Di zaman modern seperti sekarang
ini, secara fisik banyak manusia yang terlihat sehat dan tidak mempunyai
keluhan apapun, namun sebenarnya dibalik kebugaran tubuhnya itu banyak di
antara mereka yang mempunyai gangguan mental. Hal itu dapat di lihat dari
perilaku masyarakat di sekitar kita yang gemar memamerkan penampilannya atau
harta bendanya, pemarah, pendendam, korupsi, sombong, angkuh, berburuk sangka,
pendusta, rakus, serakah, mudah putus asa, pemalas, kikir dan hilangnya rasa
malu. Masalahnya, sebagian dari mereka tidak menyadari jika dirinya sedang
mengalami gangguan mental, sehingga mereka tidak pernah berupaya untuk mencoba
menyembuhkannya. Padahal apabila gangguan mental (psikis) itu terus dibiarkan,
lambat laun akan menggerogoti kondisi fisiknya yang pada akhirnya bukan tidak
mungkin merembet menjadi penyakit fisik. Lalu mental yang sehat itu seperti
apa? Yaitu seseorang yang mampu menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang
lain, masyarakat, lingkungan dan mampu menghadapi problem-problem hidup yang
terjadi dengan cara yang positif (Zakiah Daradjat, 1993).
Gangguan mental dalam pandangan
Islam sebagaimana dijelaskan oleh Hamdani Bakran Azzaky dalam buku konseling
dan psikoterapi Islam (2006) lebih disebabkan dua hal, yaitu faktor internal
dan faktor eksternal. Faktor internal diawali dari proses kelahiran seseorang,
apakah prosesnya melalui perzinaan atau melalui pernikahan yang sah? Atau apakah
makanan/minuman yang masuk dalam tubuhnya halal atau haram? Itu semua ternyata mempunyai
pengaruh sangat besar terhadap kondisi mental seseorang. Hal itu pernah
dibuktikan dalam sebuah penelitian di Inggris terhadap 200 anak, 100 anak
dilahirkan di luar nikah dan 100 anak lagi dilahirkan melalui pernikahan yang
sah. Setelah dibandingkan dari perkembangan fisik dan mentalnya selama 10 tahun,
ditemukan bahwa anak-anak yang dilahirkan di luar pernikahan perkembangan fisik
serta mentalnya tidak sebaik dan sesehat anak-anak yang dilahirkan melalui
pernikahan yang sah. Kedua faktor
eksternal, penyebab gangguan mental dari faktor eksternal lebih banyak dipengaruhi
dari interaksi seseorang dengan Sang Pencipta, semakin jauh (mengingat) dari
Allah SWT maka peluang seseorang untuk mengalami kegoncangan psikis/mental
sangat besar.
Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi kegoncangan psikis
atau gangguan mental adalah dengan menjalankan ibadah puasa. Namun, puasa itu harus
dikerjakan dengan ikhlas mengingat puasa yang dijalankan karena terpaksa justru
hanya menyiksa diri sendiri. Di sisi lain, menurut Siti Uriana Rahmawati Fuad
dalam artikelnya berjudul pengaruh puasa terhadap kesehatan mental menyebutkan,
bahwa puasa yang dikerjakan dengan ikhlas/tulus dapat mendatangkan banyak keuntungan,
antara lain ketenangan jiwa (mental). Hal demikian dapat terjadi lantaran dalam
puasa dapat melahirkan pengendalian diri (self
control), efek positifnya mampu menjadi benteng bagi seseorang dari
perilaku-perilaku yang mengarah pada patologi mental. Masalah inipun diperjelas
dalam Hadist Rasulullah SAW: “puasa itu
bukanlah sekedar menahan diri dari makan dan minum. Akan tetapi sesungguhnya puasa
adalah mencegah diri dari segala perbuatan yang sia-sia serta menjauhi perbuatan-perbuatan
yang kotor dan keji” (HR. Bukhori).
Dalam psikologi, kemampuan mengendalikan diri merupakan cerminan sehat
tidaknya mental seseorang. Semisal, ketika seseorang dihadapkan sebuah peluang
untuk melakukan korupsi, maka dia mampu mengendalikan dirinya untuk tidak
mengambil peluang itu, sekalipun dia sebenarnya membutuhkan uang. Dia lebih
memilih menjaga kehormatan dan agamanya daripada mengambil sesuatu yang bukan
haknya. Berbeda bila orang tersebut terganggu mentalnya, maka saat dia
mendapatkan kesempatan untuk melakukan tindakan korupsi, dia betul-betul akan
memanfaatkan kesempatan itu untuk menuruti hawa nafsunya, meskipun dia
sebenarnya sudah memiliki banyak harta. Untuk itu, pengendalian diri sebagai
salah satu buah dari ibadah puasa merupakan instrumen penting bagi manusia dalam
mengarungi kehidupan ini.
Bahkan, dijelaskan dalam artikel Rahmawati Fuad bahwa ada seorang guru
besar dari Rusia yang bernama Nicolayev pernah mencoba menyembuhkan gangguan
jiwa dengan berpuasa. Ia melakukan terapi terhadap pasiennya dengan menggunakan
30 hari puasa (sama dengan waktu puasa ramadhan). Nicolayev mengadakan
penelitian eksperiment dengan membagi subjek menjadi dua kelompok yang sama
besar, baik usia maupun berat ringannya gangguan yang dihadapi. Kelompok
pertama diberi terapi atau pengobatan dengan menggunakan obat-obatan medis,
sementara kelompok kedua diperintahkan untuk berpuasa selama 30 hari. Selama
proses terapi, kedua kelompok secara kontinue diikuti perkembangan fisik dan
mentalnya dengan tes-tes psikologi, dan hasilnya cukup mengejutkan karena di
luar dugaan banyak pasien yang tidak bisa disembuhkan dengan penanganan medis
ternyata bisa disembuhkan dengan terapi puasa.
Bagaimana puasa mampu memiliki kekuatan untuk menyembuhkan gangguan
mental? Jawabannya karena dalam puasa terdapat habit atau pembiasaan-pembiasaan yang positif yang muaranya berasal
dari self control atau pengendalian
diri. Seseorang yang berpuasa dibiasakan untuk mengendalikan diri untuk selalu
bersikap jujur, untuk tidak melakukan maksiat, untuk tidak melakukan perbuatan
yang sia-sia atau berlebih-lebihan, disiplin dan sabar. Apabila selama 30 hari kebiasaan
itu dapat dilakukan dengan penuh keikhlasan dan sesuai syariat, maka pasca
puasa besar kemungkinan seseorang yang menjalankan puasa tersebut akan membawa
sifat-sifat positif tadi dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, kita
sebagai muslim hendaknya dapat menyambutnya dengan suka cita karena di dalamnya
memiliki banyak manfaat dan hikmah. Selamat menunaikan ibadah puasa, Wallahu
‘a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar