Kamis, 14 Agustus 2014

PUASA DAN KESEHATAN MENTAL OLEH FAIZ AMINUDDIN



            Di zaman modern seperti sekarang ini, secara fisik banyak manusia yang terlihat sehat dan tidak mempunyai keluhan apapun, namun sebenarnya dibalik kebugaran tubuhnya itu banyak di antara mereka yang mempunyai gangguan mental. Hal itu dapat di lihat dari perilaku masyarakat di sekitar kita yang gemar memamerkan penampilannya atau harta bendanya, pemarah, pendendam, korupsi, sombong, angkuh, berburuk sangka, pendusta, rakus, serakah, mudah putus asa, pemalas, kikir dan hilangnya rasa malu. Masalahnya, sebagian dari mereka tidak menyadari jika dirinya sedang mengalami gangguan mental, sehingga mereka tidak pernah berupaya untuk mencoba menyembuhkannya. Padahal apabila gangguan mental (psikis) itu terus dibiarkan, lambat laun akan menggerogoti kondisi fisiknya yang pada akhirnya bukan tidak mungkin merembet menjadi penyakit fisik. Lalu mental yang sehat itu seperti apa? Yaitu seseorang yang mampu menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain, masyarakat, lingkungan dan mampu menghadapi problem-problem hidup yang terjadi dengan cara yang positif (Zakiah Daradjat, 1993).

            Gangguan mental dalam pandangan Islam sebagaimana dijelaskan oleh Hamdani Bakran Azzaky dalam buku konseling dan psikoterapi Islam (2006) lebih disebabkan dua hal, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal diawali dari proses kelahiran seseorang, apakah prosesnya melalui perzinaan atau melalui pernikahan yang sah? Atau apakah makanan/minuman yang masuk dalam tubuhnya halal atau haram? Itu semua ternyata mempunyai pengaruh sangat besar terhadap kondisi mental seseorang. Hal itu pernah dibuktikan dalam sebuah penelitian di Inggris terhadap 200 anak, 100 anak dilahirkan di luar nikah dan 100 anak lagi dilahirkan melalui pernikahan yang sah. Setelah dibandingkan dari perkembangan fisik dan mentalnya selama 10 tahun, ditemukan bahwa anak-anak yang dilahirkan di luar pernikahan perkembangan fisik serta mentalnya tidak sebaik dan sesehat anak-anak yang dilahirkan melalui pernikahan yang sah. Kedua faktor eksternal, penyebab gangguan mental dari faktor eksternal lebih banyak dipengaruhi dari interaksi seseorang dengan Sang Pencipta, semakin jauh (mengingat) dari Allah SWT maka peluang seseorang untuk mengalami kegoncangan psikis/mental sangat besar.

Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi kegoncangan psikis atau gangguan mental adalah dengan menjalankan ibadah puasa. Namun, puasa itu harus dikerjakan dengan ikhlas mengingat puasa yang dijalankan karena terpaksa justru hanya menyiksa diri sendiri. Di sisi lain, menurut Siti Uriana Rahmawati Fuad dalam artikelnya berjudul pengaruh puasa terhadap kesehatan mental menyebutkan, bahwa puasa yang dikerjakan dengan ikhlas/tulus dapat mendatangkan banyak keuntungan, antara lain ketenangan jiwa (mental). Hal demikian dapat terjadi lantaran dalam puasa dapat melahirkan pengendalian diri (self control), efek positifnya mampu menjadi benteng bagi seseorang dari perilaku-perilaku yang mengarah pada patologi mental. Masalah inipun diperjelas dalam Hadist Rasulullah SAW: “puasa itu bukanlah sekedar menahan diri dari makan dan minum. Akan tetapi sesungguhnya puasa adalah mencegah diri dari segala perbuatan yang sia-sia serta menjauhi perbuatan-perbuatan yang kotor dan keji” (HR. Bukhori).

Dalam psikologi, kemampuan mengendalikan diri merupakan cerminan sehat tidaknya mental seseorang. Semisal, ketika seseorang dihadapkan sebuah peluang untuk melakukan korupsi, maka dia mampu mengendalikan dirinya untuk tidak mengambil peluang itu, sekalipun dia sebenarnya membutuhkan uang. Dia lebih memilih menjaga kehormatan dan agamanya daripada mengambil sesuatu yang bukan haknya. Berbeda bila orang tersebut terganggu mentalnya, maka saat dia mendapatkan kesempatan untuk melakukan tindakan korupsi, dia betul-betul akan memanfaatkan kesempatan itu untuk menuruti hawa nafsunya, meskipun dia sebenarnya sudah memiliki banyak harta. Untuk itu, pengendalian diri sebagai salah satu buah dari ibadah puasa merupakan instrumen penting bagi manusia dalam mengarungi kehidupan ini.

Bahkan, dijelaskan dalam artikel Rahmawati Fuad bahwa ada seorang guru besar dari Rusia yang bernama Nicolayev pernah mencoba menyembuhkan gangguan jiwa dengan berpuasa. Ia melakukan terapi terhadap pasiennya dengan menggunakan 30 hari puasa (sama dengan waktu puasa ramadhan). Nicolayev mengadakan penelitian eksperiment dengan membagi subjek menjadi dua kelompok yang sama besar, baik usia maupun berat ringannya gangguan yang dihadapi. Kelompok pertama diberi terapi atau pengobatan dengan menggunakan obat-obatan medis, sementara kelompok kedua diperintahkan untuk berpuasa selama 30 hari. Selama proses terapi, kedua kelompok secara kontinue diikuti perkembangan fisik dan mentalnya dengan tes-tes psikologi, dan hasilnya cukup mengejutkan karena di luar dugaan banyak pasien yang tidak bisa disembuhkan dengan penanganan medis ternyata bisa disembuhkan dengan terapi puasa.

Bagaimana puasa mampu memiliki kekuatan untuk menyembuhkan gangguan mental? Jawabannya karena dalam puasa terdapat habit atau pembiasaan-pembiasaan yang positif yang muaranya berasal dari self control atau pengendalian diri. Seseorang yang berpuasa dibiasakan untuk mengendalikan diri untuk selalu bersikap jujur, untuk tidak melakukan maksiat, untuk tidak melakukan perbuatan yang sia-sia atau berlebih-lebihan, disiplin dan sabar. Apabila selama 30 hari kebiasaan itu dapat dilakukan dengan penuh keikhlasan dan sesuai syariat, maka pasca puasa besar kemungkinan seseorang yang menjalankan puasa tersebut akan membawa sifat-sifat positif tadi dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, kita sebagai muslim hendaknya dapat menyambutnya dengan suka cita karena di dalamnya memiliki banyak manfaat dan hikmah. Selamat menunaikan ibadah puasa, Wallahu ‘a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar