Akhir-akhir ini, berita
tentang perilaku seks bebas di kalangan remaja sudah semakin meresahkan.
Bahkan, saat ini virus tersebut tidak hanya menyerang para remaja pekotaan
saja, melainkan juga sudah mulai masuk menyerang para remaja di pedesaan. Apabila
dicermati, banyak faktor yang melatarbelakanginya, di antaranya adalah adanya
banjir informasi sebagai akibat pertukaran
culture
antar-negara ataupun pertukaran culture antar-kota yang massif terjadi.
Gelombang itu kian tidak
terbendung lagi lantaran kemajuan teknologi informasi sudah semakin berkembang dan canggih.
Sebagai contoh, kita bisa melihat bagaimana jaringan internet telah bisa
diakses oleh siapapun dan di manapun, dari yang muda sampai yang tua, dari anak
bupati sampai anak petani, atau dari wilayah metropolitan sampai wilayah
perkampungan.
Pada hakikatnya,
kemajuan teknologi informasi memberikan kemudahan bagi manusia untuk memperoleh beragam informasi yang
dibutuhkan. Namun, berhubung mental para penggunnya sebagian belum siap maka
memunculkan kekhawatiran, maklum saja separo lebih penggunya adalah para
remaja. Ketidaksiapan mental para penggunanya yang sebagian para remaja
ditunjukkan dengan akses-akses sampah yang lebih dominan, salah satunya adalah
untuk mengakses konten-konten pornografi. Padahal dengan kondisi psikis remaja
yang masih fluktuatif, tentu penggunaan nilai atau norma masih lemah, sehingga
kecenderungan lahirnya imitasi perilaku peluangnya cukup besar.
Setidaknya kekhawatiran
itu tercermin dari survey yang dilakukan oleh BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional) yang menyatakan
bahwa
separuh dari remaja perempuan di kota besar khususnya Jabotabek kehilangan
keperawanan atau sudah pernah melakukan hubungan seks pra-nikah, dan tidak
sedikit pula di antara mereka yang hamil di luar nikah. Rentang usia yang
melakukan seks pra-nikah di kalangan remaja di perkotaan berkisar antara 13-18
tahun. Di wilayah lain di Indonesia seperti Surabaya, remaja perempuan yang
sudah kehilangan keperawanan mencapai 54%, Bandung 47% dan Medan 52%. Data fenomenal
ini dikumpulkan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sepanjang
kurun waktu tahun 2010.
Sebagai Negara yang
memiliki populasi Islam terbesar se-dunia, data di atas cukup membuat miris/sedih semua kalangan. Fakta ini
harus dipastikan sebagai ancaman, warning
dan juga alarm serius yang dapat
menghancurkan masa depan bangsa, sebab mereka adalah calon-calon pemimpin masa
depan. Lebih dari itu, bukan tidak mungkin pengaruh ini akan menular sampai ke
remaja-remaja di pedesaan termasuk di daerah yang kita cintai di Kecamatan
Gembong. Untuk itu, semua pihak harus ikut merenungkan sekaligus melakukan
upaya preventif (pencegahan) agar bencana besar (seks bebas) degradasi moral
tersebut tidak sampai menjalar ke mana-mana.
Remaja
dan Penanggulangannya
Sikap trial and error yang sering ditunjukkan
para remaja di dalam kehidupan sehari-hari menarik untuk dikaji, lalu siapakah sebenarnya
remaja itu? Menurut Hurlock (1999), dijelaskan bahwa remaja berasal dari kata
latin adolescere yang berarti tumbuh,
atau tumbuh menjadi dewasa. Artinya berproses menuju kematangan secara fisik,
akal, kejiwaan, sosial dan emosional. Peristiwa yang menentukan ini tidak sama
antara anak satu dengan yang lainnya, ada yang sebelum usia 12 tahun, ada yang
sesudah usia 12 tahun dan ada yang sesudah usia 13 tahun (Daradjat, 1996).
Namun, rata-rata para ahli menyebut bahwa permulaan remaja berkisar pada usia
12 tahun sedangkan untuk batasannya berada pada usia sekitar 21 tahun.
Kejadian itu juga
dibarengi dengan beberapa perubahan dan kematangan pada bagian alat reproduksi anak
(Mighwar, 2006), yaitu pertama tanda
kelamin primer, tanda kelamin sekunder dan tanda kelamin tersier. Tanda kelamin
primer ditandai dengan mulai berfungsinya organ-organ genital yang ada, baik di
dalam maupun di luar badan, atau merujuk pada organ badan yang langsung
berhubungan dengan persetubuhan dan proses reproduksi. Pada anak laki-laki yang
mulai menginjak remaja ditandai dengan keluarnya sperma ketika ia mengalami
mimpi basah. Pada anak perempuan ditandai dengan terjadinya permulaan haid yang
selanjutnya diikuti pula dengan kesiapan organ-organ reproduksi untuk
terjadinya kehamilan.
Kedua, tanda kelamin sekunder adalah
tanda-tanda jasmaniah yang tidak langsung berhubungan dengan persetubuhan dan
proses reproduksi, namun merupakan tanda-tanda khas wanita dan khas laki-laki.
Perubahan pada laki-laki adalah suara membesar dan dalam, bidang bahu melebar,
bulu tumbuh di ketiak, di daerah alat kelamin dan kadang-kadang juga di dada.
Selain itu, sudah mulai terangsang apabila melihat sisi fulgar dari lawan jenisnya.
Sementara itu, perubahan pada kebanyakan perempuan adalah bidang panggul
melebar, bulu-bulu tumbuh pada ketiak dan di sekitar alat kelamin. Demikian
halnya dengan payudara yang mulai membesar, alat kelamin juga semakin
berkembang dan mulai berfungsi untuk menghasilkan sel telur. Ketiga, tanda kelamin tertier adalah
perbedaan psikis antara laki-laki dan perempuan, atau jika laki-laki lebih
memiliki kecenderungan sifat maskulin dan perempuan memiliki kecenderungan
sifat feminim.
Secara umum,
peristiwa perubahan di atas membuat para remaja mulai mempunyai minat terhadap lawan
jenis, dan bahkan sudah mulai memiliki minat terhadap seks. Pada masalah minat
terhadap lawan jenis, itu ditunjukkan dengan dorongan untuk mendekati lawan
jenisnya, remaja laki-laki mulai termotivasi untuk mendekati remaja perempuan,
dan sebaliknya. Sementara pada masalah minat terhadap seks, itu ditunjukkan
dengan perilaku onani atau masturbasi di kalangan remaja. Kejadian alamiah yang
dialami oleh para remaja sebagai akibat perubahan hormonal seseorang tidak bisa
dihentikan, kita hanya bisa mengarahkan supaya naluri tersebut tidak salah
jalan.
Salah satu langkah
preventif (pencegahan) yang bisa diberikan kepada para remaja adalah dengan
memberikan pendidikan agama. Mengingat, berangkat dari pendidikan agamalah akan
lahir sebuah nilai, norma dan karakter dalam diri anak. Asalkan diberikan
secara konsisten, terukur dan orang-orang di sekitarnya dapat menguatkan apa
yang dipelajarinya itu (dapat menjadi contoh yang baik) dengan bisa ikut
mengamalkan secara istiqomah di depan sang anak. Alhasil bila syarat itu bisa
terlaksana, maka dalam kondisi dan situasi apapun insyaAllah seorang anak akan
mampu membentengi dirinya dari perilaku-perilaku tercela.
Masalahnya,
realita di lapangan lebih menunjukkan bahwa orang tua hanya mengandalkan
pendidikan agama dari sekolah. Sementara di sekolah-sekolah konvensional
pelajaran agama hanya dua jam dalam seminggu, sehingga efeknya sangat kecil sekali
bagi seorang anak. Di sisi lain, sekolah-sekolah berlatarbelakang agama yang
memiliki porsi pendidikan agama yang banyak, justru kebanyakan hanya
masuk/bergerak pada ranah kognitif semata, sedangkan aspek implementasi dari
apa yang dipelajari sangat kecil sekali porsinya. Dengan kondisi demikian,
dibutuhkan peran orang tua untuk lebih aktif lagi terlibat dalam penanaman nilai-nilai
keagamaan kepada anak.
Upaya berikutnya
adalah melalui orang tua, orang tua memiliki peran stategis dan signifikan dalam
membina serta membimbing seorang remaja. Selama ini, lagi-lagi orang tua cenderung
hanya memasrahkan segala-segalanya kepada pihak sekolah. Padahal jika dihitung,
dengan durasi waktu dari jam 07.00 WIB sampai jam 13.30 WIB saat di sekolah,
itu menandakan hanya 6,5 jam dalam sehari. Artinya masih ada sisa waktu 17,5
jam dalam sehari yang sifatnya itu menjadi tanggungjawab orang tua.
Pertanyaannya, apakah para orang tua sudah menjalankan tugasnya dengan penuh
dedikasi, semangat dan penuh tanggungjawab? Jawaban itu tentu hanya bisa
dijawab oleh masing-masing orang tua, tetapi yang harus diperhatikan para orang
tua adalah jangan sampai berhenti untuk belajar, kendatipun sudah menyelesaikan
studi formal kita.
Langkah untuk
terus belajar ini penting untuk dilakukan karena tantangan kehidupan antara
para orang tua dulu dengan tantangan para remaja masa kini jelas telah
mengalami perubahan yang signifikan. Secara sederhana, di zaman sekarang teknologi
sudah berkembang pesat, seperti adanya smart phone dan internet beserta media
pendukungnya (facebook, twitter, youtube dan lain-lain). Belum lagi kalau
berbicara masalah kemajuan teknologi di bidang yang lain, maka hal semacam ini
membuat jarak keduanya semakin jauh. Untuk itu, perlu bagi para orang tua untuk
terus meng’update’ atau memperbarui wawasannya sebagai modal untuk mengontrol aktivitas
para remaja, sehingga tidak ada lagi cerita orang tua dibohongi anak-anaknya
karena miskinnya informasi yang dimiliki oleh para orang tua. Wallahu ‘a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar