Kamis, 28 Agustus 2014

REMAJA DAN ANCAMAN SEKS BEBAS OLEH FAIZ AMINUDDIN, MA




Akhir-akhir ini, berita tentang perilaku seks bebas di kalangan remaja sudah semakin meresahkan. Bahkan, saat ini virus tersebut tidak hanya menyerang para remaja pekotaan saja, melainkan juga sudah mulai masuk menyerang para remaja di pedesaan. Apabila dicermati, banyak faktor yang melatarbelakanginya, di antaranya adalah adanya banjir informasi sebagai akibat pertukaran culture antar-negara ataupun pertukaran culture antar-kota yang massif terjadi. Gelombang itu kian tidak terbendung lagi lantaran kemajuan teknologi informasi sudah semakin berkembang dan canggih. Sebagai contoh, kita bisa melihat bagaimana jaringan internet telah bisa diakses oleh siapapun dan di manapun, dari yang muda sampai yang tua, dari anak bupati sampai anak petani, atau dari wilayah metropolitan sampai wilayah perkampungan.

Pada hakikatnya, kemajuan teknologi informasi memberikan kemudahan bagi manusia untuk memperoleh beragam informasi yang dibutuhkan. Namun, berhubung mental para penggunnya sebagian belum siap maka memunculkan kekhawatiran, maklum saja separo lebih penggunya adalah para remaja. Ketidaksiapan mental para penggunanya yang sebagian para remaja ditunjukkan dengan akses-akses sampah yang lebih dominan, salah satunya adalah untuk mengakses konten-konten pornografi. Padahal dengan kondisi psikis remaja yang masih fluktuatif, tentu penggunaan nilai atau norma masih lemah, sehingga kecenderungan lahirnya imitasi perilaku peluangnya cukup besar.

Setidaknya kekhawatiran itu tercermin dari survey yang dilakukan oleh BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional) yang menyatakan bahwa separuh dari remaja perempuan di kota besar khususnya Jabotabek kehilangan keperawanan atau sudah pernah melakukan hubungan seks pra-nikah, dan tidak sedikit pula di antara mereka yang hamil di luar nikah. Rentang usia yang melakukan seks pra-nikah di kalangan remaja di perkotaan berkisar antara 13-18 tahun. Di wilayah lain di Indonesia seperti Surabaya, remaja perempuan yang sudah kehilangan keperawanan mencapai 54%, Bandung 47% dan Medan 52%. Data fenomenal ini dikumpulkan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sepanjang kurun waktu tahun 2010.

Sebagai Negara yang memiliki populasi Islam terbesar se-dunia, data di atas cukup  membuat miris/sedih semua kalangan. Fakta ini harus dipastikan sebagai ancaman, warning dan juga alarm serius yang dapat menghancurkan masa depan bangsa, sebab mereka adalah calon-calon pemimpin masa depan. Lebih dari itu, bukan tidak mungkin pengaruh ini akan menular sampai ke remaja-remaja di pedesaan termasuk di daerah yang kita cintai di Kecamatan Gembong. Untuk itu, semua pihak harus ikut merenungkan sekaligus melakukan upaya preventif (pencegahan) agar bencana besar (seks bebas) degradasi moral tersebut tidak sampai menjalar ke mana-mana.

Remaja dan Penanggulangannya
Sikap trial and error yang sering ditunjukkan para remaja di dalam kehidupan sehari-hari menarik untuk dikaji, lalu siapakah sebenarnya remaja itu? Menurut Hurlock (1999), dijelaskan bahwa remaja berasal dari kata latin adolescere yang berarti tumbuh, atau tumbuh menjadi dewasa. Artinya berproses menuju kematangan secara fisik, akal, kejiwaan, sosial dan emosional. Peristiwa yang menentukan ini tidak sama antara anak satu dengan yang lainnya, ada yang sebelum usia 12 tahun, ada yang sesudah usia 12 tahun dan ada yang sesudah usia 13 tahun (Daradjat, 1996). Namun, rata-rata para ahli menyebut bahwa permulaan remaja berkisar pada usia 12 tahun sedangkan untuk batasannya berada pada usia sekitar 21 tahun.

Kejadian itu juga dibarengi dengan beberapa perubahan dan kematangan pada bagian alat reproduksi anak (Mighwar, 2006), yaitu pertama tanda kelamin primer, tanda kelamin sekunder dan tanda kelamin tersier. Tanda kelamin primer ditandai dengan mulai berfungsinya organ-organ genital yang ada, baik di dalam maupun di luar badan, atau merujuk pada organ badan yang langsung berhubungan dengan persetubuhan dan proses reproduksi. Pada anak laki-laki yang mulai menginjak remaja ditandai dengan keluarnya sperma ketika ia mengalami mimpi basah. Pada anak perempuan ditandai dengan terjadinya permulaan haid yang selanjutnya diikuti pula dengan kesiapan organ-organ reproduksi untuk terjadinya kehamilan.

Kedua, tanda kelamin sekunder adalah tanda-tanda jasmaniah yang tidak langsung berhubungan dengan persetubuhan dan proses reproduksi, namun merupakan tanda-tanda khas wanita dan khas laki-laki. Perubahan pada laki-laki adalah suara membesar dan dalam, bidang bahu melebar, bulu tumbuh di ketiak, di daerah alat kelamin dan kadang-kadang juga di dada. Selain itu, sudah mulai terangsang apabila melihat sisi fulgar dari lawan jenisnya. Sementara itu, perubahan pada kebanyakan perempuan adalah bidang panggul melebar, bulu-bulu tumbuh pada ketiak dan di sekitar alat kelamin. Demikian halnya dengan payudara yang mulai membesar, alat kelamin juga semakin berkembang dan mulai berfungsi untuk menghasilkan sel telur. Ketiga, tanda kelamin tertier adalah perbedaan psikis antara laki-laki dan perempuan, atau jika laki-laki lebih memiliki kecenderungan sifat maskulin dan perempuan memiliki kecenderungan sifat feminim.

Secara umum, peristiwa perubahan di atas membuat para remaja mulai mempunyai minat terhadap lawan jenis, dan bahkan sudah mulai memiliki minat terhadap seks. Pada masalah minat terhadap lawan jenis, itu ditunjukkan dengan dorongan untuk mendekati lawan jenisnya, remaja laki-laki mulai termotivasi untuk mendekati remaja perempuan, dan sebaliknya. Sementara pada masalah minat terhadap seks, itu ditunjukkan dengan perilaku onani atau masturbasi di kalangan remaja. Kejadian alamiah yang dialami oleh para remaja sebagai akibat perubahan hormonal seseorang tidak bisa dihentikan, kita hanya bisa mengarahkan supaya naluri tersebut tidak salah jalan.

Salah satu langkah preventif (pencegahan) yang bisa diberikan kepada para remaja adalah dengan memberikan pendidikan agama. Mengingat, berangkat dari pendidikan agamalah akan lahir sebuah nilai, norma dan karakter dalam diri anak. Asalkan diberikan secara konsisten, terukur dan orang-orang di sekitarnya dapat menguatkan apa yang dipelajarinya itu (dapat menjadi contoh yang baik) dengan bisa ikut mengamalkan secara istiqomah di depan sang anak. Alhasil bila syarat itu bisa terlaksana, maka dalam kondisi dan situasi apapun insyaAllah seorang anak akan mampu membentengi dirinya dari perilaku-perilaku tercela.

Masalahnya, realita di lapangan lebih menunjukkan bahwa orang tua hanya mengandalkan pendidikan agama dari sekolah. Sementara di sekolah-sekolah konvensional pelajaran agama hanya dua jam dalam seminggu, sehingga efeknya sangat kecil sekali bagi seorang anak. Di sisi lain, sekolah-sekolah berlatarbelakang agama yang memiliki porsi pendidikan agama yang banyak, justru kebanyakan hanya masuk/bergerak pada ranah kognitif semata, sedangkan aspek implementasi dari apa yang dipelajari sangat kecil sekali porsinya. Dengan kondisi demikian, dibutuhkan peran orang tua untuk lebih aktif lagi terlibat dalam penanaman nilai-nilai keagamaan kepada anak.

Upaya berikutnya adalah melalui orang tua, orang tua memiliki peran stategis dan signifikan dalam membina serta membimbing seorang remaja. Selama ini, lagi-lagi orang tua cenderung hanya memasrahkan segala-segalanya kepada pihak sekolah. Padahal jika dihitung, dengan durasi waktu dari jam 07.00 WIB sampai jam 13.30 WIB saat di sekolah, itu menandakan hanya 6,5 jam dalam sehari. Artinya masih ada sisa waktu 17,5 jam dalam sehari yang sifatnya itu menjadi tanggungjawab orang tua. Pertanyaannya, apakah para orang tua sudah menjalankan tugasnya dengan penuh dedikasi, semangat dan penuh tanggungjawab? Jawaban itu tentu hanya bisa dijawab oleh masing-masing orang tua, tetapi yang harus diperhatikan para orang tua adalah jangan sampai berhenti untuk belajar, kendatipun sudah menyelesaikan studi formal kita.

Langkah untuk terus belajar ini penting untuk dilakukan karena tantangan kehidupan antara para orang tua dulu dengan tantangan para remaja masa kini jelas telah mengalami perubahan yang signifikan. Secara sederhana, di zaman sekarang teknologi sudah berkembang pesat, seperti adanya smart phone dan internet beserta media pendukungnya (facebook, twitter, youtube dan lain-lain). Belum lagi kalau berbicara masalah kemajuan teknologi di bidang yang lain, maka hal semacam ini membuat jarak keduanya semakin jauh. Untuk itu, perlu bagi para orang tua untuk terus meng’update’ atau memperbarui wawasannya sebagai modal untuk mengontrol aktivitas para remaja, sehingga tidak ada lagi cerita orang tua dibohongi anak-anaknya karena miskinnya informasi yang dimiliki oleh para orang tua. Wallahu ‘a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar