berujar tentang
omong kosong kecuali dia, Naga. Garis wajahnya menyiratkan keganasan membabi buta,
belum lagi sorot matanya yang tajam kala nafsunya diterjang amarah. Dan coba
lihatlah, untaian kumis tebal yang telah dirajutnya sejak belasan tahun lalu.
Angker, sungguh angker. Aku tersudut di pojok bale bambu ini, menutupi kepalaku
dengan dzahir tanganku, sementara telapak tanganku mengadap tepat ke wajahnya.
Ia segera mengangkat tangan dan biasanya langsung menghujamkannya kekepalaku.
“Cukup
bapak!” ujar suara perempuan selembut udara menghentikan laju tangan itu. aku kenal
suara itu. itu bibi, barang kali ia baru pulang dari pencarian untuk memberikan
Sang Naga sedikit pengisi perut agar mulutnya terbungkam dan otak marahnya
berganti menjadi otak tidur. Naga itu adalah suaminya, uwa’ aku biasa
memanggilnya dengan sebutan itu, namun hatiku tak berkehendak demikian. Apa
dasarnya aku harus memanggilnya uwa’, dia hanyalah seorang pemarah, penganggur,
pemabuk, penjudi, jauh dari sikap kewibawaan.
***
Sering
ketika kami dua belas anak terbuang tertidur saat tengah malam, ia pulang
memukuli pintu reot sekeras-kerasnya dan berteriak-teriak tak jelas, biasanya
bibi langsung membuka pintu dan menangkap tubuh lunglai uwa’ yang rebah
bersandar pintu, bibi menyeretnya di dipan ruang tamu, separuh badannya berada
di atas dipan sementara separuh bokong hingga kaki uwa’ tergelepar di lantai,
bibi tak kuat menggendong uwa’. Setelah kami terbangun, biasanya bibi langsung
mengusap pipinya sembari mengambil sebuah botol besar dari genggaman uwa’ dan melemparkannya
ke sungai di samping tempat tinggal kami melalui sebuah jendela kecil di sudut
rumah ini.
“uwa’
kenapa Bik?”
“tak
apa, dia hanya kelelahan” jawab bibi tersengau-sengau sambil berusaha untuk
membuka mulutnya dan tersenyum pada kami. “sudah tidur sana, uwa’ biar bibi
yang urus” serunya.
Kami
kembali ke bale bambu, namun tak lekas tidur. Sering kami dekatkan mata kami di
dinding tripleks yang bolong, dan mendengarkan kidung malam sang bibi sambil
sesenggukan, memijit-mijit tangan hingga bahu uwa’ sambil mengusap matanya. Dan
kami masih merengung diatas bale bambu dibalik dinding tripleks.
Setelah
itu bibi mematikan lampu kuning lima watt. Cahanyanya yang terpancar redup di atap rumbia ini segera sirna
dan kamipun segera terlelap
sebelum bibi mendatangi kami, mengecup kening kami satu per satu dan menyusul
untuk merajut mimpi berselimut dingin. Bibi membiarkan kami lelap dalam syahdu
di atas bale
bambu. Dia hanya meringkuk di bawah bale kami beralaskan sajadah kumal. Kadang
kami mengintip dari atas ketika bibi terlelap, kakinya yang tak terbungkus
selimut penuh dengan sayatan. Ya tuhan!.
***
Subuh
mengumandangkan suara alam, dimana para santri menjernihkan tenggorok,
menghisap udara dalam-dalam dan merong-rong ke saluran pernafasan kemudian
memuntahkan suara nan merdu, “asshholaatu
khairun minan naum...” kata bibi, itu artinya beribadah kepada tuhan jauh
lebih mulia daripada sekadar tidur, dan saat itulah kami bangun, sementara sang
bibi telah mengenakan rukuh untuk menunggu azan selesai. Sering kami tanyakan
“kenapa uwa’ tak kunjung bangun dan salat bersama kita?”
Bibi
selalu terdiam sejenak. Raut mukanya mencerminkan kebingungan yang penuh elegi
bias derita hidup. “azan sudah selesai ayo kita salat” sahut bibi yang belum
pernah sempat menjawab pertanyaan kami, namun kami tak mau mengulangi
pertanyaan itu esok harinya.
***
Mentari
di atas
kepala nenerkam ubun-ubun dengan sengatan panasnya. Teman-temanku bergegas
pulang setelah kantong kanan dan kiri mereka penuh rupiah. Mereka berhenti di
depan pintu. Uwa’ Naga
menggebu mengibaskan aroma panas siang di ruang tamu. Aku baru tahu, sayatan di
kaki bibi adalah bekas ikat pinggang uwa’ yang terjun bebas menghantam kakinya
yang lemah.
“Siapa
yang suruh kau buang botol itu!!!!” teriak uwa’ berulang-ulang sambil sesekali
melontarkan ludah ke samping.
Bibi
hanya diam dan menahan tangis, tak lebih. Setelah uwa’ puas marah, biasanya
perutnya yang besar langsung kosong, bibi berlalu compang-camping mencarikan
seteguk kopi dan sebungkus nasi dengan lauk paha ayam, ditambah beberapa lembar
telur dadar. Benar-benar istimewa. Teman-temanku hanya tertegun dari luar
rumah, sementara aku berusaha terlelap di sudut bale. Hari ini, aku tak bekerja
seperti teman-temanku, aku sakit, benar-benar sakit, bukan hanya sakit fisik,
demam, namun sakit bathin. Tidak karena aku sering mendapat siksa, namun betapa
insan seanggun bibi harus menerima bagian terbawah dalam roda kehidupan. Bukan
Cuma aku, kami sakit. Uwa’ tidak suka orang sakit. Katanya kalau kami sakit,
berarti kami tak bisa cari uang dan dia pasti akan menyiksa siapa saja yang
tidak mendapat uang hari ini seperti kataku tadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar