Kamis, 14 Agustus 2014

PSIKOLOGI PEMAFAAN OLEH FAIZ AMINUDDIN, MA



Kata maaf adalah sebuah kata yang sederhana tetapi mempunyai makna sangat besar, banyak pertikaian antara suami dengan istri, anak dengan orang tua, atau kampung satu dengan kampung lain dapat terselesaikan hanya karena ada kata “maaf”. Hanya saja, tidak semua orang mampu memberikan maaf pada seseorang yang pernah menyakiti kita, apalagi jika kesalahan yang dilakukan cukup menyakitkan, atau kalaupun memaafkan biasanya hanya bersifat verbal, akan tetapi perasaan dendam masih melekat dalam diri, tanpa diringi rasa tulus dan ikhlas untuk benar-benar memafkan tanpa ada sisa ganjalan-ganjalan yang bisa merusak nilai dari kata maaf itu sendiri. Begitu pula sebaliknya, tidak banyak orang yang setelah melakukan kesalahan, dengan jiwa yang besar langsung mengakui kesalahan yang telah dilakukan, karena umumnya mereka malu, gengsi, atau bahkan merasa tidak bersalah sekalipun jelas-jelas bersalah.

Manfaat dari memberi dan meminta maaf sangatlah banyak, seperti  seseorang bisa memperoleh ketenangan hidup, mengurangi tekanan batin, melepaskan beban hidup, menghapus sifat dendam terhadap seseorang, dan yang terpenting adalah menjadikan badan terhindar dari macam-macam penyakit. Memaafkan juga memberi kedamaian bagi hubungan interpersonal, menjauhkan dari sifat permusuhan dan pertikaian.

Penulis merasa penting mengangkat permasalahan tentang pemafaan karena ditengah arus budaya modernisasi membuat sebagian kalangan memandang bahwa maaf adalah sebuah kata naif untuk diucapkan, sampai-sampai ada ungkapan “buat apa kata maaf jika ada polisi” atau “buat apa ada pengadilan kalau kata maaf diapakai”. Tren negatif seperti itu mengakibatkan gersangnya meminta maaf dan memberi maaf antar personal. Fenomena yang berkembang saat ini memang mengarah ke arah sana, kita bisa melihat realitas di lapangan, baik di dunia politik, olahraga, bahkan selebriti semuanya sudah terkontaminasi oleh pengaruh-pengaruh negatif modernisasi.

Ungakapan di atas tersebut sangatlah provokatif dan bisa merusak nilai atau value budaya timur khususnya di Indonesia yang salah satunya menekankan aspek maaf memaafkan. Oleh karena itu sudah menjadi tanggung jawab moral bagi semua elemen, baik itu orang tua, pengajar, serta pengambil kebijakan untuk memberi contoh, melatih, dan mendidik para generasi penerus kita untuk membiasakan mengatakan maaf jika salah dan memberi maaf jika orang lain mempunyai salah kepada kita.

Kerangka Konseptual

Menyelesaikan konflik yang terjadi dan merajut kembali hubungan yang telah goyah memang bukanlah persoalan yang mudah. Pemaafan merupakan cara yang efektif dan penting untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi individu (Hargrave, 1994). Sekalipun dalam pemaafan dibutuhkan kemampuan untuk melewati berbagai emosi negatif seperti kebencian, kemarahan, penolakan, dan keinginan berbalas dendam. Hal tersebut dapat dicapai dengan menyuburkan emosi-emosi positif seperti tindakan-tindakan yang baik, memunculkan empati, dan bahkan rasa cinta (North dalam Enright & North, 1998).  

Hasil penelitian dari beberapa ilmuan lain menemukan, (Darby dan Schlenker, 1982; Ohbuchi dkk, 1989) bahwa meminta maaf sangat efektif dalam mengatasi konflik interpersonal, karena permintaan maaf merupakan sebuah pernyataan tanggung jawab tidak bersyarat atas kesalahan dan sebuah komitmen untuk memperbaikinya. McCullough dkk. (1997) mengemukakan bahwa memaafkan dapat dijadikan seperangkat motivasi untuk mengubah seseorang untuk tidak membalas dendam dan meredakan dorongan untuk memelihara kebencian terhadap pihak yang menyakiti serta meningkatkan dorongan untuk konsiliasi hubungan dengan pihak yang menyakiti. Worthington dan Wade (1999) menemukan bahwa secara kesehatan memaafkan memberikan keuntungan psikologis, dan memaafkan merupakan terapi yang efektif dalam intervensi yang membebaskan seseorang dari kemarahan dan rasa bersalah.

Betapa berharganya permintaan maaf dan memaafkan kepada seseorang, sampai-sampai bisa menghilangkan kondisi negatif pada diri dan menghilangkan tuntutan terhadap orang yang menjadi pelaku dalam peristiwa yang menyakitkan, serta memunculkan berbagai perasaan positif oleh korban terhadap pelaku (Firmansyah dan Prawasti, 2008). Tidak berhenti sampai di situ, ada aspek psikologis, motivasi, komitmen, dan unsur terapi dari pemaafan itu sendiri, yang efeknya sangat baik bagi perkembangan psikis seseorang karena dapat mengurangi beban atau tekanan emosi, depresi, dan dendam. Logika sederhananya, jika seseorang dalam menjalani hidup ini tanpa mempunyai beban, tanpa disertai emosi yang berlebihan, sampai memendam dendam berkepanjangan, tubuh ini akan terjauh dari berbagai macam gangguan psikologis yang lama kelamaan berefek langsung kepada penyakit fisik yang akut.

Kasus: Memaafkan Mantan Presiden Soeharto dan Kroni-Kroninya
Pada saat kebobrokan orde baru tercium oleh masyarakat luas, Presiden Soeharto yang dulunya sangat disegani, dihormati, dan dicintai tiba-tiba berubah menjadi orang yang paling dibenci. Kejahatan yang dilakukan seperti korupsi, penculikan para aktivis, sampai pada pembungkaman rakyat untuk berbicara menjadi sebab mengapa orang begitu anti pati kepadanya. Kebusukan yang mulai terlihat ini memicu para mahasiswa dan para aktivis untuk menggalakkan perubahan, sehingga meletuslah peristiwa reformasi tahun 1998 yang menjadi titik balik bagi kehidupan sang Jenderal berbintang lima tersebut. Massa menuntut supaya Soeharto beserta kroni-kroninya mundur dari jabatannya, akibat adanya tekanan publik yang sangat kuat membuat orang-orang yang dulunya mendukung, mengawal, dan menjadi pendukung setia mulai pasang badan dengan bergabung dengan kelompok reformasi dan ada pula yang mengundurkan menjadi Menteri, semuanya dilakukan dalam rangka menyelamatkan karir polititknya masing-masing. Soeharto akhirnya mengundurkan diri sebagai Presiden RI, akan tetapi tuntutan rakyat tidak berhenti sampai di situ, sebab mereka menuntut untuk mengadili Soeharto dan kroni-kroninya.

Selang beberapa waktu pasca lengser dari kursi kepresidenan, mantan bapak pembangunan tersebut sering mengalami sakit-sakitan, dalam keadaan yang menyedihkan seperti itu banyak pihak, seperti dari keluarga Soeharto dan para koleganya mendesak pemaafan dari seluruh rakyat Indonesia. Desakan tersebut juga disuarakan sejumlah elite politik atau pejabat negara sebagaimana desakan agar dikesampingkan (deponeering) perkara yang telah terlanjur diajukan Kejaksaan Agung atas dugaan penyelewengan dana pada yayasan milik Soeharto. Akibatnya, gelombang protes dari para korban kekejaman orde baru dan para aktivis untuk tetap memperkarakan Soeharto menjadi harga mati. Lalu bagaimanakah langkah bijak yang diambil dalam memutuskan kasus Soeharto dan kroni-kroninya, dimaafkan atau tidak?

Analisis Kasus Soeharto dan Kroni-Kroninya

Berbicara masalah maaf dan memaafkan, itu pun masih harus diklasifikasikan secara mendalam, karena di negara hukum seperti di Indonesia ini, ada beberapa tindakan yang manakala itu dilanggar maka proses hukum yang akan mengadilinya, seperti korupsi, penganiayaan, pembunuhan, pencurian, penculikan, dan lain sebagainya. Seperti kasus yang mendera Soeharto dan para kroninya, mereka dituduh bersekongkol telah melakukan pelanggaran HAM (hak asasi manusia) berat dengan menculik para aktivis dan orang-orang yang kritis pada masa orde baru, KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), dan menjalankan pemerintahan otoriter dengan membungkam aspirasi rakyat dengan mengatasnamakan demi menjaga keutuhan NKRI serta kesejahteraan rakyat.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa sangat memalukan jika kita tidak mempunyai etika bagaimana cara memaafkan orang yang telah berbuat salah tanpa pernah jelas duduk perkaranya, hal ini justru seperti menyetujui pengkhianatan. Pemberian maaf yang tak bertanggung jawab sama seperti kita membiarkan segala kesalahan yang terus berulang dan tidak pernah bisa menunjukkan solidaritas kepada mereka yang lemah serta menjadi korban kesalahan itu. Penderitaan yang dirasakan para korban keganasan pemerintahan orde baru tentu sampai kapan pun akan selalu mengingat kejadian-kejadian pahit yang pernah mendera keluarganya. 

Oleh karena itu dalam memberi maaf seseorang atau sekelompok orang, menurut Hendardi (2009) setidaknya ada empat hal yang harus dilakukan oleh pelaku, yaitu pertama, sebelum memberikan maaf, perlunya diketahui apa sebenarnya kesalahan yang telah diperbuat seseorang atau sekelompok orang yang merugikan dan menimbulkan penderitaan pada individu atau kelompok. Kedua, setiap kesalahan yang telah diperbuat harus diakui dengan jujur. Ketiga, suatu pemaafan akan menjadi sia-sia, sekalipun sudah mengakui kesalahan akan tetapi tanpa diiringi ikrar atau janji untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan itu. Keempat, seusai pemberian maaf dari pihak yang dirugikan yang menjadi korban kekejaman, pengawasan atas pelaksanaan ikrar dan janji harus dilakukan.

Sedangkan dalam kasus Soeharto dan para kroninya, belum satu pun syarat di atas yang dilakukan, khusus dari Soeharto hanya sebatas meminta maaf tanpa adanya pengakuan dan komitmen untuk mencoba memperbaiki semuanya, itu pun diwakilkan orang lain bukan dilakukan sendiri. Ditambah lagi apa yang telah dilakukan oleh Soeharto dan kroni-kroninya tidak hanya menyakiti satu atau dua orang, ribuan bahkan jutaan orang telah menjadi korban keganasan pemerintahan orde baru, satu hal lagi, masalah hukum yang menjeratnya juga tidak pernah jelas ujung pangkalnya, sehingga membuat rakyat dan para korban menjadi tersulut amarahnya, sebab keinginan mereka untuk menghukum Soeharto dan kroninya seberat-beratnya sepertinya hanya bertepuk sebelah tangan.

Banyak sekali korban-korban yang mengaku mengalami kebiadaban masa orde baru yang sampai sekarang ini belum bisa melupakan kisah tragis yang pernah dialaminya, seperti ada yang mengaku kehilangan anak kesayangannya yang menjadi aktivis Mahasiswa, atau istri yang kehilangan suaminya karena suaminya sangat kritis terhadap penguasa orde baru tersebut, lebih menyakitkan lagi keberadaan orang kesayangganya itu tidak pernah jelas dan tidak ada kabar sama sekali, entah hilang kemana. Sehingga apa yang ditawarkan Hendardi di atas, bahwa dalam memberi maaf kepada seseorang setidaknya melakukan empat hal yang sifatnya sangat fundamental, pertama yaitu mengungkapkan kesalahan yang telah dilakukan, mengakui kesalahan yang telah dilakukannya, mengucapkan janji untuk tidak mengulanginya lagi, dan mengaplikasikan komitmen atau janji yang telah ia sepakati.

Jika melihat pernyataan dari Spring & Spring, ia menegaskan bahwa sejumlah individu berupaya untuk bertindak terburu-buru memberi maaf, sebaliknya juga terburu-buru mengharapkan segera dimaafkan ketika memintanya, namun akhirnya mereka kecewa karena kenyataan yang mereka hadapi sama sekali berbeda. Memberi maaf seperti layaknya membebaskan seorang tahanan dari belenggu kesalahan. Terlalu cepat memberi maaf menyebabkan tahanan bebas tanpa dikenai sangsi. Sebaliknya, individu yang memberi maaf sepertinya menggantikan kedudukan sebagai tahanan. Apa jadinya bila seseorang terlalu cepat memberi maaf kepada pihak lain akibat dari peristiwa yang menyakitkan, tentu saja hal itu tidak akan mudah atau sangat sulit untuk dilakukan. Jika terlalu cepat memberikan maaf, apalagi bila kesalahannya besar, pihak yang bersalah akan merasa bahwa perilaku yang ia lakukan tidak memiliki bobot yang berarti bagi keretakan hubungan mereka. Hasilnya, ia akan menganggap perbuatan tersebut tidak perlu dipermasalahkan sehingga kalau pun terjadi kembali tidak akan menimbulkan masalah besar.

Oleh sebab itu, khusus dalam kasus Soeharto dan kroni-kroninya hendaknya dibuktikan dulu lewat jalur hukum, sebab permasalahan yang dilakukan sudah berkaitan tentang masalah hukum, penegakan hukum itu dilakukan supaya kesalahan yang dilakukan bisa terungkap dengan jelas dan transparan, terserah hasil dari pengadilan nanti, benar tidaknya ia terlibat akan membuat rakyat menjadi lebih mudah, tulus, dan ikhlas lagi dalam memberi maaf. Hanya saja semuanya sudah terlambat, sebab ia sudah dipanggil oleh sang Khaliq. Sekalipun Spring-Spring menegaskan bahwa sejumlah individu berupaya untuk bertindak terburu-buru memberi maaf, sebaliknya juga terburu-buru mengharapkan segera dimaafkan ketika memintanya, namun akhirnya mereka kecewa karena kenyataannya yang mereka hadapi sama sekali berbeda. Memberi maaf seperti layaknya membebaskan seorang tahanan dari belenggu kesalahan. Terlalu cepat memberi maaf menyebabkan tahanan bebas tanpa dikenai sangsi. Sebaliknya, individu yang memberi maaf sepertinya menggantikan kedudukan sebagai tahanan. Apa jadinya bila seseorang terlalu cepat memberi maaf kepada pihak lain akibat dari peristiwa yang menyakitkan, tentu saja hal itu tidak akan mudah atau sangat sulit untuk dilakukan. Tapi apakah pantas kita memendam dendam kepada orang yang sudah meninggal dunia? Tentu tidak elok, proses hukum pun otomatis berhenti.

Lalu bagaimanakah langkah selanjutnya, bagaimana dengan para kroninya, apakah harus juga kita maafkan? Sekalipun aktor utamanya sudah meninggalkan dunia untuk selamanya, tetapi masih ada beberapa orang yang diduga terlibat korupsi seperti anak bungsu Soeharto sendiri dan terlibat beberapa aksi represif terhadap rakyat pada masa orde baru, salah satunya adalah Wiranto dan Prabowo Subianto, sebab kedua orang ini mempunyai posisi penting di jajaran TNI, keduanya diduga melakukan pelanggaran HAM berat, seperti kekerasan yang mengatasnamakan operasi DOM (daerah operasi militer) di berbagai daerah, kasus semanggi, dan lain sebagainya.

Permasalahannya Tomy sudah menjalani hukuman dan denda, sedangkan Wiranto beserta Prabowo dinyatakan tidak terlibat oleh pengadilan tinggi Militer, yang berarti jalur hukum sudah mereka lalui semua, harusnya jika mereka sudah mengakui tidak terlibat dan proses hukum pun menyatakan demikian, masyarakat harusnya mau memaafkan, tetapi apakah masyarakat umum bisa memaafkan? Pertanyaan tersebut sebenarnya bisa dilihat dari peristiwa pemilu 2009 kemaren, masalahnya baik Wiranto maupun Prabowo sama-sama mendirikan partai, logikanya jika mereka belum dimaafkan mungkin partai yang mereka dirikan tidak akan dilirik pemilih, tetapi kenyataanya ternyata partai mereka berdua diterima, sebab baik Hanura dan Gerindra lolos ambang batas suara yang ditentukan KPU yaitu 2,5%, kedua partai tersebut malah memperoleh lebih dari 2,5% suara, Hanura 3,3% suara, sedangkan Gerindra 4,5% suara.

Kesimpulan dan Implementasi

Permintaan maaf dan memaafkan menjadi langka ditengah masyarakat modern seperti sekarang ini, kalaupun masih ditemukan rasa maaf dan memaafkan sebatas ungkapan verbal yang hanya menjadi simbol atau ritual formal yang esensi dari maaf dan memaafkan tadi belum sampai pada titik utamanya, yaitu rasa tulus dan ikhlas untuk menuntaskan segenap dendam yang ada dalam hati, sehingga kebersamaan dan keharmonisan dapat terwujud, untuk kedepannya bisa tetap berjalan berdampingan dan saling membantu tanpa ada beban di masa lalu.

Menurut Lewis B. Smedes (1984) membagi empat tahapan dalam pemberian maaf, pertama adalah membalut rasa sakit. Sakit hati yang dibiarkan berarti merasakan sakit tanpa mengobatinya sehingga lambat laun akan menggerogoti kebahagiaan dan ketentraman. Kedua, meredakan kebencian, kebencian sangat berbahaya karena kebencian justru melukai si pembenci sendiri melebihi orang yang dibenci, oleh karena itu membutuhkan penyembuhan. Ketiga, upaya penyembuhan diri sendiri, seseorang tidak mudah melepaskan kesalahan yang dilakukan orang lain, sebab akan lebih mudah dengan jalan melepaskan orang itu dari kesalahannya dalam ingatannya. Keempat, berjalan bersama, bagi dua orang yang berjalan bersama setelah bermusuhan memerlukan ketulusan. Pihak yang menyakiti harus tulus menyatakan kepada pihak yang disakiti dengan tidak akan menyakiti hati lagi. Mereka juga harus berjanji untuk berjalan bersama di masa mendatang dan saling membutuhkan satu sama lain.

Proses memaafkan adalah proses di mana seseorang memaknai rasa sakit yang ia rasakan, seiring berjalannya waktu ia pun akan menemukan penawar yang tepat bagi rasa sakit yang ia rasakan, hanya saja itu membutuhkan waktu yang kadang-kadang tidak sedikit orang terbelenggu sampai berlarut-larut sehingga permasalahannya semakin parah dan tidak jelas penyelesaiannya.

Melihat kasus dari mantan Presiden Soeharto tentu teori pemaafan akan bergeser, sebab kita hidup di negara hukum, jadi ada beberapa kesalahan yang tidak bisa sekedar hanya meminta maaf terus masalahnya akan selesai, sekalipun sudah bermaaf-maafan tetapi hukum masih terus berjalan. Sedangkan bila yang bersangkutan sudah meninggal dunia maka proses hukum akan berhenti, sebab proses hukum tidak bisa dilimpahkan pada ahli warisnya kecuali jika ahli warisnya juga terlibat. Sedangkan dalam kasus kroni-kroninya, karena sebagian yang diduga terlibat belum meninggal dunia jadi proses hukum harus ditegakkan dulu, bersalah tidaknya biarlah hukum yang memutuskan. Jadi prinsipnya sebenarnya biarkan proses hukum tetap berjalan tapi secara personal sudah kita maafkan.

Persoalannya, jika tidak demikian maka akan membuat orang lain meniru perbuatan tersebut, akan memberi contoh yang buruk bagi rakyat, akan memberi pendidikan yang sesat kepada rakyat. Alasannya tentu orang yang melakukan kesalahannya yang besar saja dibebaskan, untuk apa ada pengadilan dan polisi, dan akan menstimulus mereka untuk melakukan kesalahan-kesalahan yang sama. Tapi bila prinsipnya seperti yang di atas, secara personal kita maafkan tapi proses hukum tetap berjalan maka akan memberi contoh, pendidikan, dan rangsangan yang baik kepada masyarakat, mereka akan jera untuk melakukan kesalahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar