Sabtu, 24 Januari 2015

CERPEN UWA' NAGA

Oleh: Maulana Lutfi Karim

Kesaksian seorang utusan, aku hanyalah anak terbuang. Terdampar di pulau tempat tinggal sang naga. Menjilat dengan lidah api dan menatap dengan pandangan hampa. Seram, suram, muram dan buram, aku berusaha terlelap.

Semua sunyi sebelum tiba-tiba teriakannya memekakkan telinga jangkrik di lobang-lobang yang tertanam di bantaran sungai, semua berhenti berujar tentang omong kosong kecuali dia, Naga. Garis wajahnya menyiratkan keganasan membabi buta, belum lagi sorot matanya yang tajam kala nafsunya diterjang amarah. Dan coba lihatlah, untaian kumis tebal yang telah dirajutnya sejak belasan tahun lalu. Angker, sungguh angker. Aku tersudut di pojok bale bambu ini, menutupi kepalaku dengan dzahir tanganku, sementara telapak tanganku mengadap tepat ke wajahnya. Ia segera mengangkat tangan dan biasanya langsung menghujamkannya kekepalaku.

“Cukup bapak!” ujar suara perempuan selembut udara menghentikan laju tangan itu. aku kenal suara itu. itu bibi, barang kali ia baru pulang dari pencarian untuk memberikan Sang Naga sedikit pengisi perut agar mulutnya terbungkam dan otak marahnya berganti menjadi otak tidur. Naga itu adalah suaminya, uwa’ aku biasa memanggilnya dengan sebutan itu, namun hatiku tak berkehendak demikian. Apa dasarnya aku harus memanggilnya uwa’, dia hanyalah seorang pemarah, penganggur, pemabuk, penjudi, jauh dari sikap kewibawaan.
***
Sering ketika kami dua belas anak terbuang tertidur saat tengah malam, ia pulang memukuli pintu reot sekeras-kerasnya dan berteriak-teriak tak jelas, biasanya bibi langsung membuka pintu dan menangkap tubuh lunglai uwa’ yang rebah bersandar pintu, bibi menyeretnya di dipan ruang tamu, separuh badannya berada di atas dipan sementara separuh bokong hingga kaki uwa’ tergelepar di lantai, bibi tak kuat menggendong uwa’. Setelah kami terbangun, biasanya bibi langsung mengusap pipinya sembari mengambil sebuah botol besar dari genggaman uwa’ dan melemparkannya ke sungai di samping tempat tinggal kami melalui sebuah jendela kecil di sudut rumah ini.

“uwa’ kenapa Bik?”
“tak apa, dia hanya kelelahan” jawab bibi tersengau-sengau sambil berusaha untuk membuka mulutnya dan tersenyum pada kami. “sudah tidur sana, uwa’ biar bibi yang urus” serunya.

Kami kembali ke bale bambu, namun tak lekas tidur. Sering kami dekatkan mata kami di dinding tripleks yang bolong, dan mendengarkan kidung malam sang bibi sambil sesenggukan, memijit-mijit tangan hingga bahu uwa’ sambil mengusap matanya. Dan kami masih merengung diatas bale bambu dibalik dinding tripleks.

Setelah itu bibi mematikan lampu kuning lima watt. Cahanyanya yang terpancar redup di atap rumbia ini segera sirna dan kamipun segera terlelap sebelum bibi mendatangi kami, mengecup kening kami satu per satu dan menyusul untuk merajut mimpi berselimut dingin. Bibi membiarkan kami lelap dalam syahdu di atas bale bambu. Dia hanya meringkuk di bawah bale kami beralaskan sajadah kumal. Kadang kami mengintip dari atas ketika bibi terlelap, kakinya yang tak terbungkus selimut penuh dengan sayatan. Ya tuhan!.
***
Subuh mengumandangkan suara alam, dimana para santri menjernihkan tenggorok, menghisap udara dalam-dalam dan merong-rong ke saluran pernafasan kemudian memuntahkan suara nan merdu, “asshholaatu khairun minan naum...” kata bibi, itu artinya beribadah kepada tuhan jauh lebih mulia daripada sekadar tidur, dan saat itulah kami bangun, sementara sang bibi telah mengenakan rukuh untuk menunggu azan selesai. Sering kami tanyakan “kenapa uwa’ tak kunjung bangun dan salat bersama kita?”
Bibi selalu terdiam sejenak. Raut mukanya mencerminkan kebingungan yang penuh elegi bias derita hidup. “azan sudah selesai ayo kita salat” sahut bibi yang belum pernah sempat menjawab pertanyaan kami, namun kami tak mau mengulangi pertanyaan itu esok harinya.
***
Mentari di atas kepala nenerkam ubun-ubun dengan sengatan panasnya. Teman-temanku bergegas pulang setelah kantong kanan dan kiri mereka penuh rupiah. Mereka berhenti di depan pintu. Uwa’ Naga menggebu mengibaskan aroma panas siang di ruang tamu. Aku baru tahu, sayatan di kaki bibi adalah bekas ikat pinggang uwa’ yang terjun bebas menghantam kakinya yang lemah.

“Siapa yang suruh kau buang botol itu!!!!” teriak uwa’ berulang-ulang sambil sesekali melontarkan ludah ke samping.
Bibi hanya diam dan menahan tangis, tak lebih. Setelah uwa’ puas marah, biasanya perutnya yang besar langsung kosong, bibi berlalu compang-camping mencarikan seteguk kopi dan sebungkus nasi dengan lauk paha ayam, ditambah beberapa lembar telur dadar. Benar-benar istimewa. Teman-temanku hanya tertegun dari luar rumah, sementara aku berusaha terlelap di sudut bale. Hari ini, aku tak bekerja seperti teman-temanku, aku sakit, benar-benar sakit, bukan hanya sakit fisik, demam, namun sakit bathin. Tidak karena aku sering mendapat siksa, namun betapa insan seanggun bibi harus menerima bagian terbawah dalam roda kehidupan. Bukan Cuma aku, kami sakit. Uwa’ tidak suka orang sakit. Katanya kalau kami sakit, berarti kami tak bisa cari uang dan dia pasti akan menyiksa siapa saja yang tidak mendapat uang hari ini seperti kataku tadi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar