Pendidikan di dalam
keluarga sangat memberikan kontribusi yang bermakna atas optimalisasi
intelektual anak. Lebih-lebih kasih sayang yang diberikan orang tua dan
keharmonisan dalam keluarga menjadi faktor penentu pengembangan intelektual
anak. Di samping itu, rasa kasih sayang juga senantiasa harus menyertai seluruh
kegiatan belajar mengajar di sekolah, karena dengan sentuhan emosional, anak
akan merasa senang dan nyaman dalam belajar.
Kasih sayang yang
diberikan orang tua, ditunjukkan dengan adanya komunikasi yang hangat antar
anggota keluarga. Kemampuan orang tua untuk menjaga suasana psikologis agar
tidak terjadi kebocoran-kebocoran verbal sangat dianjurkan. Karena bila tidak,
maka hal ini akan membentuk pola prilaku anak yang sama, anak akan meniru
prilaku tersebut. Bila kata-kata atau komentar negatif sering muncul, ini akan
menghambat kemampuan intelektual juga fisik anak. Anak akan merasa tidak
berguna, merasa tidak bisa, dan semua sifat inferior akan lebih banyak muncul.
Memiliki orang tua
yang ‘loving’, penuh perhatian dan responsif membuat anak menjadi sehat, ceria,
pandai dan kritis. Kondisi yang menyenangkan akan mengaktifkan neo-cortex (otak
berfikir), sehingga proses belajar anak menjadi optimal dan percaya diri.
Ketika otak menerima sinyal positif dan suportif, otak terlibat secara
emosional sehingga memungkinkan syaraf bekerja maksimal. Kalau perasaan anak
senang karena mendapatkan pujian atas sesuatu yang telah dikerjakannya, anak
akan memperoleh kepercayaan dirinya. Akan tetapi bila yang terjadi adalah
sebaliknya, bila anak mendapatkan komentar negatif, bernada ancaman,
mendapatkan celaan, maka kapasitas syaraf untuk berfikir rasional menjadi
semakin mengecil. Anak akan merasa sangat bersalah, tidak berarti, dan yang
lebih fatal lagi, anak tidak mendapatkan rasa percaya dirinya.
Ada tiga tipe orang
tua dalam pola pengasuhan, yaitu otoritatif, otoriter dan permisif. Ketiga pola
pengasuhan orang tua ini tentu akan memberikan dampak yang berbeda terhadap
anak-anak dalam kehidupannya kelak. Orang tua yang otoritatif akan memiliki
anak-anak yang berhasil dalam hidupnya ketimbang orang tua yang otoriter dan
orang tua yang permisif. Orang tua yang otoritatif cenderung akrab dengan
anak-anaknya, sehingga ada komunikasi timbal balik antara orang tua dengan anak.
Dalam otoritatif, orang tua memungkinkan untuk mengkomunikasikan
harapan-harapannya yang bertumpu pada anak-anaknya. Karena terjalin komunikasi
yang hangat, maka anak akan mengerti tentang ekspektasi orang tuanya, dan anak
akan berusaha membahagiakan orang tunya dengan lebih mengoptimalkan
kemampuannya demi mencapai harapan-harapan itu.
Sedangkan pola asuh
otoriter, sangat berkebalikan dengan pola asuh otoritatif. Tidak adanya
komunikasi yang hangat dan suportif, menyebabkan anak memiliki tanggungjawab yang
rendah terhadap pencapaian keberhasilannya. Lain halnya dengan pola asuh
permisif, pola asuh ini akan membentuk anak yang kurang disiplin, tidak
mandiri, menjadi anak yang selalu menuntut, cenderung egois karena keinginan
mereka yang selalu dipenuhi.
Untuk lebih
mengembangkan self-esteem anak,
komunikasi yang dilakukan orang tua haruslah yang bersifat suportif, di dalamnya
ada saling keterbukaan, menumbuhkan empati, memberikan dukungan, dan kata-kata
yang diucapkan adalah kata-kata yang positif serta tidak ada kata-kata
membandingkan, karena setiap anak berbeda dan memiliki keunikan masing-masing.
Oleh: Sumiyati
Dosen PGRA/PAUDi STAI Mathali’ul Falah.
Sumber: Majalah NUANSA LTN NU Pati Edisi Januari 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar