Kata maaf adalah sebuah kata yang sederhana tetapi mempunyai
makna sangat besar, banyak pertikaian antara suami dengan istri, anak dengan
orang tua, atau kampung satu dengan kampung lain dapat terselesaikan hanya
karena ada kata “maaf”. Hanya saja, tidak semua orang mampu memberikan maaf
pada seseorang yang pernah menyakiti kita, apalagi jika kesalahan yang
dilakukan cukup menyakitkan, atau kalaupun memaafkan biasanya hanya bersifat
verbal, akan tetapi perasaan dendam masih melekat dalam diri, tanpa diringi
rasa tulus dan ikhlas untuk benar-benar memafkan tanpa ada sisa ganjalan-ganjalan
yang bisa merusak nilai dari kata maaf itu sendiri. Begitu pula sebaliknya,
tidak banyak orang yang setelah melakukan kesalahan, dengan jiwa yang besar
langsung mengakui kesalahan yang telah dilakukan, karena umumnya mereka malu,
gengsi, atau bahkan merasa tidak bersalah sekalipun jelas-jelas bersalah.
Manfaat dari memberi dan meminta maaf sangatlah
banyak, seperti seseorang bisa
memperoleh ketenangan hidup, mengurangi tekanan batin, melepaskan beban hidup,
menghapus sifat dendam terhadap seseorang, dan yang terpenting adalah
menjadikan badan terhindar dari macam-macam penyakit. Memaafkan juga memberi kedamaian
bagi hubungan interpersonal, menjauhkan dari sifat permusuhan dan pertikaian.
Penulis merasa penting mengangkat permasalahan tentang
pemafaan karena ditengah arus budaya modernisasi membuat sebagian kalangan memandang
bahwa maaf adalah sebuah kata naif untuk diucapkan, sampai-sampai ada ungkapan
“buat apa kata maaf jika ada polisi” atau “buat apa ada pengadilan kalau kata
maaf diapakai”. Tren negatif seperti itu mengakibatkan gersangnya meminta maaf
dan memberi maaf antar personal. Fenomena yang berkembang saat ini memang
mengarah ke arah sana, kita bisa melihat realitas di lapangan, baik di dunia
politik, olahraga, bahkan selebriti semuanya sudah terkontaminasi oleh
pengaruh-pengaruh negatif modernisasi.
Ungakapan di atas tersebut sangatlah provokatif dan
bisa merusak nilai atau value budaya timur khususnya di Indonesia yang salah
satunya menekankan aspek maaf memaafkan. Oleh karena itu sudah menjadi tanggung
jawab moral bagi semua elemen, baik itu orang tua, pengajar, serta pengambil
kebijakan untuk memberi contoh, melatih, dan mendidik para generasi penerus kita
untuk membiasakan mengatakan maaf jika salah dan memberi maaf jika orang lain
mempunyai salah kepada kita.
Kerangka Konseptual
Menyelesaikan konflik yang terjadi dan merajut
kembali hubungan yang telah goyah memang bukanlah persoalan yang mudah. Pemaafan
merupakan cara yang efektif dan penting untuk mengatasi permasalahan yang
dihadapi individu (Hargrave, 1994). Sekalipun dalam pemaafan dibutuhkan
kemampuan untuk melewati berbagai emosi negatif seperti kebencian, kemarahan,
penolakan, dan keinginan berbalas dendam. Hal tersebut dapat dicapai dengan
menyuburkan emosi-emosi positif seperti tindakan-tindakan yang baik,
memunculkan empati, dan bahkan rasa cinta (North dalam Enright & North,
1998).
Hasil penelitian dari beberapa ilmuan lain menemukan,
(Darby dan Schlenker, 1982; Ohbuchi dkk, 1989) bahwa meminta maaf sangat
efektif dalam mengatasi konflik interpersonal, karena permintaan maaf merupakan
sebuah pernyataan tanggung jawab tidak bersyarat atas kesalahan dan sebuah
komitmen untuk memperbaikinya. McCullough dkk. (1997) mengemukakan bahwa
memaafkan dapat dijadikan seperangkat motivasi untuk mengubah seseorang untuk
tidak membalas dendam dan meredakan dorongan untuk memelihara kebencian
terhadap pihak yang menyakiti serta meningkatkan dorongan untuk konsiliasi
hubungan dengan pihak yang menyakiti. Worthington dan Wade (1999) menemukan
bahwa secara kesehatan memaafkan memberikan keuntungan psikologis, dan
memaafkan merupakan terapi yang efektif dalam intervensi yang membebaskan
seseorang dari kemarahan dan rasa bersalah.
Betapa berharganya permintaan maaf dan memaafkan
kepada seseorang, sampai-sampai bisa menghilangkan kondisi negatif pada diri
dan menghilangkan tuntutan terhadap orang yang menjadi pelaku dalam peristiwa
yang menyakitkan, serta memunculkan berbagai perasaan positif oleh korban
terhadap pelaku (Firmansyah dan Prawasti, 2008). Tidak berhenti sampai di situ,
ada aspek psikologis, motivasi, komitmen, dan unsur terapi dari pemaafan itu
sendiri, yang efeknya sangat baik bagi perkembangan psikis seseorang karena
dapat mengurangi beban atau tekanan emosi, depresi, dan dendam. Logika
sederhananya, jika seseorang dalam menjalani hidup ini tanpa mempunyai beban,
tanpa disertai emosi yang berlebihan, sampai memendam dendam berkepanjangan,
tubuh ini akan terjauh dari berbagai macam gangguan psikologis yang lama
kelamaan berefek langsung kepada penyakit fisik yang akut.
Kasus: Memaafkan Mantan Presiden
Soeharto dan Kroni-Kroninya
Pada
saat kebobrokan orde baru tercium oleh masyarakat luas, Presiden Soeharto yang
dulunya sangat disegani, dihormati, dan dicintai tiba-tiba berubah menjadi
orang yang paling dibenci. Kejahatan yang dilakukan seperti korupsi, penculikan
para aktivis, sampai pada pembungkaman rakyat untuk berbicara menjadi sebab
mengapa orang begitu anti pati kepadanya. Kebusukan yang mulai terlihat ini memicu
para mahasiswa dan para aktivis untuk menggalakkan perubahan, sehingga meletuslah
peristiwa reformasi tahun 1998 yang menjadi titik balik bagi kehidupan sang
Jenderal berbintang lima tersebut. Massa menuntut supaya Soeharto beserta
kroni-kroninya mundur dari jabatannya, akibat adanya tekanan publik yang sangat
kuat membuat orang-orang yang dulunya mendukung, mengawal, dan menjadi pendukung
setia mulai pasang badan dengan bergabung dengan kelompok reformasi dan ada
pula yang mengundurkan menjadi Menteri, semuanya dilakukan dalam rangka menyelamatkan
karir polititknya masing-masing. Soeharto akhirnya mengundurkan diri sebagai
Presiden RI, akan tetapi tuntutan rakyat tidak berhenti sampai di situ, sebab
mereka menuntut untuk mengadili Soeharto dan kroni-kroninya.
Selang
beberapa waktu pasca lengser dari kursi kepresidenan, mantan bapak pembangunan
tersebut sering mengalami sakit-sakitan, dalam keadaan yang menyedihkan seperti
itu banyak pihak, seperti dari keluarga Soeharto dan para koleganya mendesak pemaafan
dari seluruh rakyat Indonesia. Desakan tersebut juga disuarakan sejumlah elite
politik atau pejabat negara sebagaimana desakan agar dikesampingkan (deponeering) perkara yang telah terlanjur
diajukan Kejaksaan Agung atas dugaan penyelewengan dana pada yayasan milik
Soeharto. Akibatnya, gelombang protes dari para korban kekejaman orde baru dan
para aktivis untuk tetap memperkarakan Soeharto menjadi harga mati. Lalu
bagaimanakah langkah bijak yang diambil dalam memutuskan kasus Soeharto dan
kroni-kroninya, dimaafkan atau tidak?
Analisis Kasus Soeharto dan
Kroni-Kroninya
Berbicara masalah maaf dan memaafkan, itu pun masih
harus diklasifikasikan secara mendalam, karena di negara hukum seperti di
Indonesia ini, ada beberapa tindakan yang manakala itu dilanggar maka proses
hukum yang akan mengadilinya, seperti korupsi, penganiayaan, pembunuhan,
pencurian, penculikan, dan lain sebagainya. Seperti kasus yang mendera Soeharto
dan para kroninya, mereka dituduh bersekongkol telah melakukan pelanggaran HAM
(hak asasi manusia) berat dengan menculik para aktivis dan orang-orang yang kritis
pada masa orde baru, KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), dan menjalankan
pemerintahan otoriter dengan membungkam aspirasi rakyat dengan mengatasnamakan demi
menjaga keutuhan NKRI serta kesejahteraan rakyat.
Ada
pendapat yang mengatakan bahwa sangat memalukan jika kita tidak mempunyai etika
bagaimana cara memaafkan orang yang telah berbuat salah tanpa pernah jelas
duduk perkaranya, hal ini justru seperti menyetujui pengkhianatan. Pemberian
maaf yang tak bertanggung jawab sama seperti kita membiarkan segala kesalahan
yang terus berulang dan tidak pernah bisa menunjukkan solidaritas kepada mereka
yang lemah serta menjadi korban kesalahan itu. Penderitaan yang dirasakan para
korban keganasan pemerintahan orde baru tentu sampai kapan pun akan selalu mengingat
kejadian-kejadian pahit yang pernah mendera keluarganya.
Oleh
karena itu dalam memberi maaf seseorang atau sekelompok orang, menurut Hendardi
(2009) setidaknya ada empat hal yang harus dilakukan oleh pelaku, yaitu pertama, sebelum memberikan maaf, perlunya
diketahui apa sebenarnya kesalahan yang telah diperbuat seseorang atau
sekelompok orang yang merugikan dan menimbulkan penderitaan pada individu atau kelompok.
Kedua, setiap kesalahan yang telah
diperbuat harus diakui dengan jujur. Ketiga,
suatu pemaafan akan menjadi sia-sia, sekalipun sudah mengakui kesalahan akan
tetapi tanpa diiringi ikrar atau janji untuk tidak mengulangi
kesalahan-kesalahan itu. Keempat,
seusai pemberian maaf dari pihak yang dirugikan yang menjadi korban kekejaman,
pengawasan atas pelaksanaan ikrar dan janji harus dilakukan.
Sedangkan dalam kasus Soeharto dan para kroninya,
belum satu pun syarat di atas yang dilakukan, khusus dari Soeharto hanya
sebatas meminta maaf tanpa adanya pengakuan dan komitmen untuk mencoba
memperbaiki semuanya, itu pun diwakilkan orang lain bukan dilakukan sendiri.
Ditambah lagi apa yang telah dilakukan oleh Soeharto dan kroni-kroninya tidak
hanya menyakiti satu atau dua orang, ribuan bahkan jutaan orang telah menjadi
korban keganasan pemerintahan orde baru, satu hal lagi, masalah hukum yang menjeratnya
juga tidak pernah jelas ujung pangkalnya, sehingga membuat rakyat dan para
korban menjadi tersulut amarahnya, sebab keinginan mereka untuk menghukum
Soeharto dan kroninya seberat-beratnya sepertinya hanya bertepuk sebelah
tangan.
Banyak sekali korban-korban yang mengaku mengalami
kebiadaban masa orde baru yang sampai sekarang ini belum bisa melupakan kisah
tragis yang pernah dialaminya, seperti ada yang mengaku kehilangan anak
kesayangannya yang menjadi aktivis Mahasiswa, atau istri yang kehilangan
suaminya karena suaminya sangat kritis terhadap penguasa orde baru tersebut,
lebih menyakitkan lagi keberadaan orang kesayangganya itu tidak pernah jelas
dan tidak ada kabar sama sekali, entah hilang kemana. Sehingga apa yang
ditawarkan Hendardi di atas, bahwa dalam memberi maaf kepada seseorang
setidaknya melakukan empat hal yang sifatnya sangat fundamental, pertama yaitu
mengungkapkan kesalahan yang telah dilakukan, mengakui kesalahan yang telah
dilakukannya, mengucapkan janji untuk tidak mengulanginya lagi, dan
mengaplikasikan komitmen atau janji yang telah ia sepakati.
Jika melihat pernyataan dari Spring & Spring, ia
menegaskan bahwa sejumlah individu berupaya untuk bertindak terburu-buru
memberi maaf, sebaliknya juga terburu-buru mengharapkan segera dimaafkan ketika
memintanya, namun akhirnya mereka kecewa karena kenyataan yang mereka hadapi
sama sekali berbeda. Memberi maaf seperti layaknya membebaskan seorang tahanan
dari belenggu kesalahan. Terlalu cepat memberi maaf menyebabkan tahanan bebas
tanpa dikenai sangsi. Sebaliknya, individu yang memberi maaf sepertinya
menggantikan kedudukan sebagai tahanan. Apa jadinya bila seseorang terlalu
cepat memberi maaf kepada pihak lain akibat dari peristiwa yang menyakitkan,
tentu saja hal itu tidak akan mudah atau sangat sulit untuk dilakukan. Jika
terlalu cepat memberikan maaf, apalagi bila kesalahannya besar, pihak yang
bersalah akan merasa bahwa perilaku yang ia lakukan tidak memiliki bobot yang
berarti bagi keretakan hubungan mereka. Hasilnya, ia akan menganggap perbuatan
tersebut tidak perlu dipermasalahkan sehingga kalau pun terjadi kembali tidak
akan menimbulkan masalah besar.
Oleh sebab itu, khusus dalam kasus Soeharto dan
kroni-kroninya hendaknya dibuktikan dulu lewat jalur hukum, sebab permasalahan
yang dilakukan sudah berkaitan tentang masalah hukum, penegakan hukum itu
dilakukan supaya kesalahan yang dilakukan bisa terungkap dengan jelas dan
transparan, terserah hasil dari pengadilan nanti, benar tidaknya ia terlibat
akan membuat rakyat menjadi lebih mudah, tulus, dan ikhlas lagi dalam memberi
maaf. Hanya saja semuanya sudah terlambat, sebab ia sudah dipanggil oleh sang
Khaliq. Sekalipun Spring-Spring menegaskan bahwa sejumlah individu berupaya
untuk bertindak terburu-buru memberi maaf, sebaliknya juga terburu-buru
mengharapkan segera dimaafkan ketika memintanya, namun akhirnya mereka kecewa
karena kenyataannya yang mereka hadapi sama sekali berbeda. Memberi maaf
seperti layaknya membebaskan seorang tahanan dari belenggu kesalahan. Terlalu
cepat memberi maaf menyebabkan tahanan bebas tanpa dikenai sangsi. Sebaliknya,
individu yang memberi maaf sepertinya menggantikan kedudukan sebagai tahanan.
Apa jadinya bila seseorang terlalu cepat memberi maaf kepada pihak lain akibat
dari peristiwa yang menyakitkan, tentu saja hal itu tidak akan mudah atau
sangat sulit untuk dilakukan. Tapi apakah pantas kita memendam dendam kepada
orang yang sudah meninggal dunia? Tentu tidak elok, proses hukum pun otomatis
berhenti.
Lalu bagaimanakah langkah selanjutnya, bagaimana
dengan para kroninya, apakah harus juga kita maafkan? Sekalipun aktor utamanya
sudah meninggalkan dunia untuk selamanya, tetapi masih ada beberapa orang yang
diduga terlibat korupsi seperti anak bungsu Soeharto sendiri dan terlibat beberapa
aksi represif terhadap rakyat pada masa orde baru, salah satunya adalah Wiranto
dan Prabowo Subianto, sebab kedua orang ini mempunyai posisi penting di jajaran
TNI, keduanya diduga melakukan pelanggaran HAM berat, seperti kekerasan yang
mengatasnamakan operasi DOM (daerah operasi militer) di berbagai daerah, kasus semanggi,
dan lain sebagainya.
Permasalahannya Tomy sudah menjalani hukuman dan
denda, sedangkan Wiranto beserta Prabowo dinyatakan tidak terlibat oleh
pengadilan tinggi Militer, yang berarti jalur hukum sudah mereka lalui semua, harusnya
jika mereka sudah mengakui tidak terlibat dan proses hukum pun menyatakan
demikian, masyarakat harusnya mau memaafkan, tetapi apakah masyarakat umum bisa
memaafkan? Pertanyaan tersebut sebenarnya bisa dilihat dari peristiwa pemilu
2009 kemaren, masalahnya baik Wiranto maupun Prabowo sama-sama mendirikan
partai, logikanya jika mereka belum dimaafkan mungkin partai yang mereka
dirikan tidak akan dilirik pemilih, tetapi kenyataanya ternyata partai mereka
berdua diterima, sebab baik Hanura dan Gerindra lolos ambang batas suara yang
ditentukan KPU yaitu 2,5%, kedua partai tersebut malah memperoleh lebih dari
2,5% suara, Hanura 3,3% suara, sedangkan Gerindra 4,5% suara.
Kesimpulan dan Implementasi
Permintaan maaf dan memaafkan menjadi langka
ditengah masyarakat modern seperti sekarang ini, kalaupun masih ditemukan rasa
maaf dan memaafkan sebatas ungkapan verbal yang hanya menjadi simbol atau
ritual formal yang esensi dari maaf dan memaafkan tadi belum sampai pada titik
utamanya, yaitu rasa tulus dan ikhlas untuk menuntaskan segenap dendam yang ada
dalam hati, sehingga kebersamaan dan keharmonisan dapat terwujud, untuk
kedepannya bisa tetap berjalan berdampingan dan saling membantu tanpa ada beban
di masa lalu.
Menurut Lewis B. Smedes (1984) membagi empat tahapan
dalam pemberian maaf, pertama adalah
membalut rasa sakit. Sakit hati yang dibiarkan berarti merasakan sakit tanpa
mengobatinya sehingga lambat laun akan menggerogoti kebahagiaan dan
ketentraman. Kedua, meredakan
kebencian, kebencian sangat berbahaya karena kebencian justru melukai si
pembenci sendiri melebihi orang yang dibenci, oleh karena itu membutuhkan
penyembuhan. Ketiga, upaya
penyembuhan diri sendiri, seseorang tidak mudah melepaskan kesalahan yang
dilakukan orang lain, sebab akan lebih mudah dengan jalan melepaskan orang itu
dari kesalahannya dalam ingatannya. Keempat,
berjalan bersama, bagi dua orang yang berjalan bersama setelah bermusuhan
memerlukan ketulusan. Pihak yang menyakiti harus tulus menyatakan kepada pihak
yang disakiti dengan tidak akan menyakiti hati lagi. Mereka juga harus berjanji
untuk berjalan bersama di masa mendatang dan saling membutuhkan satu sama lain.
Proses memaafkan adalah proses di mana seseorang
memaknai rasa sakit yang ia rasakan, seiring berjalannya waktu ia pun akan
menemukan penawar yang tepat bagi rasa sakit yang ia rasakan, hanya saja itu
membutuhkan waktu yang kadang-kadang tidak sedikit orang terbelenggu sampai
berlarut-larut sehingga permasalahannya semakin parah dan tidak jelas
penyelesaiannya.
Melihat kasus dari mantan Presiden Soeharto tentu
teori pemaafan akan bergeser, sebab kita hidup di negara hukum, jadi ada
beberapa kesalahan yang tidak bisa sekedar hanya meminta maaf terus masalahnya
akan selesai, sekalipun sudah bermaaf-maafan tetapi hukum masih terus berjalan.
Sedangkan bila yang bersangkutan sudah meninggal dunia maka proses hukum akan
berhenti, sebab proses hukum tidak bisa dilimpahkan pada ahli warisnya kecuali
jika ahli warisnya juga terlibat. Sedangkan dalam kasus kroni-kroninya, karena
sebagian yang diduga terlibat belum meninggal dunia jadi proses hukum harus
ditegakkan dulu, bersalah tidaknya biarlah hukum yang memutuskan. Jadi
prinsipnya sebenarnya biarkan proses hukum tetap berjalan tapi secara personal
sudah kita maafkan.
Persoalannya, jika tidak demikian maka akan membuat
orang lain meniru perbuatan tersebut, akan memberi contoh yang buruk bagi
rakyat, akan memberi pendidikan yang sesat kepada rakyat. Alasannya tentu orang
yang melakukan kesalahannya yang besar saja dibebaskan, untuk apa ada
pengadilan dan polisi, dan akan menstimulus mereka untuk melakukan
kesalahan-kesalahan yang sama. Tapi bila prinsipnya seperti yang di atas,
secara personal kita maafkan tapi proses hukum tetap berjalan maka akan memberi
contoh, pendidikan, dan rangsangan yang baik kepada masyarakat, mereka akan jera
untuk melakukan kesalahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar