Pemilihan Presiden telah berlangsung pada 9 Juli 2014 kemaren, hanya saja
kegaduhannya masih terdengar riuh sampai sekarang. Mungkin baru pilpres kali
ini yang mampu menyedot perhatian masyarakat seantero negeri, bahkan
media-media internasional juga tidak ketinggalan untuk memantau terus
perkembangannya. Antusias masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya juga
tinggi, lebih tinggi dibandingkan pemilihan presiden sebelum-belumnya. Namun,
gejala yang patut diwaspadai setelah berlangsungnya hajatan pilpres kali ini adalah
ketidaksiapan menerima kekalahan. Apalagi, bila melihat proses selama kampanye
sudah terasa ‘panas’ persaingannya. Itu nampak ketika bagaimana masing-masing
kubu saling menyerang, saling memfitnah, saling menghujat dan sampai terjadi
aksi anarkis. Hasil Quick Count juga ikut memanaskan keadaan, sampai akhirnya
masing-masing kubu mengklaim dirinya sebagai pemenang didasarkan dari hasil
hitung cepat lembaga-lembaga survey yang beredar. Seharusnya, para calon
capres-cawapres mampu menahan diri untuk tidak saling memprovokasi, sehingga
para pendukung di bawah tidak ikut terpancing untuk berbuat anarkis.
Peristiwa di atas tentu tidak boleh diabaikan begitu saja, karena jika
dibiarkan maka akan memberi peluang bagi pihak-pihak yang tidak
bertanggungjawab untuk masuk dan mengambil kesempatan tersebut untuk
memecah-belah persatuan dan kesatuan rakyat Indonesia. Kita harus belajar dari
masa lalu bagaimana Provinsi Timur-Timur bisa lepas dari Indonesia adalah
tatkala keadaan bangsa sedang gonjang-ganjing pelengseran Soeharto. Terlebih,
sudah sejak dulu konspirasi
asing mengincar Indonesia sebagai target untuk
dipecah-belah. Di mata asing, Indonesia terlalu ‘seksi’ untuk
dilewatkan, bayangkan dengan cadangan minyak, cadangan gas, tambang emas, hasil
hutan dan hasil laut yang melimpah merupakan sumber ekonomi yang bernilai
sangat tinggi. Untuk itu, bila nantinya rakyat Indonesia terhasud oleh adu
domba dan menyebabkan perpecahan antar-anak bangsa, hal itu hakikatnya merugikan
diri kita sendiri.
Terselenggaranya
pemilu yang tertib, aman
dan lancar menjadi
dambaan kita semua, dan bangsa Indonesia wajib merawatnya. Media sebagai
jendela informasi dituntut untuk memberikan informasi yang benar, mampu
bereperan sebagai juru damai bukan sebaliknya. Tidak mungkin itu bisa berhasil
tanpa adanya peran aktif masyarakat dalam menjaganya, artinya tidak hanya
mengandalkan TNI/POLRI sebagai satu-satunya instrumen penjaga ketertiban umum. NU
sebagai organisasi terbesar di Indonesia juga harus bisa ikut mempelopori untuk
senantiasa menghimbau
kapada masyarakat agar ikut
serta dalam menjaga
keamanan pasca pemilihan presiden Republik Indonesia periode
2014-2019.
Para
Ulama’, para Kyai dan para santri dapat segera merapatkan barisan untuk
mengkapanyekan keutuhan NKRI sebagai amanat dari para pendiri bangsa. Sebagai benteng
terakhir dan sebagai tokoh yang mempunyai pengaruh yang kuat di tengah-tengah
masyarakat, edukasi dari para Ulama’ dan para Kyai akan dapat mengurangi
kemungkinan terjadinya konflik yang besar. Dengan demikian, seluruh elemen bangsa dapat membuang
egonya masing-masing untuk dapat bersatu, berbeda pilihan bukan berarti harus
bermusuhan. Langkah ini penting dilakukan untuk peringatan dini, sebagai salah
satu ikhtiar untuk menyelamatkan Indonesia dari ancaman kehancuran. Mengingat, ongkos
sosialnya terlalu mahal bila sampai terjadi perpecahan (konflik) antara
pendukung Prabowo dengan pendukung Jokowi. (Sumber Majalah NUANSA LTN NU Pati).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar