Minggu, 31 Agustus 2014

MEWASPADAI PERPECAHAN PASCA-PILPRES



Pemilihan Presiden telah berlangsung pada 9 Juli 2014 kemaren, hanya saja kegaduhannya masih terdengar riuh sampai sekarang. Mungkin baru pilpres kali ini yang mampu menyedot perhatian masyarakat seantero negeri, bahkan media-media internasional juga tidak ketinggalan untuk memantau terus perkembangannya. Antusias masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya juga tinggi, lebih tinggi dibandingkan pemilihan presiden sebelum-belumnya. Namun, gejala yang patut diwaspadai setelah berlangsungnya hajatan pilpres kali ini adalah ketidaksiapan menerima kekalahan. Apalagi, bila melihat proses selama kampanye sudah terasa ‘panas’ persaingannya. Itu nampak ketika bagaimana masing-masing kubu saling menyerang, saling memfitnah, saling menghujat dan sampai terjadi aksi anarkis. Hasil Quick Count juga ikut memanaskan keadaan, sampai akhirnya masing-masing kubu mengklaim dirinya sebagai pemenang didasarkan dari hasil hitung cepat lembaga-lembaga survey yang beredar. Seharusnya, para calon capres-cawapres mampu menahan diri untuk tidak saling memprovokasi, sehingga para pendukung di bawah tidak ikut terpancing untuk berbuat anarkis.

Peristiwa di atas tentu tidak boleh diabaikan begitu saja, karena jika dibiarkan maka akan memberi peluang bagi pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab untuk masuk dan mengambil kesempatan tersebut untuk memecah-belah persatuan dan kesatuan rakyat Indonesia. Kita harus belajar dari masa lalu bagaimana Provinsi Timur-Timur bisa lepas dari Indonesia adalah tatkala keadaan bangsa sedang gonjang-ganjing pelengseran Soeharto. Terlebih, sudah sejak dulu konspirasi asing mengincar Indonesia sebagai target untuk dipecah-belah. Di mata asing, Indonesia terlalu ‘seksi’ untuk dilewatkan, bayangkan dengan cadangan minyak, cadangan gas, tambang emas, hasil hutan dan hasil laut yang melimpah merupakan sumber ekonomi yang bernilai sangat tinggi. Untuk itu, bila nantinya rakyat Indonesia terhasud oleh adu domba dan menyebabkan perpecahan antar-anak bangsa, hal itu hakikatnya merugikan diri kita sendiri.

Terselenggaranya pemilu yang tertib, aman dan lancar menjadi dambaan kita semua, dan bangsa Indonesia wajib merawatnya. Media sebagai jendela informasi dituntut untuk memberikan informasi yang benar, mampu bereperan sebagai juru damai bukan sebaliknya. Tidak mungkin itu bisa berhasil tanpa adanya peran aktif masyarakat dalam menjaganya, artinya tidak hanya mengandalkan TNI/POLRI sebagai satu-satunya instrumen penjaga ketertiban umum. NU sebagai organisasi terbesar di Indonesia juga harus bisa ikut mempelopori untuk senantiasa menghimbau kapada masyarakat agar ikut serta dalam menjaga keamanan pasca pemilihan presiden Republik Indonesia periode 2014-2019.

Para Ulama’, para Kyai dan para santri dapat segera merapatkan barisan untuk mengkapanyekan keutuhan NKRI sebagai amanat dari para pendiri bangsa. Sebagai benteng terakhir dan sebagai tokoh yang mempunyai pengaruh yang kuat di tengah-tengah masyarakat, edukasi dari para Ulama’ dan para Kyai akan dapat mengurangi kemungkinan terjadinya konflik yang besar. Dengan demikian, seluruh elemen bangsa dapat membuang egonya masing-masing untuk dapat bersatu, berbeda pilihan bukan berarti harus bermusuhan. Langkah ini penting dilakukan untuk peringatan dini, sebagai salah satu ikhtiar untuk menyelamatkan Indonesia dari ancaman kehancuran. Mengingat, ongkos sosialnya terlalu mahal bila sampai terjadi perpecahan (konflik) antara pendukung Prabowo dengan pendukung Jokowi. (Sumber Majalah NUANSA LTN NU Pati).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar