Minggu, 31 Agustus 2014

MENYELAMI DAWUH TERTULIS HABIB LUTHFI



Judul Buku      : Secercah Tinta Jalinan Cinta Seorang Hamba dengan Sang Pencipta
Penulis            : Habib Muhammad Luthfi bin Yahya
Editor              : Ahmad Tsauri
Cetakan          : Pertama, April 2013
Isi                    : XIVII + 362 halaman
ISSBN            : 978-602-18230-0-2

Pekalongan dikenal sebagai kota batik, namun bagi kaum santri dan umat Islam pada umumnya, kota Pekalongan juga dikenal sebagai kota olah spiritual. Karena kota ini tak bisa dilepaskan dari keberadaan seorang guru rohani yaitu Habib Muhammad Luthfi bin Yahya. Beliau adalah alim yang tingkat kealimannya tak perlu diragukan lagi. Habib Luthfi sendiri adalah seorang ketua Jam’iyyah Thoriqoh Mu’tabarah Nahdlatul Ulama. Sebuah organisasi yang mewadahi semua tarekat atau jalan spiritual yang telah diakui kesahihannya di kalangan masyarakat NU. Bila jam’iyyah tersebut diibaratkan sebagai sebuah negara, Habib Luthfi adalah presidennya. Karena itu, setiap ucapan yang dilontarkannya, setiap kalimat yang ditenunnya, dan setiap ceramah yang disampaikannya diakui atau tidak, pastilah menjadi bekal para pejalan rohani (salik).

Tentu ucapan, kalimat, dan ceramahnya itu amatlah banyak. Untung saja, Ahmad Tsauri, murid beliau yang menjadi editor buku ini bersedia mengumpulkan semua itu menjadi sebuah buku berjudul Secercah Tinta: Jalinan Cinta Seorang Hamba dengan Sang Pencipta, yang diterbitkan oleh Menara Publisher (Pekalongan, 2013). Buku ini semacam dhawuh tertulis Habib Luthfi, yaitu kumpulan ceramah beliau dalam berbagai kesempatan. Sayang, editor buku ini tak mencantumkan keterangan kapan dan dimana berbagai materi ceramah yang cukup variatif, mencerahkan, menggugah, dan sarat informasi baru itu disampaikan oleh Sang Habib.

***
Buku ini kian menarik lantaran dikukuhkan oleh kata pengantar dari KH Mustofa Bisri, ulama-pujangga, yang menyebutkan bahwa buku seperti kumpulan ceramah ini sangat langka. Karena itu, setiap orang yang hendak mempelajari agama, terlebih lagi tasawuf, bidang yang menjadi “spesialisasi” Habib Luthfi, selayaknyalah ia memiliki buku ini. Menurut Gus Mus, biasanya ceramah disampaikan di depan audiens yang umum. Penceramah dianggap mirip pedagang eceran, karena ilmu-ilmu yang disampaikan oleh si penceramah biasanya hanya diingat sebentar lalu dilupakan. Berbeda dengan pengajian atau ceramah bergaya sorogan, dimana sang penceramah memberikan materi ceramahnya berdasarkan kitab tertentu. Tentu setelah ceramah, isi ceramah tersebut tak akan terlupakan. Maka dari itu, usaha untuk menerbitkan kumpulan ceramah Habib Luthfi ini merupakan terobosan, layaknya sebuah usaha untuk mengikat binatang buruan agar tidak lepas.

Sementara itu, KH Said Agil Siradj juga memberikan kata pengantar yang tak kalah menarik. Di sini, Ketum PBNU itu menyoroti buku ini sebagai upaya kaum Aswaja dalam mengajak masyarakat Islam dan bangsa Indonesia umumnya untuk menyelami samudera kehidupan yang lebih dalam, yaitu spiritualitas. Itulah mengapa hampir setiap pembahasan yang diajukan oleh Habib Luthfi di sini, tidak jauh di sekitar dunia tasawuf. Oleh karena itu, buku ini dapat disebut sebagai buku pengantar ringan mengenai dunia tasawuf.

***
Dilihat dari strukturnya, buku ini dibagi menjadi lima bagian, setiap bagian disebut sebagai mozaik. Pada mozaik pertama, dalam tulisan pembukanya yang berjudul Kesaksian Allah SWT atas Risalah dan Keistimewaan Nabi Muhammad SAW (hlm. 3-11), Habib Luthfi menghadirkan pembahasan mengenai kesaksian dan pengakuan Allah SWT atas Rasulullah Muhammad SAW. Pada taraf ini, sebenarnya Habib Lutfi berusaha untuk menegaskan bahwasannya Nabi Muhammad SAW adalah patokan utama dalam lelaku keberislaman umat Islam. Bila tidak, tidak mungkin jalan kehidupan akan ditempuh dengan cara yang lurus. Mengingat di depan Allah SWT, hanya Nabi Muhammad SAW sajalah yang marwah dan eksistensinya diakui.

Bahasan yang paling relevan untuk dikedepankan di sini adalah mengenai status Nabi Muhammad SAW sebagai manusia biasa sebagaimana banyak dikaji oleh kaum orientalis dan para pegiat kajian Islam yang terlalu meninggalkan dimensi sakral Islam. Memang, Nabi Muhammad SAW diperintahkan Allah SWT untuk mengatakan kepada manusia bahwasannya beliau sama seperti manusia pada umumnya. Seperti yang tercantum di dalam surat al-Kahfi. Akan tetapi, ini bukan merupakan penegasan bahwa Rasulullah SAW adalah manusia pada umumnya, sebab di ayat tersebut Nabi Muhammad SAW dinyatakan sebagai makhluk yang “seperti” manusia, hanya saja tidak persis plek manusia.

Pada bab selanjutnya, habib juga banyak menyinggung mengenai kehidupan para sahabat Nabi SAW, termasuk di sana kehidupan para ahli bait. Menurut habib, tidak selayaknya seseorang memuliakan sahabat yang ini lalu menghina dan mencela sahabat yang itu, sebab itu bukan merupakan akhlak seorang muslim. Setiap sahabat Nabi SAW pasti punya kelebihan sendiri. Allah SWT telah menjadikan mereka manusia utama di belakang Rasulullah SAW. Adapun bila mereka memiliki kekurangan, misalnya mengenai kasus perselisihan yang terjadi di antara mereka sendiri, itu tidak lain merupakan upaya Allah SWT untuk menunjukkan kepada hambanya sebuah hal mengenai apa yang baik dan apa yang tidak baik.

Selain itu, habib juga memasukkan keterangan mengenai hikmah-hikmah terpenting di balik marga (klan) para dzurriyatur rasul. Al-Attas, as-Segaf, al-Jufri, Jamalul Lail, Syahab, Syihab, Ba’alawi, al-‘Idrus, al-Haddad, Bafaqih, Ba’abud, dan masih banyak marga-marga lainnya yang semuanya ada arti dan maknanya. Tak hanya itu, semua marga itu menyimpan pesan-pesan tersendiri bagi orang-orang yang mencintai Rasulullah SAW (hlm. 113). Habib juga di sini menerangkan mengapa kitab Tafsir Jalalayn sering dikaji di pesantren-pesantren. Padahal kitab tersebut tergolong kitab “ringan” dan seolah tak banyak memberikan petunjuk-petunjuk baru. Ternyata, kata habib, kenapa para ulama, kyai, habaib memilih mengajarkan kitab tersebut pertama kali kepada santri-santri bukan karena tebal-tipisnya, tetapi karena tabarrukan (mengambil berkah) dari pengarangnya Imam Jalaluddin as-Suyuthi yang ketika menulis kitab tersebut langsung bertemu dengan Rasulullah SAW dalam keadaan terjaga (yaqzhah) selama 75 kali (hlm. 35).

Sebenarnya masih banyak bahasan-bahasan lain yang dibabarkan Habib Luthfi dengan sangat menarik, ringan, dan terkesan mengajak pembaca berdialog bersama beliau. Intinya, buku ini seolah mengatakan kepada para pembaca, agar ia dijadikan pegangan untuk mengenal Islam dalam dimensi praktik (amaliyah). Bukan Islam dalam dimensi wacana (fikriyyah) semata. Saat ini ada banyak orang muslim yang pintar membicarakan Islam tapi kurang pintar mengamalkan Islam. Sebagai penutup, buku ini layak dibaca oleh siapapun, terutama para cendekiawan, Kyai, santri dan umat muslim pada umumnya. Wallahu a’lam.

*Ahmad Fauzan
Lajnah Ta’lif wan Nasyr PCNU Pati
(Sumber Majalah NUANSA LTN NU Pati)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar